Anderson dan Logika Kekuasaan A-Moral


Benedict R. O’G. Anderson, salah satu cendekiawan Anglo-Irlandia terkemuka dalam kajian Asia Tenggara, menegaskan kembali kapasitasnya dalam memahami nasionalisme melalui buku esainya yang berpengaruh, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Alih-alih hanya berfokus pada konsep komunitas terbayang yang populer lewat karya Imagined Communities, buku ini menyelami kontradiksi historis yang dialami Indonesia: negara yang secara resmi muda tetapi membawa warisan budaya, terutama Jawa, yang berakar sejak abad pertengahan, di mana politik modern harus dijalankan dalam Bahasa Indonesia yang baru. Bagi Anderson, bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi pasif, melainkan proses kausal yang kuat dalam membentuk sejarah dan kesadaran kolektif.  

Tesis sentral yang menggerakkan buku ini adalah bagaimana kekuasaan itu sendiri dimediasi oleh bahasa. Titik pijak analisis Anderson adalah bab pertama dalam buku ini, Gagasan tentang Kuasa dalam Budaya Jawa, yang dengan tegas memetakan perbedaan radikal antara konsep kekuasaan Jawa tradisional dengan konsep Barat modern. Konsepsi Jawa, yang disebut kesaktian, dilihat Anderson bersifat konkret, sentralistik, dan, yang paling mendasar, a-moral; keberadaan kekuasaan tidak terkait dengan legitimasi etis, melainkan energi yang dapat ditimbun atau dipancarkan. Konsep ini berlawanan dengan pemikiran Barat, yang melihat kekuasaan sebagai abstraksi majemuk (heterogeneous) dan secara inheren bergumul dengan pertanyaan hak (Right). Perbedaan inilah yang memberikan landasan ideologis bagi otokrasi pascakolonial, memungkinkan para elite untuk mengklaim legitimasi mistik tanpa perlu tunduk pada akuntabilitas modern.  

Bahasa Indonesia, di sisi lain, lahir dari semangat yang berlawanan. Anderson mencatat bahwa karakter antar-etnisnya membuat Bahasa Indonesia mampu menjadi pemersatu yang kuat dan awalnya dirasakan canggung dan asing dari nuansa feodalistik Jawa, mencerminkan suasana eksplorasi egaliter.

Namun, seiring waktu, bahasa yang distandardisasi dan didorong oleh kapitalisme cetak—yang semula menciptakan kesatuan —bertransformasi menjadi instrumen negara. Perubahan ini terwujud paling tajam di bawah rezim Orde Baru yang dikenal sebagai rezim paling berkontribusi terhadap praktik eufemisme bahasa. Eufemisme, seperti penggunaan frasa 'menyesuaikan harga' ketimbang 'menaikkan harga', dipakai untuk memanipulasi kesadaran warga saat menilai kebijakan pemerintah.

Dhakidae (2003), sebagaimana disorot dalam kajian kritis terhadap Anderson, menyebut eufemisme ini lebih merupakan “gejala kekuasaan, alih-alih sebagai gejala linguistik”, yang menunjukkan bahwa bahasa merumuskan kekuasaaan dan kekuasaan merumuskan bahasa.  

Meskipun Anderson seringkali memosisikan diri secara unik dari arus teori Eropa, karyanya ini diperkaya saat dianalisis melalui kerangka tokoh seperti Gramsci dan Foucault. Konsep kekuasaan Jawa yang statis dan a-moral, yang begitu dianut, dapat ditinjau melalui lensa Antonio Gramsci, yang mendefinisikan hegemoni melalui penetrasi ideologis ke dalam Common Sense (akal sehat). Akal sehat, kata Gramsci, adalah "suatu kumpulan gagasan-gagasan yang berbeda... dan seseorang dapat menemukan apa pun yang disukainya di sana" (Gramsci, Prison Notebooks: Catatan-Catatan dari Penjara). Inkoherensi ini membuat konsepsi kekuasaan tradisional menjadi lentur, memungkinkan rezim untuk mengawinkannya dengan birokrasi modern demi mendapatkan persetujuan budaya.

Sementara itu, mekanisme kontrol linguistik dapat dipahami melalui Michel Foucault dan teorinya tentang kuasa/pengetahuan (power/knowledge). Bagi Foucault, kekuasaan tidak dapat dijalankan tanpa adanya 'ekonomi wacana kebenaran' yang berfungsi. Eufemisme Orde Baru adalah teknologi wacana yang menghasilkan 'kebenaran' bahwa tindakan kekerasan hanyalah ‘pengamanan’ atau harga yang naik adalah 'penyesuaian', mensterilkan tindakan negara dari pertanggungjawaban moral.  

Kuasa Kata adalah mahakarya yang menunjukkan bahwa bahasa nasional, meskipun lahir dari modernisasi, secara berkelanjutan menjadi medan pertempuran utama di mana warisan kekuasaan tradisional—didukung oleh hegemoni budaya—berusaha mengkooptasi wacana modern. Ia mengajak pembaca untuk tidak melihat bahasa sebagai sekadar alat, tetapi sebagai alam semesta tersendiri yang membentuk dan sekaligus dibentuk oleh relasi kekuasaan. (*)

 

0/Post a Comment/Comments