Membaca Visi Prabowo di Panggung PBB

Prabowo Berpidato di Maskar PBB (Sumber: CNN)

Pidato perdana seorang kepala negara di Sidang Majelis Umum (SMU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah sekadar acara formal, melainkan sebuah deklarasi yang menggariskan visi suatu bangsa kepada seluruh dunia. Ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di hadapan para pemimpin global di Markas Besar PBB di New York, pidatonya tidak hanya menyajikan kontinuitas dari kebijakan luar negeri Indonesia, tetapi juga memperkenalkan sebuah pendekatan yang lebih tegas, pragmatis, dan berorientasi pada tindakan konkret. Pidato tersebut, yang disampaikan di tengah konferensi tingkat tinggi mengenai Palestina, lebih dari sekadar "perkenalan," melainkan sebuah pernyataan strategis yang disengaja untuk menegaskan kembali peran Indonesia sebagai pemain kunci dalam diplomasi multilateral.  

Secara reflektif, pidato Prabowo dibangun di atas fondasi narasi moral dan historis yang kuat. Ia membuka dengan seruan universal tentang persaudaraan umat manusia, menegaskan bahwa "kita berbeda dalam ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama hari ini sebagai satu keluarga kemanusiaan". Retorika ini dengan cerdik menyiapkan panggung untuk tema utamanya: perjuangan Palestina sebagai cerminan dari pengalaman historis Indonesia.

Prabowo secara eksplisit menarik paralel antara penderitaan rakyat Palestina saat ini dengan masa lalu kolonial Indonesia, menyatakan bahwa "kami, orang Indonesia, tahu apa artinya ditolak keadilan dan hidup dalam apartheid". Ia juga secara bijak mengingatkan PBB akan peran vitalnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang memberikan bantuan vital dan legitimasi internasional. Dengan demikian, ia memposisikan penderitaan Palestina bukan hanya sebagai isu regional, tetapi sebagai ujian moral terhadap integritas PBB itu sendiri.  

Momen paling berani dan kritis dari pidato ini datang ketika ia mengutip sejarawan Yunani Thucydides: "yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang mereka harus". Dengan lantang, ia menyerukan agar PBB menolak doktrin ini, menegaskan bahwa "kebenaran harus menjadi kebenaran; kekuatan tidak bisa menjadi kebenaran".

Pernyataan ini bukan sekadar ornamen retoris. Ini adalah argumen inti yang menempatkan krisis Gaza sebagai litmus test bagi kredibilitas tatanan global. Dengan secara tersirat mengkritik kelambanan PBB, Prabowo tidak hanya menyuarakan kepedulian, tetapi juga menuntut akuntabilitas dari komunitas internasional. Tindakan ini memposisikan Indonesia sebagai pembela prinsip-prinsip pendirian PBB, bukan sekadar sebagai pihak yang berpihak pada Palestina.  

Lebih dari itu, pidato ini menandai evolusi signifikan dari doktrin politik luar negeri bebas-aktif Indonesia. Jika doktrin ini secara tradisional berarti tidak memihak, di tangan Prabowo ia bermutasi menjadi doktrin yang lebih pragmatis dan asertif. Ini adalah diplomasi tindakan, yang melampaui pernyataan prinsipial dengan menawarkan langkah-langkah konkret. Tawaran untuk mengerahkan 20.000 pasukan penjaga perdamaian atau bahkan lebih ke Gaza di bawah mandat PBB adalah perwujudan paling nyata dari pergeseran ini.

Latar belakang militer Prabowo memberikan kredibilitas pada janji ini, mengubahnya dari retorika politik menjadi komitmen yang realistis dan dapat diimplementasikan. Tindakan ini mengirimkan pesan yang kuat bahwa Indonesia siap untuk mengambil bagian dalam solusi hadir secara fisik di lapangan (boots on the ground) untuk mengakhiri penderitaan, sebuah langkah yang secara efektif meningkatkan posisi tawar (bargaining position) Indonesia di panggung global.  

Meskipun demikian, analisis kritis menunjukkan adanya tantangan. Pernyataan paling bersejarah dari pidato tersebut adalah kesediaan Indonesia untuk mengakui Negara Israel—tetapi hanya setelah Israel mengakui kemerdekaan dan kenegaraan Palestina. Langkah ini, meskipun dianggap sebagai manuver diplomatik yang cemerlang bagi Indonesia, dinilai oleh beberapa pihak, seperti analis dari Middle East Monitor, sebagai "usang" atau obsolete. Kritik ini berargumen bahwa, di tengah realitas ekspansi pemukiman dan pengepungan Gaza, solusi dua negara tidak lagi relevan.

Tulisan ini harus mengakui kontras tersebut: bahwa sementara pidato tersebut berhasil membuat pernyataan moral yang kuat, ia masih terjebak dalam kerangka diplomatik yang, menurut beberapa pihak, tidak memadai untuk mengatasi akar masalah. Kritik ini juga menyoroti kurangnya seruan untuk mekanisme akuntabilitas yang lebih kuat, seperti sanksi terhadap produk pemukiman atau pembatasan transfer senjata, yang merupakan elemen penting untuk memaksakan perubahan.  

‘Ala kulli hal, pidato Prabowo tidak hanya tentang Palestina. Ini adalah cetak biru untuk kebijakan luar negeri yang ambisius, yang ingin memposisikan Indonesia sebagai kekuatan menengah yang bertanggung jawab. Dengan menghubungkan keberhasilan domestik—seperti swasembada pangan dan upaya mitigasi perubahan iklim—dengan solusi global, Prabowo memproyeksikan Indonesia sebagai kontributor, bukan hanya penerima bantuan. Ini adalah langkah strategis untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang stabil dan kompeten, siap untuk memainkan peran kepemimpinan yang lebih besar dalam isu-isu global.  

Sambutan domestik yang hangat, dengan media yang memuji pidato menggetarkan dan keras di depan dunia, menunjukkan bahwa pidato tersebut berhasil menyentuh sentimen nasionalisme dan solidaritas yang kuat di Indonesia.

Namun, seperti yang dianalisis oleh para pakar, tes sejati dari visi Prabowo terletak pada tindak lanjutnya. Mampukah Indonesia mewujudkan tawarannya untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian? Mampukah ia secara pragmatis menavigasi kritik terhadap Solusi Dua Negara dan mengembangkan pendekatan diplomatik yang lebih inovatif? Pidato ini adalah awal yang kuat, sebuah pernyataan berani yang menyelaraskan idealisme Indonesia dengan pragmatisme seorang pemimpin baru. Masa depan akan menunjukkan apakah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo dapat mengubah pidato yang cemerlang ini menjadi tindakan diplomatik yang efektif dan transformatif.(*)

 

0/Post a Comment/Comments