Alih-alih mengharapkan adanya uji publik calon kepala daerah, sebagai konsep yang harus dan penting untuk terus menerus dimatangkan untuk menghadang otoritas yang sewenang-wenang dari elit partai politik dalam menetapkan calon kepala daerah, aroma busuk sentralisasi Jakarta dalam menentukan calon kepala daerah semakin menguat dan 'seakan' lazim dipertontonkan setiap menjelang Pilkada, penetapan calon harus mendapat restu pengurus pusat parpol dan mengabaikan aspirasi rakyat di tingkat lokal.
Reformasi dan penerapan otonomi daerah yang diharapkan mampu mengikis habis hegemoni pusat dan pengaruh kekuasaan negara selama masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia yang sangat dominan, malah terjadi sebaliknya, otonomi daerah menjadi lahan desentralisasi korupsi, yang melahirkan para kepala daerah yang lalim.Demokrasi lokal sejatinya berkaitan erat dengan akuntabilitas, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar bagi pemilih di daerah. Sebagai konsekuensi paska pelaksanaan sistem demokrasi prosedural lewat Pilkada adalah bagaimana berdemokrasi tak hanya sebatas memilih gubernur, bupati/walikota dan wakilnya lalu selesai.
Namun realitas demokrasi lokal, yang semakin menguatkan oligarki elit parpol serta aturan-aturan yang dibuat memihak kepada kekuasaan parpol yang terpusat, berakibat pada semakin tumbuh suburnya praktik-praktik yang justeru mencederai semangat penguatan demokrasi di tingkat lokal, seperti praktik nepotisme dan transaksional di kalangan elit dengan dalih mahar politik untuk operasional “perahu politik” pengusung.
Sentralisasi Parpol Vs Demokrasi Lokal
Sejak diberlakukannya Pilkada langsung pertama kali pertengahan tahun 2005, kecenderungan yang terjadi dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia di era reformasi justru terkesan memunggungi semangat desentralisasi, terutama dalam penentuan calon-calon yang hendak mengikuti pemilihan kepala daerah, meskipun melalui rentetan panjang survei dan seleksi tim, tetap saja calon yang ditetapkan untuk diusung oleh parpol adalah mereka yang memiliki cukup materi sebagai mahar dan memiliki akses ke pengurus pusat parpol, sehingga survei yang dilakukan tidak lebih dari sekadar rekayasa dan kamuflase.
Kecenderungan ini yang juga menyuburkan praktik nepotisme dan transaksional di kalangan elit partai politik di Indonesia sampai sekarang, baik dalam penempatan pengurus di tingkat parpol, penetapan calon legislatif maupun penentuan calon yang hendak maju dalam Pilkada.
Bukan rahasia lagi, untuk bisa menjadi ketua partai politik di tingkat daerah, harus punya kedekatan dengan elit politik di pusat. Begitu juga untuk menjadi anggota pengurus parpol di tingkat daerah itu, tentu harus punya kedekatan dengan ketua partai daerah.
Mandeknya proses rekuitmen dan pengkaderan pimpinan partai mengakibatkan parpol-parpol mencari calon di luar kader untuk diusung dalam Pilkada, dan akhirnya momen Pilkada itu disalahartikan dengan menggunakannya sebagai lahan mencari pendapatan, melalui calon eksternal yang memiliki materi cukup untuk membeli “perahu” parpol pengusung, dengan harga yang telah ditetapkan dan disepakati.
Kebijakan partai politik yang masih sentralistik tidak akan pernah sejalan dengan semangat otonomi daerah. Institusi partai-partai di daerah hanya berperan sebagai replikasi kepentingan dari elit partai di pusat. Dalam konteks ini, calon kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyat bukanlah orang yang berasal dari bawah, karena calonnya dimungkinkan melalui pencalonan oleh partai di daerah biasanya direduksi dengan surat rekomendasi berupa ‘titipan’ nama-nama calon oleh elit partai di tingkat pusat.
Pilkada diharapkan menjadi salah satu pilar utama demokrasi lokal guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal, dan menempatkan rakyat sebagai the king maker. Melalui pilkada, diharapkan bisa dihasilkan output pemimpin eksekutif lokal yang mewakili preferensi mayoritas masyarakat lokal. Pilkada juga diharapkan menghasilkan outcome berupa reformasi kultur, yang secara apik mengimbangi proses transisi kepemimpinan tersebut. Singkatnya, pilkada mesti menjadi entry point untuk melakukan "bedah rumah" birokrasi lokal.
Di sinilah pentingnya tim uji publik independen untuk memberikan rekomendasi calon kepala kepada parpol, sebagai bahan pertimbangan untuk diusung sehingga dominasi elit parpol di tingkat pusat bisa diminimalisir. Kuatnya cengkraman oligarki elit pusat partai politik sebagaimana disinyalir Robert Michels tentang hukum besi oligarki (iron low of oligarchy), bahwa di setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai oleh segelintir elit.
Pola oligarki dan sentralistik partai politik ini, sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi arus bawah. Otonomi sistem kepartaian tidak terjadi dan menjadi bumerang baru bagi semangat otonomi daerah, struktur organisasi partai politik yang sangat sentralistik ini ironinya justeru dikonstruksi dalam bentuk pemberian kewenangan sentral oleh undang-undang partai politik.
Akibatnya, penetapan calon kepala daerah sangat bergantung kepada kehendak pusat, karena struktur partai yang sentralistis juga memiliki konsekuensi ketundukan mutlak pengurus parpol di tingkat bawah kepada pengurus di tingkat yang lebih atas. Pengurus di tingkat bawah (daerah) yang berani berbeda dalam penentuan calon kepala daerah, bahkan dalam hal apapun dengan pengurus di tingkat yang lebih tinggi akan dikenai sanksi, bahkan dipecat sebagai pengurus atau anggota partai politik.
Akhirnya, jika selama hegemoni dan dominasi elit parpol ini masih terus menerus dibiarkan, maka Pilkada langsung yang sejatinya adalah pesta rakyat untuk memberikan mandatnya kepada pemimpin lokal, akan terus menerus dikangkangi dan dirampas oleh segelintir elit. Wallahu a’lam.
Sentralisasi Parpol Vs Demokrasi Lokal
Sejak diberlakukannya Pilkada langsung pertama kali pertengahan tahun 2005, kecenderungan yang terjadi dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia di era reformasi justru terkesan memunggungi semangat desentralisasi, terutama dalam penentuan calon-calon yang hendak mengikuti pemilihan kepala daerah, meskipun melalui rentetan panjang survei dan seleksi tim, tetap saja calon yang ditetapkan untuk diusung oleh parpol adalah mereka yang memiliki cukup materi sebagai mahar dan memiliki akses ke pengurus pusat parpol, sehingga survei yang dilakukan tidak lebih dari sekadar rekayasa dan kamuflase.
Kecenderungan ini yang juga menyuburkan praktik nepotisme dan transaksional di kalangan elit partai politik di Indonesia sampai sekarang, baik dalam penempatan pengurus di tingkat parpol, penetapan calon legislatif maupun penentuan calon yang hendak maju dalam Pilkada.
Bukan rahasia lagi, untuk bisa menjadi ketua partai politik di tingkat daerah, harus punya kedekatan dengan elit politik di pusat. Begitu juga untuk menjadi anggota pengurus parpol di tingkat daerah itu, tentu harus punya kedekatan dengan ketua partai daerah.
Mandeknya proses rekuitmen dan pengkaderan pimpinan partai mengakibatkan parpol-parpol mencari calon di luar kader untuk diusung dalam Pilkada, dan akhirnya momen Pilkada itu disalahartikan dengan menggunakannya sebagai lahan mencari pendapatan, melalui calon eksternal yang memiliki materi cukup untuk membeli “perahu” parpol pengusung, dengan harga yang telah ditetapkan dan disepakati.
Kebijakan partai politik yang masih sentralistik tidak akan pernah sejalan dengan semangat otonomi daerah. Institusi partai-partai di daerah hanya berperan sebagai replikasi kepentingan dari elit partai di pusat. Dalam konteks ini, calon kepala daerah yang akan dipilih oleh rakyat bukanlah orang yang berasal dari bawah, karena calonnya dimungkinkan melalui pencalonan oleh partai di daerah biasanya direduksi dengan surat rekomendasi berupa ‘titipan’ nama-nama calon oleh elit partai di tingkat pusat.
Pilkada diharapkan menjadi salah satu pilar utama demokrasi lokal guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal, dan menempatkan rakyat sebagai the king maker. Melalui pilkada, diharapkan bisa dihasilkan output pemimpin eksekutif lokal yang mewakili preferensi mayoritas masyarakat lokal. Pilkada juga diharapkan menghasilkan outcome berupa reformasi kultur, yang secara apik mengimbangi proses transisi kepemimpinan tersebut. Singkatnya, pilkada mesti menjadi entry point untuk melakukan "bedah rumah" birokrasi lokal.
Di sinilah pentingnya tim uji publik independen untuk memberikan rekomendasi calon kepala kepada parpol, sebagai bahan pertimbangan untuk diusung sehingga dominasi elit parpol di tingkat pusat bisa diminimalisir. Kuatnya cengkraman oligarki elit pusat partai politik sebagaimana disinyalir Robert Michels tentang hukum besi oligarki (iron low of oligarchy), bahwa di setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai oleh segelintir elit.
Pola oligarki dan sentralistik partai politik ini, sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi arus bawah. Otonomi sistem kepartaian tidak terjadi dan menjadi bumerang baru bagi semangat otonomi daerah, struktur organisasi partai politik yang sangat sentralistik ini ironinya justeru dikonstruksi dalam bentuk pemberian kewenangan sentral oleh undang-undang partai politik.
Akibatnya, penetapan calon kepala daerah sangat bergantung kepada kehendak pusat, karena struktur partai yang sentralistis juga memiliki konsekuensi ketundukan mutlak pengurus parpol di tingkat bawah kepada pengurus di tingkat yang lebih atas. Pengurus di tingkat bawah (daerah) yang berani berbeda dalam penentuan calon kepala daerah, bahkan dalam hal apapun dengan pengurus di tingkat yang lebih tinggi akan dikenai sanksi, bahkan dipecat sebagai pengurus atau anggota partai politik.
Akhirnya, jika selama hegemoni dan dominasi elit parpol ini masih terus menerus dibiarkan, maka Pilkada langsung yang sejatinya adalah pesta rakyat untuk memberikan mandatnya kepada pemimpin lokal, akan terus menerus dikangkangi dan dirampas oleh segelintir elit. Wallahu a’lam.
Posting Komentar