Sebuah negeri bisa menciptakan demokrasi politik dalam tempo 6 bulan, dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 tahun. Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat di Eropa Timur butuh waktu 60 tahun.
Kalimat Ralf Dahrendorf di atas mengingatkan kita, bahwa
demokrasi dan tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat pada hakikatnya membutuhkan
proses dan juga waktu. Ia tak bisa lahir simsalabim.
Pilkada langsung di Indonesia baru dimulai pertengahan tahun
2005. Hajat demokrasi di tingkat lokal ini dalam perjalanannya selalu
menjadi perbincangan publik dan mendapatkan evaluasi. Muai dari biaya
penyelenggaraanya yang dianggap mahal, hingga praktik politik uang yang
menyertainya. Solusi pun mengalir dari penelitian-penelitian, forum-forum
diskusi serta berbagai ikhtiar serius senantiasa dilakukan untuk mencari
formula terbaik untuk masa depan demokrasi. Apa muara dari semua itu tentu saja
agar proses demokrasi yang salah satunya ditandai dengan Pilkada dapat
berkontribusi pada penguatan demokrasi lokal.
Tak ada yang membantah, bahwa Pilkada langsung memiliki
berbagai soal yang harus diperbaiki. Meski demikian, optimisme untuk
menemukan jalan keluar dari karut-marut persoalan Pilkada langsung senantiasa
ditujukan untuk memperkuat hak politik rakyat sipil, bukan justru sebaliknya.
Singkatnya, kita butuh waktu dan proses untuk membangun masyarakat sipil yang
kuat dan berdaya.
Salah satu jalan keluar yang diupayakan adalah pemberdayaan
politik sipil. Upaya pemberdayaan politik sejatinya ditujukan untuk mendorong
transformasi politik yang lebih humanistik, dengan masyarakat sebagai
orientasinya. Pada gilirannya pemberdayaan politik bukan lagi sekadar konsep
yang didiskusikan. melainkan berubah menjadi gerakan kritis dan
emansipatoris yang berpusat pada civil society.
Penulis meyakini bahwa politik sipil bakal berubah secara
linier, yaitu perubahan yang selaras, serasi dan seimbang dari unsur masyarakat
paling kecil sampai ke perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal
menuju modern. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1988), paradigma ini
memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aktor yang
menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi kehidupannya.
Konsekuensi pola pikir ini senantiasa mendorong politik yang
berpusat pada rakyat dan memberi tempat pada berbagai inisisatif lokal serta
menumbuhkan inisiatif komunitas-komunitas yang mandiri. Model politik ini
memiliki perbedaan fundamental di dalam karakteristik dasarnya dibandingkan
dengan strategi politik konservatif, yang menjadikan elite sebagai pengendali
utama politik dan menempatkan rakyat sebagai obyek.
Dasar interpretasi politik yang berpusat pada rakyat adalah
asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan strategis. Karena
itu, politik juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan
potensi manusia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses
pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka.
Politik semacam ini mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan
mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi negara
dengan masyarakat.
Proposisi di atas mengindikasikan bahwa inti dari politik
yag berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah
pada kemandirian masyarakat. Dalam konteks Pilkada, dimensi partisipasi
masyarakat menjadi sangat penting. Melalui partisipasi, perjuangan dan kemampuan
masyarakat untuk membangkitkan partisipasi politik secara kolektif akan semakin
menguat. Tentu saja, partisipasi yang penulis maksudkan di sini tidak hanya
terbatas pada keterlibatan masyarakat dalam pemungutan suara di TPS. Lebih
jauh dari itu, partisipasi yang diharapkan adalah keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan. Dengan demikian pada
gilirannya masyarakat ditempatkan sebagai subyek utama yang juga ikut
mempengaruhi pembangunan paska-pilkada.
Konservatisme Politik
Berbeda dengan pemberdayaan politik sipil, konservatisme
adalah paham yang menyatakan, bahwa yang terbaik yang bisa dilakukan seseorang
adalah berpegang pada tradisi yang telah terbukti berhasil di masa lalu.
Tradisi tersebut bisa berupa tradisi agama, budaya, hingga tradisi
politik, yang dijadikan pedoman hidup. Pada alam pikir semacam ini, perubahan
tentu dimungkinkan sepanjang perubahan tersebut tidak bergerak terlalu jauh
dari tradisi yang ada.
Konservatisme lebih dekat pada pemujaan nir sikap kritis
pada tradisi yang ada. Pemikiran utuh tentang konservatisme ini bisa dilacak
dari tokoh-tokohnya, seperti Richard Hooker, Edmund Burke dan Thomas Charlyle.
Di dalam salah satu perdebatan dua filsuf terkemuka Jerman
abad 20, yakni Jurgen Habermas dan Gadamer, lahirlah perbedaan tajam di dalam
memahami tradisi. Bagi Gadamer yag notabene seorang pakar hermeneutik, tradisi
mengandung ajaran-ajaran kebijaksanaan yang berguna untuk membimbing kita di
masa sekarang. Sementara, bagi Habermas, tradisi tidak hanya mengandung
ajaran-ajaran kebijaksanaan, tetapi juga penindasan tersembunyi terhadap
kelompok yang lebih lemah, seperti kaum perempuan dan kelompok minoritas. Maka,
tradisi senantiasa harus dipahami secara kritis.
Para penganut konservatisme harus belajar dari dialektika
yang dibangun oleh penggagas konservatisme dan para pengkritiknya, bahwa
tradisi selalu mengandung dua muka yang tidak selalu berjalan bersama, yakni
muka kebijaksanaan dan muka penindasan. Kesetiaan mutlak pada tradisi, tanpa
mengindahkan aspek-aspek penindasan di dalamnya sesungguhya adalah akar dari
konservatisme.
Penulis khahwatir politik keservatisme yang dikembangkan
pada gilirannya bertujuan untuk meminggirkan politik sipil dan kesadaran kritis
warga yang tengah bertumbuh. Politik konservatif bisa berkembang menjadi
kekerasan kultural, yakni kekerasan yang tertanam di dalam cara pandang suatu
kelompok tertentu kepada kelompok lainnya di masyarakat. Tanpa sikap kritis,
tradisi bisa berubah menjadi kebencian yang ditanamkan, dan bahkan diturunkan,
dari satu generasi ke generasi berikutnya di suatu kelompok tertentu.
Konservatisme bisa berkembang pula menjadi konflik massal yang menghancurkan
hidup banyak orang.
Berpegang pada tradisi memang perlu. Akan tetapi, kita harus
sadar, bahwa dunia dan manusia senantiasa terus berubah. Tradisi juga harus
terus dibaca dengan cara-cara baru, sejalan dengan perubahan yang ada. Jika
tidak, tradisi bisa saja berubah menjadi alat legitimasi bagi upaya menjajah
dan menindas kehidupan manusia. Kesetiaan kaum konservatif pada tradisi mereka
harus memberi ruang kritis, sehingga tradisi bisa terus dijaga di satu sisi dan
tetap berwajah manusiawi di sisi lainnya.
Rakyat tentu saja tidak menginginkan Pilkada melahirkan
dendam dan kebencian yang terus menerus diwariskan. Di sisi lain sulit juga
untuk mempercayai bahwa setiap orang mengaku sedang memperjuangkan demokrasi
tapi pada saat yang sama ia meminggirkan bahkan menegasikan rakyat.
Posting Komentar