![]() |
Sumber: YouTube Denny Sumargo |
Fenomena yang menimpa sosok Kiai MIM—seorang tokoh bernama
lengkap KH. Muhammad Imam Muslimin, dosen UIN Malang, yang dalam sekejap mata
dihujat secara massal oleh warganet berdasarkan informasi awal, lalu secara
dramatis berbalik dipuja sebagai korban setelah narasi tandingan
muncul—merupakan sebuah contoh paradigmatik dari apa yang dapat disebut sebagai
digital whiplash. Istilah ini merujuk pada ayunan opini kolektif daring
yang cepat, keras, dan sering kali kontradiktif.
Peristiwa ini adalah cerminan sempurna dari era
pascakebenaran (post-truth), sebuah kondisi di mana daya tarik emosi dan
keyakinan pribadi menjadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik
daripada fakta-fakta objektif (Muhammad Syarif Hidayatullah, 2019). Di era ini,
batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur, dan kebohongan dapat dengan mudah
menyamar sebagai kebenaran dengan memanipulasi emosi publik.
Media sosial, dengan arsitekturnya yang mengutamakan
kecepatan dan keterlibatan emosional, menjadi lahan subur bagi narasi-narasi
semacam ini untuk tumbuh. Informasi yang beredar umumnya miskin data dan lebih
banyak menggunakan pesan-pesan emotif yang akurasinya patut dipertanyakan
(Pratama, 2019). Kecepatan penyebaran ini secara drastis mengurangi kemampuan
dan kesempatan setiap orang untuk menyaring kualitas informasi, sehingga
refleksi pengguna berkurang karena kecepatan menjadi tolok ukur utama.
Pada tingkat individu, kita secara inheren rentan terhadap
jebakan ini karena mesin kognitif kita sendiri. Salah satu mekanisme psikologis
yang paling kuat adalah bias konfirmasi, yakni kecenderungan bawaan untuk
mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang
sudah ada sebelumnya (Pratama, 2019).
Ketika narasi awal yang negatif tentang Kiai MIM muncul,
individu yang mungkin sudah memiliki pandangan sinis terhadap figur otoritas
akan dengan mudah menerimanya. Menerima informasi yang mengonfirmasi keyakinan
akan memicu respons emosional positif, sebuah perasaan divalidasi yang membuat
seseorang cenderung tidak peduli apakah informasi itu benar atau tidak, dan
bahkan mendorongnya untuk segera menyebarkannya kembali. Ironisnya, mekanisme
yang sama juga menjelaskan pembalikan opini yang cepat. Ketika narasi tandingan
muncul dan mulai mendapatkan momentum, bias konfirmasi kembali bekerja,
mendorong individu untuk menyelaraskan diri dengan konsensus kelompok yang baru
demi mempertahankan perasaan berada di "sisi yang benar".
Kerentanan psikologis ini dieksploitasi dan diperkuat secara
sistemik oleh arsitektur platform digital itu sendiri. Algoritma media sosial
menciptakan apa yang disebut sebagai Ruang Gema (Echo Chamber) dan
Gelembung Filter (Filter Bubble). Lingkungan ini secara aktif menyajikan
konten yang kita sukai dan menyembunyikan pandangan yang berlawanan,
menciptakan ilusi bahwa semua orang berpikir sama. Di dalam kurungan digital
ini, sebuah narasi tunggal—baik penghukuman maupun pemujaan—dapat beredar dan
diamplifikasi tanpa sanggahan, yang pada akhirnya memperkuat polarisasi. Ketika
individu-individu yang terperangkap dalam bias kognitif ini berkumpul di dalam
ruang gema, lahirlah sebuah massa digital dengan dinamikanya sendiri yang kuat.
Teori Identitas Sosial (Tajfel & Turner, 1979)
menjelaskan bagaimana konflik daring sering kali dibingkai sebagai pertarungan
antara kelompok-dalam (in-group) yang berbudi luhur dan kelompok-luar (out-group)
yang jahat. Kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok dan menegaskan
identitas menjadi motivator kuat untuk berpartisipasi dalam penghakiman massal.
Keganasan hujatan awal dapat dijelaskan melalui Efek
Disinhibisi Daring (Suler, 2004), di mana faktor-faktor seperti anonimitas
dan ketidakterlihatan fisik menghilangkan rem sosial yang biasanya mencegah
kita berperilaku ekstrem di dunia nyata. Pengguna merasa terlindung dari
konsekuensi, seolah-olah tindakan mereka terjadi dalam sebuah permainan
terpisah dari realitas. Kemudian, ketika arus opini mulai berbalik, Efek
Ikut-ikutan (Bandwagon Effect) mengambil alih.
Metrik seperti jumlah suka dan bagikan ulang berfungsi
sebagai isyarat sosial yang menandakan popularitas sebuah sudut pandang,
mendorong lebih banyak orang untuk melompat ke gerbong yang sama. Di tengah
hiruk pikuk ini, rasa tanggung jawab pribadi menguap melalui proses Difusi
Tanggung Jawab, sebuah kondisi di mana individu merasa berkurang rasa
bersalahnya karena banyak orang lain yang terlibat dalam tindakan yang sama.
Logika yang berlaku adalah, "Jika semua orang melakukannya, tidak
mungkin ini salah."
Paparan yang terus-menerus terhadap siklus penghakiman kilat
ini pada akhirnya menormalisasi kedangkalan itu sendiri. Mengadaptasi Teori
Kultivasi dari George Gerbner, kita dapat melihat bahwa media sosial secara
perlahan mengultivasi persepsi kita tentang realitas. Ia menanamkan keyakinan
bahwa wacana publik yang sah adalah yang bersifat instan, emosional, dan tidak
memerlukan verifikasi mendalam. Akibatnya, aib atau rasa malu dalam menyebarkan
informasi yang belum terverifikasi terkikis secara parah. Menyebarkan isu palsu
tidak lagi dianggap sebagai hal yang memalukan, melainkan sebagai tiket
partisipasi dalam drama kolektif harian.
Untuk melawan erosi etika ini, solusi utamanya terletak pada
penguatan benteng pertahanan internal setiap individu. Peningkatan literasi
digital dan penajaman kemampuan berpikir kritis menjadi sebuah urgensi yang
tidak bisa ditawar lagi. Kemampuan untuk secara sadar mengenali bias dalam diri
sendiri, memverifikasi sumber, dan menahan dorongan impulsif untuk bereaksi
adalah keterampilan bertahan hidup yang esensial di era digital. Tanpa upaya
kolektif untuk mengultivasi kekritisan, kita akan terus terombang-ambing dalam
gelombang pasang surut amuk digital, di mana kebenaran menjadi komoditas sekali
pakai dan martabat menjadi korban pertama. (*)
Posting Komentar