Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang yang ditulis
oleh Joko Waskito dan diterbitkan oleh Ultimus pada tahun 2017 adalah sebuah
karya historiografi yang luar biasa, tidak hanya sebagai memoar pribadi tetapi
juga sebagai kesaksian penting dari seorang tokoh kunci dalam sejarah Partai
Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan utama buku ini terletak pada fakta bahwa
proses penulisannya sudah dilakukan jauh sebelum Rewang meninggal pada tahun
2011, menjadikannya rekaman otentik dari penuturannya sendiri dan meminimalisir
kemungkinan distorsi pasca-kematian. Buku ini adalah sebuah sumber primer yang
menyajikan narasi alternatif, menantang hegemoni sejarah versi Orde Baru dan
memberikan pandangan orang dalam yang langka terhadap peristiwa-peristiwa
paling traumatik dalam sejarah Indonesia kontemporer.
Buku ini memperkenalkan Rewang, yang nama aslinya adalah
Subandi, lahir di Solo pada tahun 1928 dari keluarga buruh batik. Perjalanan
karirnya di PKI sungguh pesat; dimulai dengan bergabung setelah kemerdekaan, ia
terpilih sebagai anggota Dewan Kota Surakarta pada tahun 1946 dan kemudian
menjadi Ketua PKI di Sukoharjo. Puncaknya, ia menjabat sebagai anggota Central
Committee (CC) pada tahun 1959, kemudian menjadi anggota Politbiro, dan
pada tahun 1965 ia memegang posisi Kepala Departemen Kebudayaan serta anggota
Sekretariat CC PKI. Posisinya yang strategis ini menjadikan kesaksiannya
memiliki bobot dan relevansi historis yang tak terbantahkan.
Salah satu kontribusi terpenting dari memoar ini adalah
kesaksiannya tentang peristiwa G30S. Rewang secara tegas menyatakan bahwa ia,
sebagai salah satu pimpinan, tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada
malam itu. Ia mengakui bahwa isu "Dewan Jenderal" memang sudah
beredar, tetapi partai tidak sedang mempersiapkan diri untuk aksi militer.
Menurut Rewang, pihak yang terlibat adalah segelintir pimpinan, terutama unit
rahasia yang dikenal sebagai "Biro Khusus" di bawah pimpinan Sjam
Kamaruzzaman. Biro ini beroperasi secara "ilegal" dalam struktur
partai, dengan keputusan-keputusannya tidak melibatkan Politbiro. Kesaksian ini
menempatkan kegagalan G30S sebagai kesalahan taktis dari sekelompok kecil
orang, alih-alih sebagai kesalahan ideologis seluruh partai.
Selain itu, buku ini menguraikan perjuangan Rewang dan
pimpinan PKI yang tersisa setelah G30S. Mereka berupaya menganalisis penyebab
kekalahan partai, yang berpuncak pada perumusan dokumen penting yang dikenal
sebagai "Otokritik Politbiro CC PKI". Rewang, bersama Sudisman dan
Oloan Hutapea, menyusun dokumen ini yang berani mengkritik "kesalahan
besar" masa lalu, seperti kegagalan menjadikan isu fundamental perjuangan
sebagai persoalan seluruh partai.
Dokumen ini menjadi dasar ideologis untuk membangun kembali
gerakan dengan mengadopsi tiga panji baru: pembangunan kembali partai,
perjuangan bersenjata, dan front nasional. Implementasi dari teori ini terwujud
dalam perjuangan bersenjata (Perjuta) di Blitar Selatan dari tahun 1967
hingga 1968. Rewang mencatat bahwa Blitar Selatan dipilih karena daerahnya yang
terisolasi dan warganya yang miskin, yang membuat mereka lebih mudah
dipengaruhi oleh ideologi komunis. Namun, gerakan ini akhirnya ditumpas oleh
Operasi Trisula, yang juga berujung pada penangkapan Rewang pada tanggal 21
Juli 1968.
Sebagai lampiran, buku ini memuat pledoi Rewang di Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmilub), yang merupakan pembelaan diri di bawah ancaman
hukuman mati. Dalam pledoinya, Rewang membantah tuduhan rezim Orde Baru bahwa
PKI adalah partai yang anti-Pancasila dan menegaskan peran historis PKI dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pledoi ini bukan hanya upaya pembelaan,
melainkan dokumen historis yang menantang narasi tunggal yang berkuasa.
Singkatnya, Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang
adalah sebuah karya yang sangat berharga. Ia tidak hanya memberikan deskripsi
langsung tentang apa yang dilihat dan dirasakan oleh Rewang selama
peristiwa-peristiwa bersejarah, termasuk puisi-puisinya yang ditulis di
penjara, tetapi juga menyediakan sumber-sumber otentik yang dapat digunakan
untuk wacana sejarah tandingan. Meskipun demikian, penting untuk membaca memoar
ini secara kritis, mengingat bahwa setiap ingatan pribadi dapat mengandung bias
atau distorsi. Namun, dengan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, buku
ini menjadi suara penting yang memperkaya pemahaman kita tentang salah satu
babak tergelap dalam sejarah Indonesia. (*)

Posting Komentar