![]() |
Ferry Irwandi (Ilustrasi/Modifikasi AI/ChatGPT) |
Dalam lanskap media digital yang kian ramai, Ferry Irwandi
telah muncul sebagai figur sentral yang mengklaim diri sebagai pembawa obor
pemikiran kritis Tan Malaka. Melalui Malaka Project, ia menyebarkan
gagasan tentang rasionalitas dan perlawanan terhadap logika mistika, sebuah
tema sentral dalam magnum opus Tan Malaka, Madilog. Namun, sebuah
pertanyaan kritis muncul: apakah Ferry Irwandi benar-benar mengikuti jejak Tan
Malaka, ataukah ia hanya memanfaatkan narasi historis yang kuat untuk membangun
brand pribadinya?
Secara mendasar, ada kontradiksi fundamental antara narasi
yang dibangunnya dengan realitas tindakannya, sebuah analisis yang membuktikan
bahwa apa yang dilakukan Ferry Irwandi lebih tepat disebut sebagai pragmatisme
populis ketimbang pengorbanan revolusioner.
Untuk memahami mengapa jejak Ferry Irwandi tidak sejalan
dengan pemikiran revolusioner, kita harus terlebih dahulu mendefinisikan konsep
"bunuh diri kelas" (class suicide). Konsep ini bukanlah
tindakan fisik, melainkan sebuah pengorbanan ideologis yang mutlak, di mana
kaum borjuis atau borjuis kecil melepaskan hak istimewa, kekuasaan, dan posisi
kelas mereka untuk beridentifikasi dengan massa pekerja dan kaum tani .
Pengorbanan ini didasarkan pada kesadaran revolusioner,
bukan pada kepentingan material langsung mereka sebagai sebuah kelas sosial .
Jejak hidup para revolusioner klasik memberikan bukti yang tak terbantahkan
tentang hal ini. Karl Marx, meskipun lahir dari keluarga pengacara terpandang,
menjalani sebagian besar hidupnya dalam kemiskinan dan terusir dari satu kota
ke kota lain karena ideologinya. Ia secara finansial sangat bergantung pada
bantuan temannya, Friedrich Engels, yang berasal dari keluarga pengusaha kaya .
Di Indonesia, Tan Malaka, yang lahir dari keluarga bangsawan
Minangkabau dengan gelar Datuk Sutan Malaka, menolak kehidupan yang nyaman. Ia
memilih untuk mengajar anak-anak buruh di perkebunan Deli yang ia sebut tanah
neraka bagi para pekerja. Sepanjang hidupnya, ia adalah seorang pelarian yang
seringkali menyamar, termasuk sebagai tukang jahit, dan berulang kali ditangkap
oleh otoritas kolonial. Demikian pula, Che Guevara secara sadar mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai menteri di Kuba, bahkan melepaskan
kewarganegaraannya, untuk kembali ke medan gerilya dan melanjutkan perjuangan
bersenjata yang ia tahu kemungkinan besar akan berakhir dengan kematiannya.
Inti dari bunuh diri kelas adalah pengorbanan total,
sebuah tindakan yang tidak bisa dikomodifikasi, yang membedakan seorang ideolog
sejati dari seorang komentator.
Kontradiksi muncul ketika kita meninjau kembali Madilog.
Karya ini adalah sintesis materialisme dialektis Marxis dan logika Hegelian
yang ditulis Tan Malaka di tengah persembunyiannya dari pendudukan Jepang.
Lebih dari sekadar buku filsafat, Madilog adalah sebuah alat pendidikan
politik yang dirancang untuk memberdayakan masyarakat dalam perjuangan mereka.
Tujuannya adalah untuk menantang "logika mistika" dan cara berpikir
dogmatis yang mengakar dalam masyarakat. Namun, terdapat perbedaan mendasar
dalam cara Madilog dipahami dan diimplementasikan oleh Tan Malaka dengan
cara ide ini diadaptasi dalam konteks modern. Tan Malaka menulis karyanya dalam
persembunyian, tanpa fasilitas akademis atau kenyamanan media populer, dan
karyanya ditujukan untuk massa yang paling tertindas (kaum murba).
Sebaliknya, Malaka Project yang diinisiasi oleh Ferry
Irwandi bersama figur publik lainnya, seperti Jerome Polin dan Coki Pardede ,
beroperasi dengan logika yang berbeda. Meskipun proyek ini menyatakan visinya
untuk "membentuk masyarakat baru" yang "kritis, rasional, dan
empatik" terinspirasi dari Tan Malaka , realitasnya menunjukkan bahwa ini
adalah sebuah "perusahaan teknologi enabler" yang menawarkan
"Layanan Terkelola" dan "Solusi Teknologi Pemasaran" . Ini
adalah pergeseran yang menguatkan hipotesis bahwa substansi ideologis yang
dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi aksi kolektif diubah menjadi sebuah brand
atau framing device yang menghasilkan kapital digital dalam bentuk
popularitas dan pendapatan iklan. Logika bisnis ini secara fundamental
berlawanan dengan perjuangan revolusioner anti-kapitalis Tan Malaka.
Karier Ferry Irwandi dari seorang Pegawai Negeri Sipil di
Kementerian Keuangan selama hampir satu dekade menuju seorang kreator konten
ternama adalah sebuah transisi dari kemapanan struktural ke kemapanan yang
lebih otonom dan menguntungkan. Pada November 2022, Ferry mengundurkan diri
untuk fokus pada jalur aktivisme serta dunia konten digital.
Namun, perpindahan ini bukanlah pergeseran dari kemapanan
menuju "penderitaan rakyat." Sebaliknya, ia adalah perpindahan ke
ranah yang berpotensi menghasilkan penghasilan yang jauh lebih besar dan
kapital yang lebih signifikan. Kontennya seringkali menyengat dan beresonansi
dengan "bahasa frustrasi sehari-hari" , yang dianalisis sebagai
"provokasi yang dirancang untuk viral". Tujuannya adalah
"menjadi pembicaraan banyak orang" , bukan secara fundamental
mengubah kondisi material mereka.
Para revolusioner klasik mengorganisir "rakyat sebagai
agen perubahan". Sebaliknya, model Malaka Project adalah sebuah ekosistem
yang memanfaatkan kekuatan "kreator" untuk "memperluas
jangkauan" dan pemasaran. Ini adalah pergeseran dari paradigma
pengorganisasian berbasis kelas menjadi paradigma pemasaran berbasis jaringan.
Subjek revolusi adalah massa, yang digerakkan untuk beraksi, sedangkan
subjek ekonomi kreator adalah kreator itu sendiri, yang memanfaatkan
massa sebagai objek dari konten.
Dengan demikian, analisis ini secara kuat menguatkan
hipotesis bahwa jejak Ferry Irwandi tidak sejalan dengan konsep "bunuh
diri kelas" dan filosofi Madilog yang otentik. Tindakannya bukan
manifestasi pengorbanan ideologis yang mutlak, melainkan sebuah manuver
strategis dalam ekonomi kreator. Ia tidak "meninggalkan kemapanan"
untuk merasakan penderitaan rakyat, melainkan mentransformasi kemapanan dari
bentuk birokrasi negara menjadi bentuk yang lebih modern, otonom, dan
menguntungkan.
Penggunaan nama Madilog dan "Malaka" dalam
proyeknya lebih berfungsi sebagai strategi pemasaran yang efektif, memanfaatkan
narasi historis yang kuat untuk melegitimasi platform yang pada dasarnya
beroperasi dengan logika bisnis dan viralitas . Kredibilitasnya berasal dari
popularitas digital, bukan dari pengorbanan personal. Fenomena ini bukanlah
"bunuh diri kelas," melainkan sebuah manifestasi dari "pilihan
karier populis" yang mengeksploitasi kapital sosial dan digital.
Anda sebagai pengagum Ferry Irwandi yang dengan cerdas
meracik dan mengkomodifikasi pemikiran Tan Malaka, terutama Madilog,
untuk kepentingan pasar—sebuah eksploitasi gagasan—bisa saja tidak setuju
dengan pandangan ini. Tapi, pendapat tersebut tidak bisa bertahan jika Anda
tidak bersedia melihat jejak perjuangan yang sesungguhnya secara lebih jernih
dan objektif. Sebab, perjuangan sejati para revolusioner bukanlah tentang
popularitas atau keuntungan, melainkan tentang pengorbanan mutlak yang tidak
bisa disamakan dengan alih profesi.(*)
Posting Komentar