Sirkus, Cinta, dan Luka Sosial


Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata jujur harus diakui berhasil menyita konsentrasi pembaca. Sejak halaman-halaman awal, kisah ini menjerat dengan kekuatan bahasa yang memikat dan kejenakaan yang khas, sehingga membuat pembaca enggan beralih ke bacaan lain sebelum tuntas. Andrea Hirata berhasil menghadirkan cerita dalam dua dimensi ruang dan waktu sekaligus: pada satu sisi ada Hobri, Taripol, dan kawan-kawan dalam dunia orang dewasa yang penuh liku, sementara pada sisi lain ada Tegar dan Tara yang tumbuh dari anak-anak menjadi remaja dengan segala kepolosan dan cinta pertamanya. Dua garis narasi ini berjalan beriringan, menghadirkan tekstur kisah yang kaya, di mana kejenakaan sirkus disandingkan dengan politik desa yang penuh intrik.

Hobri, yang juga disebut Sobri, menjadi figur sentral. Ia dikenal sebagai pemuda pengangguran dengan reputasi buruk karena pernah tergabung dalam kelompok “mafia Gank Granat”. Namun justru di titik terendah itulah kisah paling menyentuh terjadi: ketika Hobri diterima kerja menjadi badut sirkus. Adegan ini merupakan salah satu momen paling kuat dalam novel, karena di situ kita melihat bagaimana stigma sosial runtuh oleh kepercayaan seorang tokoh yang disebutnya “Ibu Bos”. Semua orang menilai Hobri negatif, tetapi Ibu Bos justru menilai sebaliknya. Baginya, Hobri luar biasa karena memiliki semangat dan keuletan dalam mengerjakan apa saja. Kata-kata sederhana “Bangun pagi, let’s go!” menjadi semacam mantra yang melekat dalam perjalanan Hobri, membangunkan keyakinan bahwa manusia bisa berubah ketika diberi kesempatan.

Sikap humanis Ibu Bos ditegaskan melalui pandangan tajamnya tentang gosip dan penilaian sosial. “Orang-orang yang berkata tentang diri mereka sendiri, melebih-lebihkan. Orang-orang yang berkata tentang orang lain, mengurang-ngurangi” (hlm. 176). Dengan kalimat lugas ini, Andrea Hirata menghadirkan kritik sosial yang subtil, sekaligus memberikan fondasi moral bagi karakter Ibu Bos. Ia tidak pernah memedulikan masa lalu Hobri, bahkan saat Hobri mengajak Taripol bergabung dalam rombongan sirkus. Di tengah dunia yang penuh stigma, sikap Ibu Bos adalah oase kemanusiaan.

Selain kisah pribadi Hobri, novel ini juga membentangkan dimensi politik desa. Dari panggung kecil sirkus yang menghibur, pembaca dibawa masuk ke panggung besar politik lokal dengan segala intriknya. Andrea Hirata mengawinkan dua dunia ini: dunia hiburan rakyat dengan dunia perebutan kekuasaan. Dari Taripol yang kemudian terlibat dalam dinamika politik desa hingga kehadiran Gastori yang bersiap mencalonkan diri sebagai kepala desa, novel ini menyingkap ironi: sirkus dan politik sesungguhnya sama-sama panggung, sama-sama penuh peran dan ilusi, hanya berbeda kostum.

Namun demikian, ada beberapa hal yang cukup mengganggu jika ditilik dari segi alur dan konsistensi waktu. Pertama, vonis setahun penjara untuk Taripol terasa berlarut-larut jika dibandingkan dengan rangkaian peristiwa yang dialami Hobri di luar. Sejak Hobri terusir dari rumah, mendapat pekerjaan, membeli tanah, membangun rumah, melamar Dinda, hingga akhirnya menjenguk dan mengajak Taripol bergabung, rentang waktu yang dihabiskan terkesan jauh melebihi vonis satu tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesinambungan narasi waktu.

Kedua, paska sirkus bubar dan Taripol bergabung, tiba-tiba ia muncul dalam dialog tim sukses Gastori (hlm. 208). Lompatan ini memberi kesan terburu-buru, seakan ada celah yang tidak sepenuhnya dijembatani oleh narasi. Pembaca yang cermat bisa merasa bingung: kapan tepatnya Taripol bertransformasi dari mantan narapidana dan anggota sirkus menjadi bagian dari tim politik?

Ketiga, persiapan pencalonan kepala desa Gastori digambarkan begitu panjang. Andrea Hirata tampaknya ingin menekankan kerumitan politik lokal, dengan segala intrik, basa-basi, dan strategi, tetapi bagi sebagian pembaca, rentang yang panjang ini justru terasa mengulur. Apalagi jika dibandingkan dengan ritme cerita lain yang lebih cepat dan dinamis.

Meski demikian, kelemahan-kelemahan itu tidak sepenuhnya mereduksi kekuatan novel. Justru dari situ pembaca bisa melihat gaya khas Andrea Hirata yang lebih mengedepankan cerita-cerita manusia ketimbang logika alur kronologis. Ia lebih sibuk menyoroti percikan humor, paradoks nasib, dan renungan kemanusiaan, daripada memastikan waktu berjalan konsisten. Seperti dalam kehidupan nyata, ada bagian-bagian yang tak selaras, tak logis, bahkan membingungkan.

Secara keseluruhan, Sirkus Pohon berhasil menjadi komedi getir yang memadukan hiburan rakyat dan kritik sosial. Andrea Hirata memotret manusia kecil dengan penuh empati, tanpa menggurui. Ia menertawakan hidup, tetapi juga mengajak kita merenungi luka di balik tawa. Hobri, Taripol, Tegar, dan Tara adalah wajah-wajah manusia biasa, yang dengan segala keterbatasannya tetap berusaha mencintai, bekerja, dan bermimpi. Dari panggung sirkus hingga panggung politik, novel ini menunjukkan bahwa kehidupan adalah sebuah sirkus besar: riuh, penuh intrik, penuh tawa, tetapi juga penuh luka yang tak pernah benar-benar hilang.

 

Catatan: Resensi ini sudah pernah saya publikasikan 9 tahun lalu, tepatnya selesai ditulis 22 Agustus 2019 meski saat ini sulit dilacak keberadaannya.


0/Berikan Kritik - Saran/Comments