Di era digital, revolusi kerap diperlakukan layaknya sebuah
produk dagangan. Narasi perlawanan yang dulunya lahir dari penderitaan di medan
perjuangan kini bisa dikemas menjadi merek yang menarik, mudah dipasarkan, dan
siap dikonsumsi. Fenomena ini mirip dengan apa yang disebut Brough (2012)
sebagai commodity activism, yakni ketika aktivisme dijadikan produk
komersial untuk memenuhi logika pasar. Simbol-simbol perlawanan, seperti kaus
bertuliskan “pasukan revolusi,” bukan lagi representasi pengorbanan, melainkan
merchandise bisnis yang memperlihatkan bagaimana ideologi bisa berubah menjadi
sekadar estetika.
Padahal, sejatinya revolusi adalah jalan sunyi yang menuntut
pengorbanan mutlak. Konsep class suicide atau “bunuh diri kelas”
menggambarkan keberanian individu dari kalangan terdidik atau borjuis kecil
untuk melepaskan privilese demi beridentifikasi penuh dengan massa tertindas
(Cabral, 1966/1980).
Karl Marx adalah contoh paling jelas: meski lahir dari
keluarga berada, ia menghabiskan hidup dalam kemiskinan dan pengasingan,
sepenuhnya bergantung pada dukungan finansial Friedrich Engels agar bisa
menyelesaikan Das Kapital (Sperber, 2013). Tan Malaka, seorang bangsawan
Minangkabau bergelar Datuk Sutan Malaka, dengan sadar meninggalkan kenyamanan
dan memilih mengajar anak-anak buruh kontrak di Deli yang ia sebut “tanah emas,
surga kapitalis … neraka untuk kaum proletar” (Malaka, 1943/2000). Che Guevara
bahkan rela melepaskan jabatan menteri di Kuba pada 1965 untuk kembali ke hutan
Bolivia, hingga akhirnya dieksekusi dalam keadaan kurus, kotor, dan mengenakan
pakaian compang-camping (Anderson, 1997).
Dari jejak sejarah ini terlihat bahwa revolusi tidak pernah
lahir dari kenyamanan, melainkan dari keberanian menanggalkan privilese. Karena
itu, simbol “pasukan revolusi” yang dipakai Ferry Irwandi beserta pendukungnya
lebih mendekati kostum bisnis ketimbang lambang pengorbanan.
Ferry kerap menyebut dirinya meninggalkan “kemapanan”
sebagai Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan demi “berjuang bersama
rakyat.” Namun narasi ini perlu dipertanyakan. Faktanya, ia mengundurkan diri
setelah hampir satu dekade bekerja (Kompas, 2022), lalu masuk ke ranah ekonomi
kreator digital yang jauh lebih menguntungkan. Dengan basis hampir dua juta
pelanggan YouTube, ia kini menikmati popularitas dan monetisasi konten (CNN
Indonesia, 2023). Ini bukanlah bunuh diri kelas, melainkan transisi
strategis dari satu bentuk kemapanan birokrasi ke bentuk kemapanan digital yang
lebih otonom dan menguntungkan.
Malaka Project, platform yang ia bangun pada 2023 bersama
sejumlah influencer populer seperti Jerome Polin dan Coki Pardede, dipromosikan
sebagai media literasi untuk mencetak “masyarakat baru” (Malaka Project, 2023).
Namun struktur kolaboratif ini lebih mencerminkan mesin amplifikasi konten
ketimbang gerakan akar rumput. Dengan modal jaringan selebritas internet,
Malaka Project lebih menyerupai startup edukasi dengan strategi pemasaran
kreatif dibandingkan organisasi politik rakyat. Dalam logika ini, kaus “pasukan
revolusi” yang mereka kenakan justru menutupi kenyataan bahwa yang dipasarkan
bukan ideologi, melainkan jasa dan konten digital.
Lebih jauh, strategi komunikasi Ferry juga menegaskan logika
viralitas ketimbang substansi perjuangan. Pernyataannya yang provokatif,
seperti seruan “jurusan filsafat dihapus saja” (Detik, 2025), sengaja
diproduksi untuk memancing perdebatan dan memanen engagement. Pola ini
bertolak belakang dengan semangat Madilog Tan Malaka, yang menekankan
analisis runtut, sistematis, dan berakar pada realitas sosial (Malaka,
1943/2000). Dengan demikian, provokasi Ferry lebih dekat pada strategi konten
viral daripada tradisi pemikiran kritis revolusioner.
Akhirnya, apa yang dijual Ferry Irwandi bukanlah revolusi,
melainkan narasi perlawanan yang sudah dikomodifikasi. Ia berhasil menunggangi
ideologi menjadi estetika video modern, memperkuatnya lewat jaringan
influencer, dan menggerakkannya dengan logika viralitas. Kredibilitas seorang
revolusioner sejati terletak pada pengorbanan nyata dan tak tergoyahkan; di era
digital, kredibilitas sering hanya diukur dari jumlah pengikut, likes,
dan shares. Dengan demikian, “jualan revolusi” Ferry adalah manifestasi
pilihan karier populis: eksploitasi kapital sosial dan digital, di mana
perjuangan sejati tereduksi menjadi brand, dan kritik otentik berubah menjadi
komoditas paling laku di pasaran.(*)
Posting Komentar