Wangi Peluh Pengkhianatan

 

Ilustrasi AI

Wangi peluhnya terakhir kali menari di indraku, bukan lagi simfoni kekasih, melainkan melodi kematian bagi jiwaku. Itu malam sebelum ranjang kami terbelah dua, menjadi dua benua yang tak akan pernah bertemu lagi. Aroma kekuasaan yang mengendap di pori-porinya bagai lumut, bau rapat yang membosankan seperti nisan, tinta tanda tangan yang dingin serupa pahatan di batu, dan samar aroma parfum perempuan lain yang bersembunyi di sela kerah bajunya, menusuk jantungku tanpa belati. Sejak itu, tempat tidur kami hanya memiliki satu sisi: aku dan bayanganku sendiri yang setia memeluk kehampaan.
Empat tahun. Tepatnya seribu empat ratus enam puluh satu malam. Aku menghitungnya seperti narapidana merangkai hari menuju eksekusi, bukan kebebasan. Tak kutahu pasti kapan jeruji tak kasat mata ini akan runtuh, atau apakah aku benar-benar ingin bebas. Mungkin aku hanya ingin didengar, setidaknya oleh diriku sendiri. "Kenapa kau masih di sini?" bisik cermin di meja rias suatu pagi, memantulkan mata yang keruh, mata yang telah melihat terlalu banyak luka.
Karena ke mana lagi aku harus pergi? Di luar rumah ini, di mata orang-orang, aku adalah istri lelaki terhormat. Terhormat, katanya. Padahal, kehormatannya adalah lubang gelap yang ia gali sendiri, lubang yang ia selipkan di bawah meja sidang, di balik jubah kekuasaan, dan di pangkuan seorang Sari yang lebih muda, lebih haus akan dunia, lebih berani menghancurkan.
"Intan hanya cemburu," kata suara di televisi, menyebut namaku dengan nada yang dipoles empati palsu. Aku tertawa. Tawa yang pahit, seperti menelan pecahan gelas yang hancur dalam kerongkongan. Cemburu? Bahkan kemampuan untuk marah pun telah lama mati di hatiku. Yang tersisa hanyalah keheningan yang kian menua di ranjang berseprai putih, dan kenangan akan air mani yang tak pernah lagi kutahu berasal dari siapa.
Kau tahu rasanya tidur sendiri, sementara suara erangan perempuan lain merayap keluar dari ponsel yang tertinggal menyala, mengoyak dinding kamarmu? Aku tahu. Aku menontonnya sekali. Dua kali. Tiga kali. Sampai rasa jijik itu menguap habis, terkikis habis oleh rasa penasaran yang menusuk: apakah tubuhku pernah membuatnya sebahagia itu?
Hari pertama sidang. Mediasi. Sebuah kata yang menggelikan, sebuah sandiwara usang. Mediasi adalah ritual pura-pura saling mendengar, padahal kami berdua sudah terlalu tuli untuk suara satu sama lain. Dia tak datang. Hanya kuasa hukumnya yang berjaket rapi, berdiri dingin, menyebut angka tahun seperti membaca tanggal kadaluarsa: dua ribu sembilan belas. Tahun ketika jiwanya berpindah, menanamkan akarnya di tubuh lain. Tahun ketika aku resmi menjadi janda, meski di mata hukum pernikahan ini masih utuh.
"Klien saya sudah empat tahun tidak tidur satu ranjang dengan istrinya," katanya dingin, suaranya datar seperti menyebutkan harga saham yang jatuh.
Aku tersenyum. Senyum tipis yang tak mencapai mata. Kamera media menyorotku, mungkin mereka ingin aku menangis, meratap, atau membongkar aib selebar-lebarnya di hadapan dunia. Tapi aku diam. Karena diamku lebih nyaring dari semua mikrofon yang mereka sodorkan. Karena tubuhku telah lebih banyak berteriak daripada lidah siapa pun.
***
Sementara aku menggigil dalam sunyi yang membekukan, di sebuah sudut Kota Puspa yang tersembunyi dari sorot lampu utama dan mata publik, drama Sari dan Bima mencapai klimaksnya. Gedung Cermin—sebuah ironi pahit, karena tak ada yang benar-benar bisa melihat refleksi jujur dari tempat itu—menjadi saksi bisu pengkhianatan yang paling intim. Tempat mereka bersumpah setia pada rakyat, kini berubah menjadi altar tempat mereka menyalakan api hasrat terlarang yang seharusnya dipadamkan, bukan disemai.
Di balik kaca jendela apartemen sewaan yang menghadap ke pelataran belakang gedung, hujan jatuh bagai cambuk surga. Menampar permukaan kaca dengan irama seperti detak jantung yang dipercepat oleh dosa. Sari berdiri diam, mengenakan kemeja Bima yang terlalu besar, sebuah kain yang menjadi saksi bisu kejatuhannya, menatap pantulan dirinya. Tatapannya yang dulu setajam belati, kini meredup, basah oleh hujan yang membasuh luar, dan basah oleh air mata yang membasuh dalam, atau mungkin keduanya.
Aroma tanah basah dari luar, harum yang seharusnya menenangkan, berpadu dengan wangi parfum Bima yang memabukkan—aroma khas yang selalu menempel pada kerah jasnya, kini mencekik. Koktail sesak itu memenuhi paru-paru Sari, membuat dadanya berat, seperti ada batu besar yang menggantung, menariknya ke dasar jurang. Tangan Bima melingkar di pinggangnya, menariknya lebih dekat, ke dalam pusaran yang ia tahu adalah kehancuran. Jari-jarinya menjalar seperti akar yang rakus, mencari tanah yang bisa ia kuasai seutuhnya.
"Kau tahu ini salah," bisik Sari, nyaris tak terdengar, suaranya tenggelam dalam deru hujan dan detak jantungnya sendiri yang kalut.
Bima hanya tersenyum. Senyum yang tak pernah ramah, senyum predator yang selalu berhasil melucuti setiap pertahanan Sari. "Salah?" ujarnya, lidahnya menyentuh leher Sari pelan, sebuah sentuhan yang mengikis sisa-sisa integritas. "Atau hanya tabu?" Desisan itu serupa mantra, merayap masuk ke setiap sel. Merinding. Bukan karena dingin, tapi karena kebenaran yang telanjang, yang kini ia genggam.
Integritas yang selama ini Sari junjung tinggi, yang ia bangun dengan susah payah, kini terasa seperti kertas basah yang hancur di genggamannya. Ia tahu, setiap desahan, setiap sentuhan, adalah pengkhianatan terhadap sumpah dan janji yang pernah ia ucapkan di depan ribuan mata. Tapi bersama Bima, ia merasa lebih hidup, lebih nyata, lebih berdarah, daripada duduk di kursi sidang yang penuh kebohongan dan topeng. Tubuhnya, jiwanya, kini adalah medan perang yang tak berujung antara kewajiban yang dingin dan hasrat yang membara, menghanguskan segalanya.
"Kenapa kau tak menceraikannya?" tanya Sari, pelan, matanya menatap keluar, berharap menemukan jawaban di tengah hujan.
"Karena kita tak butuh pengesahan," jawab Bima, suaranya penuh keyakinan palsu. "Kita hanya butuh tempat berlindung dari badai."
Sari tahu, ia sedang tenggelam. Dalam-dalam. Namun anehnya, dalam pusaran kehancuran itu, ia tak ingin diselamatkan.
***
Aku tak pernah benar-benar membenci Sari. Justru aku merasa kasihan yang menusuk. Perempuan sepertinya selalu hidup di balik kaca yang retak—kelihatan kuat dari luar, tapi rapuh di dalam, menunggu untuk pecah berkeping-keping. Ia ingin mencintai lelaki yang salah, di waktu yang salah, di ruang yang salah. Dan Bima? Ia hanya laki-laki yang terlalu pintar memanipulasi makna cinta. Ia tahu, tubuh bisa menjadi alat tawar-menawar, dan kekuasaan bisa menjadi pelumas untuk setiap kebohongan.
Suatu malam, aku kembali ke kamar yang sudah lama kosong. Kamar yang menjadi saksi bisu awal dan akhir. Kutiduri sisi ranjang yang pernah ia isi, sisi yang kini terasa dingin dan hampa. Kulihat pantulan wajahku di cermin. Mata yang dulu bening kini keruh, dipenuhi dendam yang pahit, namun juga iba yang menusuk.
Televisi di ruang tamu menampilkan potongan berita: "Sang anggota legislatif enggan memberi pernyataan. Sementara itu, Bima, rekan sesama legislatifnya, masih absen dari sidang mediasi kedua. Pengacara menyebut, 'beliau sedang menjalankan tugas luar kota.'"
Aku mematikan televisi. Memadamkan cahaya terakhir yang masuk ke ruang sunyi itu. Aku mematikan lampu. Dan dalam gelap pekat, aku berkata pada diriku sendiri, suaraku bergetar namun penuh keyakinan: "Intan, sudah cukup." Sudah cukup menjadi istri yang ditinggal, ibu yang disisihkan, perempuan yang hanya disebut dalam bisik-bisik dan senyum sinis.
Keesokan paginya, tanganku tak gemetar saat menandatangani surat resmi ke lembaga etik. Lengkap dengan lampiran: tanggal-tanggal pertemuan rahasia, tangkapan layar percakapan terlarang, potongan percakapan suara yang menjijikkan, dan satu video pendek dari kamera tersembunyi yang kutaruh di ruang kerja Bima, menjadi saksi bisu kebejatan mereka. Aku tahu semua akan menyangkal. Aku tahu semua akan pura-pura tak tahu. Tapi ini bukan lagi soal bukti. Ini tentang suara yang akhirnya tak lagi dibungkam.
Skandal bukan lagi desas-desus di ruang gelap, bukan lagi bisikan di lorong-lorong belakang. Ia menjelma headline yang menusuk mata, menjerit di setiap penjuru kota: "Cinta Terlarang di Balik Kekuasaan" dan "Video Intim dan Percakapan Bocor: Laporan Istri Legislator Kian Menguat."
Sari menunduk di konferensi pers, wajahnya pucat pasi, tak mampu menatap sorotan kamera yang tak bisa disuap. Bima menghilang, hanya suara pengacaranya yang mengambang, "Apa tidak boleh seseorang mencintai tanpa dikriminalisasi?" Cinta? Kau bercanda. Cinta tidak pernah diselipkan di bawah meja, tidak pernah dibangun di atas kehancuran dan air mata orang lain.
Aku menerima banyak pesan: ada yang ingin menjadikanku narasi, film, buku. Mereka melihat cerita, aku melihat kehancuran. Tapi aku menolak semuanya. Aku tak ingin jadi ikon, tak ingin menjadi monumen penderitaan. Aku hanya ingin tenang.
Malam ini, aku tidur sendirian. Bukan karena ditinggal, bukan karena terpaksa. Tapi karena aku memilih sunyi yang jujur daripada kebersamaan yang penuh kebohongan dan racun. Dan ranjangku, meski dingin, tak lagi terasa hampa. Ia adalah tempat peristirahatan bagi jiwa yang akhirnya merdeka. Kota Puspa akan tetap menyembunyikan bangkai di bawah wangi melati dan gemerlap lampu taman. Tapi aku tak lagi menjadi salah satunya.

0/Berikan Kritik - Saran/Comments