Cantik, Luka dan Epik Sejarah

Ilustrasi AI

Novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, pertama kali terbit pada tahun 2002, adalah sebuah karya sastra epik yang melampaui batas-batas realitas dan sejarah. Novel ini bukan sekadar cerita fiksi, melainkan sebuah tapestry yang merajut realisme magis, sejarah kelam Indonesia, dan tragedi kemanusiaan yang abadi. Melalui narasi yang penuh metafora dan surealisme, Eka Kurniawan membawa kita menyelami kehidupan Dewi Ayu dan keempat putrinya yang seolah terjerat dalam sebuah kutukan—kecantikan.

Narasi dibuka dengan peristiwa yang luar biasa: Dewi Ayu, seorang pelacur legendaris di kota fiktif Halimunda, bangkit dari kubur setelah 21 tahun kematiannya. Peristiwa ini bukan sekadar sensasi, melainkan pintu gerbang menuju sebuah perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Kisah maju-mundur ini membawa kita melintasi masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, Revolusi Kemerdekaan, hingga periode genosida 1965.

Eka dengan cerdas menempatkan Dewi Ayu dan keluarganya sebagai saksi, korban, dan bahkan pelaku dari gejolak sejarah tersebut. Keberadaan Dewi Ayu, yang dipaksa menjadi pelacur oleh tentara Jepang, menjadi simbol kekerasan kolonial dan patriarki yang menindas perempuan. Ia adalah korban, sekaligus sosok yang pragmatis dan kuat, sebuah paradoks yang mendefinisikan perjuangan hidup.

Kekuatan utama novel ini terletak pada kemampuannya untuk menggabungkan dua genre yang sering dianggap berlawanan: realisme dan fantasi. Eka Kurniawan menggunakan realisme magis ala Gabriel García Márquez, di mana kejadian-kejadian ajaib diterima sebagai bagian dari realitas. Dari ciuman yang membakar hingga arwah yang berbicara, dari babi yang berubah menjadi manusia hingga anak yang lahir dari pemerkosaan anjing—elemen-elemen ini tidak membuat cerita menjadi tidak masuk akal, melainkan justru memperdalam makna. Kehadiran elemen magis ini berfungsi sebagai metafora untuk kekejaman dan absurditas sejarah itu sendiri. Kutukan yang menimpa keluarga Dewi Ayu, terutama anak-anaknya yang dilahirkan cantik dan berujung pada penderitaan, adalah manifestasi dari luka-luka sejarah yang tidak tersembuhkan.

Setiap karakter, dari Dewi Ayu hingga keempat putrinya—Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Si Cantik—memiliki nasib yang tragis dan saling terhubung. Kecantikan mereka menjadi bumerang yang membawa malapetaka. Alamanda yang menawan terjerat dalam pusaran politik, Adinda yang setia harus menghadapi konsekuensi kekejaman politik, sementara Maya Dewi yang lembut harus menerima nasibnya dalam pernikahan yang tak terduga.

Puncak tragedi terjadi pada putri keempat, Si Cantik, yang dilahirkan buruk rupa, seolah menjadi jawaban atas doa Dewi Ayu untuk memutus rantai kutukan. Namun, justru di sanalah ironi paling menyakitkan bersemayam. Si Cantik, yang seharusnya menjadi penyelamat keluarga, justru menjadi penyebab kehancuran yang tak terduga. Kehadirannya tidak membawa damai, melainkan memicu babak baru tragedi yang lebih dalam. Sosoknya yang buruk rupa menjadi pemicu kekerasan, penghinaan, dan bahkan menjadi dalang dari sebuah peristiwa yang paling mengerikan dalam novel.

Eka Kurniawan dengan brilian menunjukkan bahwa kutukan sejatinya tidak terletak pada paras, melainkan pada luka dan trauma sejarah yang mengakar kuat. Kecantikan hanyalah pemicu, namun kehancuran sesungguhnya lahir dari dendam, kekerasan, dan keengganan untuk melepaskan masa lalu. Si Cantik, yang dilahirkan untuk mengakhiri kutukan, justru membuktikan bahwa luka itu terlalu dalam untuk disembuhkan oleh sekadar doa dan penampilan fisik. Ia adalah manifestasi nyata dari sejarah yang terus-menerus melukai.

Gaya penulisan Eka Kurniawan terasa sangat lugas tapi puitis. Ia tidak ragu menggunakan bahasa yang vulgar dan eksplisit untuk menggambarkan kekerasan dan seksualitas. Meskipun kontroversial, hal ini justru memberikan kekuatan pada narasi, membuat kisah ini terasa mentah dan jujur. Alur cerita yang maju-mundur dan penuh interkoneksi membuat pembaca harus terus menerus menalar dan merangkai potongan-potongan cerita. Eka juga piawai dalam meramu cerita-cerita kecil yang pada akhirnya membentuk sebuah gambaran besar tentang sebuah bangsa yang lahir dari kekerasan.

Melalui Cantik itu Luka, Eka Kurniawan tidak hanya memberikan kritik tajam terhadap kekerasan dan patriarki, tetapi juga merefleksikan identitas bangsa Indonesia yang hibrida, terbentuk dari perpaduan berbagai budaya dan kekerasan historis. Novel ini adalah sebuah karya sastra yang berani, mendalam, dan tak terlupakan. Bukan tanpa alasan, novel ini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dan diakui secara internasional. Novel ini adalah sebuah epik yang wajib dibaca, sebuah pengingat bahwa di balik segala keindahan, sering kali tersembunyi luka yang paling dalam. (*)

0/Post a Comment/Comments