![]() |
Ilustrasi AI/ChatGPT |
Dalam lanskap kebijakan publik di Indonesia, sepertinya pola
pikir dan ‘mentalitas proyek’ telah mengakar kuat dan meresap ke berbagai
sektor. Pola pikir ini memandang solusi atas masalah sosial yang kompleks
sebagai serangkaian program diskrit dengan awal, akhir, dan output yang
terukur. Pembangunan jalan, pembagian bantuan sosial, hingga wacana subsidi
buku untuk meningkatkan literasi, semuanya dibingkai sebagai ‘proyek’ yang
dapat diselesaikan.
Simplifikasi soal literasi yang seolah-olah hanya sekadar bahan
bacaan dan buku merupakan manifestasi dari kedangkalan berpikir yang tidak
hanya gagal menyentuh akar persoalan, tetapi juga secara sistematis menciptakan
inefisiensi dan membuka celah bagi korupsi. Muasal dari mentalitas proyek ini dapat
ditelusuri pada dominasi pendekatan reduksionis, sebuah cara pandang yang
mengajarkan kita untuk memahami hal-hal kompleks dengan menyederhanakannya
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Ariwidodo, 2011).
Dalam kasus literasi, masalah kompleks mengenai rendahnya
kompetensi membaca direduksi menjadi satu variabel tunggal: ketersediaan buku.
Solusinya pun menjadi sederhana dan terukur, yaitu ‘proyek pengadaan buku’.
Pendekatan ini secara fundamental keliru karena, seperti yang diperingatkan
oleh Peter Senge (2006), ia gagal melihat sistem sebagai sebuah keseluruhan
yang dinamis. Senge mengajak kita untuk melihat keterkaitan alih-alih
benda-benda dan pola alih-alih potret statis. Mentalitas proyek justru
melakukan sebaliknya; ia fokus pada benda (buku) dan mengabaikan keterkaitan
(budaya, keluarga, sekolah), serta menawarkan potret statis (proyek selesai)
untuk masalah yang berpola dan terus bergerak.
Penyebab merajalelanya mentalitas ini diperkuat oleh arsitektur kognitif dan insentif politik. Psikolog Daniel Kahneman (2011) membedakan dua mode berpikir: Sistem 1 yang cepat dan intuitif, serta Sistem 2 yang lambat dan analitis. Sebuah proyek adalah solusi yang sangat menarik bagi Sistem 1. Ia konkret, mudah dipahami, dan memberikan ilusi tindakan tegas. Sebaliknya, menganalisis ekosistem literasi secara menyeluruh—sebuah tugas yang membutuhkan pemikiran sistemik —adalah pekerjaan berat bagi Sistem 2 yang cenderung ‘malas’.
Preferensi kognitif ini selaras dengan logika
Teori Siklus Bisnis Politik (Political Business Cycle), yang menyatakan
bahwa politisi, sebagai aktor rasional dengan horizon jangka pendek, akan lebih
menyukai kebijakan yang hasilnya dapat segera terlihat sebelum siklus pemilu
berakhir (Britannica, 2024). Sebuah proyek pengadaan buku dengan seremoni penyerahan
adalah aset elektoral yang jauh lebih berharga daripada investasi jangka
panjang dalam pelatihan guru yang hasilnya baru terasa bertahun-tahun kemudian.
Akibat dari mentalitas proyek ini sangat merusak. Pertama,
ia menghasilkan kebijakan yang tidak efektif. Menggunakan kerangka sosiolog
Pierre Bourdieu (2019), proyek subsidi buku adalah contoh klasik kegagalan
diagnosis. Kebijakan ini menyediakan modal budaya terobjektivasi (buku),
namun secara naif mengabaikan fakta bahwa pemanfaatan buku tersebut bergantung
sepenuhnya pada keberadaan habitus—sebuah sistem disposisi dan kebiasaan
yang mendarah daging yang menjadikan membaca sebagai praktik yang wajar. Tanpa
habitus literat yang ditanamkan melalui sosialisasi panjang di lingkungan
keluarga dan sekolah, buku-buku tersebut hanya akan menjadi tumpukan kertas.
Proyeknya mungkin berhasil secara administratif—buku terdistribusi, laporan
selesai—tetapi gagal total secara substantif.
Kedua, dan yang lebih berbahaya, mentalitas proyek
adalah ladang subur bagi korupsi. Proyek, terutama yang melibatkan pengadaan
barang dan jasa (PBJ) dalam skala besar, secara konsisten menjadi salah satu
sektor paling rentan korupsi di Indonesia. Modus seperti penggelembungan harga
(mark-up), kolusi tender, hingga proyek fiktif menjadi ancaman nyata.
Sebuah proyek dengan anggaran besar dan output fisik yang jelas lebih
mudah dimanipulasi daripada program peningkatan kapasitas manusia yang bersifat
jangka panjang dan tersebar.
Fenomena Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kerap
menimbulkan masalah sosial dan lingkungan adalah cerminan skala makro dari
bahaya mentalitas ini. Dengan demikian, sebuah proyek yang diniatkan untuk
mencerdaskan bangsa justru berisiko berakhir menjadi bancakan anggaran yang
merugikan negara.
Lalu, apa jalan keluarnya? Pertama, gunakan Root Cause
Analysis (RCA). Pendekatan ini memaksa kita menggali pertanyaan lebih
dalam: mengapa siswa malas membaca? Mengapa guru tidak mengintegrasikan
literasi dalam pembelajaran? Mengapa perpustakaan tidak berfungsi? Tanpa
jawaban sistematis, kebijakan hanya mengobati gejala.
Kedua, reformasi insentif politik. Dana literasi harus
dikaitkan dengan capaian budaya baca, bukan sekadar distribusi buku. Gagasan
Thomas Piketty tentang pajak progresif relevan: sebagian pendapatan pajak bisa
dialokasikan untuk perpustakaan publik, taman baca, dan program keluarga
literat.
Ketiga, intervensi berbasis komunitas. Pengalaman Kampung
Literasi atau gerakan #SatuBukuPerAnak membuktikan bahwa literasi tumbuh
subur ketika warga terlibat langsung. Keluarga pun memegang peran sentral—anak
yang dibacakan cerita akan lebih mudah membangun habitus membaca
sepanjang hidupnya.
Literasi adalah fondasi peradaban. Jika kita terus terjebak
dalam ilusi bahwa subsidi buku adalah jawaban, maka visi Indonesia Emas hanya
akan menjadi slogan kosong. Saatnya berani meretas paradigma. Bukan sekadar
menaruh buku di tangan anak-anak, melainkan menumbuhkan budaya baca di hati
masyarakat. Di sanalah masa depan literasi Indonesia ditentukan. (*)
Posting Komentar