![]() |
| Insan Cita Awards (Sumber Foto: Antara) |
Di usia ke-59, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa
Islam (KAHMI) berdiri tegak mengangkang, berselimutkan aura kebesaran yang tak
terbantahkan. Narasi yang ditakbirkan berulang setiap kali milad adalah tentang sebuah
kesuksesan: kader yang tersebar di mana-mana, menempati posisi strategis di
setiap spektrum kekuasaan, dari istana hingga ruang pengadilan. Perayaan ini, yang
jika tidak diwaspadai, bisa menjadi sebuah festival nostalgia tak berujung—sebuah peneguhan
atas citra diri sebagai raksasa yang pengaruhnya merasuk ke seluruh sendi
bangsa.
Padahal, perayaan milad sejatinya adalah refleksi yang
menuntut lebih dari sekadar gema tepuk tangan di sebuah acara serimoni yang
berlimpah pengakuan. KAHMI dituntut memiliki keberanian untuk menatap cermin
yang retak, untuk mengakui bahwa kekuatan terbesar KAHMI—jaringannya yang masif
dan berpengaruh—secara paradoksal telah menjadi kelemahan paling
fundamentalnya.
Di tengah festivalisasi kebesaran masa lalu, tulisan ini hadir
sebagai sebuah autokritik, sebuah bisikan dari dalam rumah besar hijau-hitam.
Sebuah upaya untuk menyatakan bahwa di usianya yang matang, KAHMI tidak sedang
di puncak kejayaan, melainkan terperangkap dalam tiga jebakan kritis: jebakan
relevansi politik, atrofi intelektual, dan keretakan generasi. Milad
ke-59 ini niscaya diposisikan bukan sekadar momen untuk merayakan dan menyusun list
panjang di mana saja kader KAHMI berada, melainkan untuk bertanya secara
jujur: untuk apa KAHMI ada?
Jebakan Pertama: Paradoks
Jaringan—Berpengaruh Namun Tak Berdaya. Kekuatan KAHMI adalah mitos sekaligus
fakta. Fakta, karena alumninya memang menjadi tulang punggung elite nasional.
Mitos, karena keberadaan di mana-mana itu tidak serta-merta berarti KAHMI
sebagai institusi memiliki pengaruh kolektif yang koheren. Inilah
paradoks pertama: KAHMI adalah kumpulan individu yang sangat berkuasa, tapi
seringkali menjadi organisasi yang impoten secara kelembagaan.
Kader yang tersebar di hampir semua partai politik yang
saling bersaing, KAHMI seringkali tersandera oleh afiliasi politik para
anggotanya. Ketika bangsa menghadapi isu-isu krusial—kemunduran demokrasi,
korupsi sistemik, atau ketidakadilan sosial—suara KAHMI sebagai lembaga
seringkali terdengar gamang, terpecah, atau bahkan bungkam. Sikap resmi independen
menjadi tameng yang nyaman untuk menghindari sikap tegas (untuk tidak menyebutnya
banci). Akibatnya, KAHMI lebih sering berfungsi sebagai arena lobi dan mediasi
kepentingan para elitenya ketimbang sebagai kompas moral bangsa.
KAHMI selama ini telah salah mengartikan pengaruh.
Kita seringkali mengukur pengaruh dari jumlah jabatan yang diduduki alumni,
bukan dari keberanian institusional untuk menyuarakan kebenaran di hadapan
kekuasaan, bahkan ketika kekuasaan itu dipegang oleh anggota kita sendiri.
Jaringan yang seharusnya menjadi modal untuk perubahan, kini justru menjadi
sangkar emas yang membatasi gerak dan independensi KAHMI. Peran sebagai mitra
kritis pemerintah seringkali lebih condong menjadi mitra daripada sikap kritis.
Jebakan Kedua: Atrofi Intelektual—Rindu
Gagasan di Tengah Riuh Kekuasaan. KAHMI adalah rumah besar ide dan gagasan bagi
para pemikir legendaris. Nama-nama seperti Nurcholish Madjid dan Dawam Rahardjo
bukan sekadar alumni; mereka adalah mercusuar peradaban yang gagasannya
membentuk wacana keislaman dan keindonesiaan modern. Mereka adalah perwujudan
paripurna dari Insan Cita: insan akademis, pencipta, dan pengabdi.
Pertanyaan di milad ke-59 ini adalah: Di manakah para Cak
Nur dan Dawam Rahardjo generasi ini? Tradisi intelektual yang dulu menjadi
jantung HMI-KAHMI kini terasa mengalami atrofi—penyusutan. Fokus organisasi
telah bergeser secara dramatis dari produksi gagasan ke perebutan posisi.
Energi kolektif lebih banyak dihabiskan untuk manuver politik dan konsolidasi
kekuasaan daripada untuk melahirkan pemikiran-pemikiran transformatif yang
menjawab tantangan zaman.
Kita terjebak dalam pandangan bahwa KAHMI adalah organisasi
yang political oriented. Akibatnya, kualitas kaderisasi pun terancam.
Ada kekhawatiran bahwa proses perkaderan tidak lagi cukup membekali kader untuk
menghadapi kerasnya kehidupan dengan integritas, terbukti dari adanya oknum
kader yang terlibat dalam praktik korupsi dan kejahatan lainnya, sebuah
pengkhianatan telak terhadap nilai-nilai dasar perjuangan. KAHMI, sebagai wadah
alumni, memiliki tanggung jawab moral atas hal ini. Kita mungkin berhasil
menempatkan kader di banyak tempat, tetapi kita mulai gagal menanamkan esensi Insan
Cita di dalam dada mereka.
Jebakan Ketiga: Keretakan Generasi—Berbicara
dengan Bahasa yang Asing. Ancaman paling eksistensial bagi KAHMI bukanlah
datang dari luar, melainkan dari dalam mata air-nya sendiri: HMI. Ada krisis
relevansi yang nyata di tingkat mahasiswa. Generasi milenial dan Z, yang hidup
dalam ekosistem digital, lebih tertarik pada komunitas yang praktis, berbasis
keahlian, dan menawarkan dampak langsung, seperti komunitas startup atau
gerakan sukarelawan digital.
Model organisasi HMI-KAHMI yang hierarkis, sarat dengan
retorika ideologis, dan mengandalkan jaringan fisik, terasa usang bagi mereka. KAHMI,
sebagai orang tua, telah gagal berinvestasi secara serius untuk memodernisasi
rumah anaknya. Kita membiarkan HMI berjuang sendirian untuk relevan, sementara
kita sibuk dengan urusan di puncak menara gading kekuasaan. Tanggung jawab
untuk memastikan HMI tetap subur ada di pundak para alumni.
Kita membutuhkan gaya kepemimpinan yang lebih terbuka,
dinamis, dan komunikatif yang mampu memberi ruang bagi generasi muda untuk
mengambil peran sebagai pembuat kebijakan, bukan hanya sebagai pelaksana acara.
Tanpa jembatan yang kokoh, akan terjadi keretakan generasi yang fatal. KAHMI
berisiko menjadi klub nostalgia para senior yang ceritanya tidak lagi
beresonansi dengan calon pemimpin masa depan.
Proyeksi Baru: Sebuah Tawaran
Milad ke-59 harus menjadi titik balik. KAHMI harus berani
mendefinisikan ulang dirinya, bergeser dari Korps Alumni—sebuah wadah
eksklusif untuk jejaring dan kesuksesan individual—menuju sebuah Platform
Peradaban—ruang terbuka untuk kolaborasi gagasan dan aksi kolektif demi
kemajuan bangsa.
Transformasi ini menuntut tiga
keberanian: Pertama, keberanian institusional. Membangun mekanisme
internal yang memungkinkan KAHMI mengambil sikap moral yang tegas dan
independen, sekalipun itu berarti mengkritik anggotanya sendiri yang berkuasa.
Peran sebagai penjaga moral dan pilar intelektual bangsa harus diutamakan di
atas segalanya.
Kedua, keberanian intelektual.
Mengalihkan sebagian besar sumber daya dari agenda politik praktis ke investasi
besar-besaran pada pusat-pusat kajian, beasiswa, dan forum-forum pemikiran yang
serius. KAHMI harus kembali menjadi rumah ide dan gagasan yang
melahirkan solusi, bukan sekadar rumah singgah para politisi.
Ketiga, keberanian regenerasi.
Secara proaktif dan sistematis membantu HMI bertransformasi. Ini bukan sekadar
bantuan dana, melainkan keterlibatan dalam modernisasi kurikulum kaderisasi,
membangun inkubator startup dan kewirausahaan sosial, serta membuka
pintu mentorship yang tulus dari para profesional di berbagai bidang,
bukan hanya politik.
Akhirnya, warisan sejati KAHMI di masa depan tidak akan
diukur dari berapa banyak menteri atau gubernur yang dihasilkannya. Warisan itu
akan diukur dari seberapa besar kontribusinya dalam menggelar keadilan sosial,
mencerahkan kehidupan bangsa dengan gagasan-gagasan baru, dan memastikan bahwa
api perjuangan untuk masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT tidak pernah padam. Inilah jalan sunyi yang harus kembali ditempuh.(*)

Posting Komentar