Film dan Buku di Era Orde Baru

Photo by Joshua Olsen on Unsplash


Sebentar lagi kita akan disuguhi oleh ingatan lekat dan lekat, sebuah pertunjukan yang bagi sebagian besar generasi tua, masih dianggap sebagai kebenaran: Film G30S/PKI. Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun, membangun legitimasinya di atas fondasi yang kokoh, tidak hanya melalui kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga melalui penguasaan narasi.

Rezim ini secara sadar menggunakan medium budaya populer seperti film dan instrumen pendidikan formal seperti buku sebagai alat untuk menyebarkan ideologi negara, sementara pada saat yang sama secara sistematis memberangus karya-karya yang dianggap menyimpang dari narasi resmi. Tindakan mempromosikan satu jenis wacana sambil menekan wacana lain ini bukanlah sebuah paradoks, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama: sebuah sistem kontrol terpadu yang bertujuan mencapai hegemoni total atas ruang imajinasi dan pemikiran publik.

Untuk memahami penggunaan film dan buku sebagai instrumen kontrol, penting untuk terlebih dahulu membedah arsitektur politik dan ideologis yang menopang rezim Orde Baru. Tatanan ini dibangun di atas tiga pilar utama: doktrin stabilitas nasional, instrumentalisasi Pancasila, dan konstruksi musuh bersama dalam wujud anti-komunisme. Rezim yang lahir dari krisis politik pasca-peristiwa 1965 ini memusatkan kekuasaan secara ekstrem di tangan lembaga kepresidenan (Harsasto, 2007).

Stabilitas politik dan keamanan nasional dijadikan dalih utama untuk membenarkan struktur kekuasaan yang monolitik dan otoriter, di mana segala bentuk perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman. Untuk menegakkan stabilitas ini, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diberikan peran sosial-politik yang dominan melalui doktrin Dwifungsi ABRI, sementara Golongan Karya (Golkar) difungsikan sebagai mesin politik utama negara.

Di samping kekuatan fisik, Orde Baru juga membangun hegemoni ideologis dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya tafsir kebenaran dan alat untuk melabeli lawan politik sebagai anti-Pancasila atau subversif (Harsasto, 2007). Fondasi dari seluruh bangunan kekuasaan ini adalah narasi anti-komunisme, di mana rezim secara sistematis merawat ketakutan terhadap bahaya laten komunis untuk melegitimasi kelahirannya dan menjustifikasi segala tindakan represif (Istakhori, 2025).  

Untuk menanamkan pilar-pilar ideologis ini ke dalam benak masyarakat, rezim Orde Baru secara strategis memanfaatkan medium budaya populer dan sistem pendidikan formal. Sadar akan kekuatan gambar bergerak, negara menjadi produser aktif narasi-narasi yang mendukung kekuasaannya melalui Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Mahakarya propaganda Orde Baru yang paling monumental adalah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984). Film ini didasarkan pada versi sejarah resmi yang menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang tunggal peristiwa 1965 dan membangun dikotomi moral yang ekstrem: para jenderal sebagai pahlawan saleh dan PKI sebagai entitas kejam.

Melalui kebijakan penayangan wajib tahunan, film ini berhasil menanamkan memori kolektif tunggal kepada satu generasi. Jika G30S/PKI melegitimasi kelahiran rezim, film-film seperti Janur Kuning (1980) dan Serangan Fajar (1982) bertujuan membangun kultus individu Soeharto. Dalam film-film tersebut, Soeharto digambarkan sebagai arsitek utama Serangan Umum 1 Maret 1949 dan pahlawan yang ditakdirkan memimpin, sementara peran tokoh kunci lain sengaja diminimalisasi (Ashrianto, 2015).  

Narasi heroik yang divisualisasikan secara dramatis di layar lebar ini mendapatkan pembenaran akademisnya di ruang-ruang kelas. Orde Baru secara sistematis merekayasa kurikulum menjadi mesin indoktrinasi massal. Melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), rezim menanamkan kepatuhan dan membendung sikap kritis dengan menekankan pada hafalan butir-butir Pancasila daripada pemahaman kritis (Ardanareswari, 2019). Darmaningtyas bahkan berpendapat bahwa produk dari PMP adalah individu yang taat, takut, dan sekaligus pengecut. Sementara itu, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) bertugas membentuk kesadaran historis yang sejalan dengan visi negara. Dirancang oleh Nugroho Notosusanto, arsitek historiografi resmi Orde Baru, materi PSPB sangat kental dengan nuansa militeristik dan bertujuan menanamkan sikap anti-komunis yang militan kepada siswa (Rizal, 2023). Sinergi antara film sebagai penguat emosional dan pendidikan sebagai kerangka intelektual menciptakan sebuah lingkaran indoktrinasi yang sangat kuat.  

Namun, penciptaan narasi resmi ini tidak akan efektif tanpa diiringi upaya sistematis untuk membungkam semua suara alternatif. Untuk itu, Orde Baru membangun aparatus sensor yang kuat untuk membersihkan lanskap intelektual dari gagasan-gagasan berbahaya. Landasan hukum utamanya adalah Penetapan Presiden (PNPS) No. 4 Tahun 1963, yang memberikan wewenang luar biasa kepada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku tanpa melalui proses peradilan (Yusuf, 2010).

Kriteria pelarangan yang kabur, seperti mengganggu ketertiban umum, memungkinkan penafsiran sepihak oleh penguasa. Figur yang paling merepresentasikan penindasan ini adalah Pramoedya Ananta Toer. Setelah naskah-naskahnya dibakar habis oleh tentara pasca-1965, karya-karya masterpiece-nya yang lahir di Pulau Buru, seperti Tetralogi Buru, secara sistematis dilarang beredar dengan tuduhan menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme (Pribadi, 2019). Ancaman sesungguhnya dari karya Pramoedya adalah kekuatannya dalam menawarkan narasi tandingan tentang sejarah Indonesia dari sudut pandang rakyat (Yusuf, 2010). Daftar hitam rezim juga mencakup karya-karya lain yang dianggap kritis, mulai dari puisi Lekra, buku historis Soe Hok Gie, hingga dokumen kritik mahasiswa, yang semuanya diberangus dalam sebuah praktik higiene naratif untuk menjaga kemurnian wacana negara.  

Runtuhnya Orde Baru pada 1998 tidak serta-merta menghapus warisan dari 32 tahun kontrol naratif. Salah satu warisan paling merusak adalah fobia anti-komunisme yang mendalam, sebuah fenomena yang disebut sebagai "Zombie Anti-Komunisme" (Purba, 2025). Ketakutan terhadap hantu komunisme ini terus dimobilisasi untuk menyerang lawan politik dan menghalangi upaya rekonsiliasi sejarah (Kontras, 2021).

Selain itu, propaganda negara melembagakan stigma lintas generasi terhadap para penyintas tragedi 1965 dan keluarga mereka. Melalui penandaan administratif seperti kode "ET" (Eks-Tapol) pada KTP dan kurikulum sekolah, negara menciptakan diskriminasi sistematis yang diwariskan turun-temurun (Purba, 2025). Warisan stigma dan ketakutan inilah yang menjadi penghalang utama bagi proses rekonsiliasi nasional yang jujur.

Pada akhirnya, penggunaan buku dan film oleh rezim Orde Baru menunjukkan sebuah strategi kontrol naratif yang canggih dan berlapis. Propaganda dan represi bukanlah dua kebijakan yang terpisah, melainkan sebuah sistem terpadu yang bekerja secara simbiosis. Propaganda bertugas untuk menciptakan realitas versi negara, sementara sensor bertugas untuk menghancurkan semua narasi yang dapat membantahnya. Tujuan akhirnya adalah penguasaan total atas ruang imajinasi publik. Meskipun rezim ini telah runtuh, warisan berupa fobia politik dan luka sejarah yang belum sembuh terus membayangi Indonesia hingga hari ini, menunjukkan betapa dalamnya jejak yang ditinggalkan oleh sebuah kekuasaan yang memonopoli cerita. (*)

 

0/Post a Comment/Comments