Trimurjo: Induk Desa dan Gerbang Kolonisasi Sukadana

 

Diolah menggunakan AI. Sumber foto asli: Tropenmuseum Amsterdam, Belanda

Kelahiran Kota Metro sebagai pusat Kolonisasi Sukadana pada pertengahan 1930-an tidak dapat dipahami tanpa menelaah peran fundamental dari pemukiman perintis yang mendahuluinya: Trimurjo. Jauh dari sekadar desa pertama, Trimurjo dirancang dan difungsikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai "induk desa" yang strategis, sebuah gerbang logistik dan sosial yang menjadi mesin penggerak bagi salah satu proyek rekayasa demografis terbesar di era akhir kolonialisme (Amelia, 2021). Sebelum tahun 1936, wilayah ini merupakan bagian dari Onder Distrik Gunungsugih di bawah yurisdiksi adat Marga Nuban, sebuah hutan belantara yang kemudian secara sistematis diubah menjadi titik nol bagi puluhan ribu migran Jawa.

Fungsi Trimurjo melampaui sekadar pemukiman; ia adalah pusat penerimaan, pendaftaran, dan distribusi awal bagi para kolonis yang datang secara bertahap (Kuswono et al., 2021). Pada tahun 1935 saja, gelombang pertama yang terdiri dari sekitar 1.375 keluarga atau 12.524 jiwa tiba di wilayah ini, memulai proses transformasi lanskap dan sosial yang masif.  

Secara administratif, Trimurjo berfungsi sebagai pusat kendali awal yang sangat terstruktur. Wilayah kolonisasi yang luas dibagi ke dalam unit-unit pemukiman yang disebut bedeng, dan Trimurjo menjadi pusat kewedanaan bagi 20 bedeng pertama (Putri, 2021). Struktur ini memungkinkan pemerintah untuk mengelola arus kedatangan manusia secara efisien dan menanamkan tatanan sejak hari pertama. Lebih dari itu, Trimurjo adalah laboratorium sosial bagi inovasi kebijakan kolonial yang paling signifikan dalam proyek ini: "Sistem Bawon" (Pelzer, 1946).

Di sinilah mekanisme yang mengalihkan beban finansial dari negara kepada para kolonis itu sendiri pertama kali diimplementasikan dalam skala besar. Para pendatang baru diwajibkan untuk terlebih dahulu bekerja sebagai buruh panen (bawon) bagi para pemukim yang telah mapan sebelum mereka berhak menerima kapling tanah sendiri. Dengan demikian, Trimurjo bukan hanya gerbang fisik menuju tanah harapan, tetapi juga pintu masuk ke dalam sebuah sistem sosio-ekonomi baru yang mengikat para kolonis dalam hubungan ketergantungan dan utang sejak awal kedatangan mereka.  

Keberhasilan Trimurjo sebagai proyek percontohan terekam dengan baik dalam catatan kontemporer. Seorang pengunjung bernama Raden Mulyadi, yang datang saat pemukiman itu baru berusia satu tahun, memberikan kesaksian tentang transformasi yang luar biasa cepat. Ia menggambarkan Trimurjo sebagai tempat yang sudah terlihat "bagus dan tertata rapih," dengan jalan-jalan desa yang teratur, rumah-rumah yang dibangun sesuai desain standar, dan panen padi gogo (padi lahan kering) pertama yang hasilnya "sangat baik".

Kemajuan pesat ini ditopang oleh proyek infrastruktur vital, yaitu pembangunan jaringan irigasi yang mengalirkan air dari Sungai Way Sekampung, sebuah pekerjaan yang dimobilisasi dengan tenaga para kolonis itu sendiri (Kian Amboro, 2025). Keberhasilan awal yang nyata ini sangat penting, tidak hanya untuk kelangsungan hidup para pemukim, tetapi juga sebagai alat propaganda yang efektif untuk meyakinkan calon migran di Jawa dan membenarkan investasi besar yang dilakukan pemerintah.  

Peran Trimurjo sebagai pusat utama bersifat transisional. Perkembangannya yang pesat dan keberhasilannya dalam menampung gelombang awal kolonisasi menjadi bukti kelayakan proyek yang lebih besar, yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan pusat administrasi yang baru dan lebih permanen. Pada 9 Juni 1937, Metro, yang terletak di lokasi Bedeng 15, secara resmi ditetapkan sebagai ibu kota Kolonisasi Sukadana, dan Trimurjo sebagai desa induk pun secara administratif dipisahkan.

Namun, penetapan Metro tidak akan mungkin terjadi tanpa fondasi yang telah diletakkan oleh Trimurjo. Sebagai "cikal bakal" berdirinya Metro, Trimurjo telah membuktikan bahwa hutan belantara Lampung dapat ditaklukkan dan diubah menjadi lanskap pertanian Jawa yang produktif dan teratur. Perannya sebagai gerbang kolonisasi—sebuah pusat logistik, laboratorium sosial, dan etalase keberhasilan—menjadikannya babak paling formatif dalam sejarah awal salah satu program transmigrasi paling berpengaruh di Indonesia. (*)

Sumber: Tropenmuseum Amsterdam, Belanda


 

 

0/Post a Comment/Comments