![]() |
Ilustrasi |
Etika adalah studi filosofis tentang moralitas, yaitu
tentang apa yang baik dan buruk, serta benar dan salah dalam tindakan dan
karakter manusia. Ini adalah kode moral yang memandu pilihan dan perilaku
seseorang sepanjang hidup mereka, dan juga meluas untuk mencakup apa yang
dianggap benar dan salah bagi suatu komunitas atau masyarakat luas. Etika
secara khusus berkaitan dengan hak, tanggung jawab, penggunaan bahasa, apa
artinya menjalani kehidupan yang etis, dan bagaimana individu membuat keputusan
moral.
Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam etika mencakup: Bagaimana
seharusnya kita hidup? Apa yang membuat suatu tindakan benar atau salah? Apakah
moralitas bersifat universal dan berlaku untuk semua orang, ataukah relatif dan
bergantung pada budaya atau individu? Apa itu tanggung jawab moral? Apa yang
dibutuhkan agar seorang manusia menjadi berbudi luhur?
Dalam sejarah filsafat, telah berkembang berbagai teori
moral utama yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut:
Subjektivisme Moral: Teori ini menyatakan bahwa benar
dan salah ditentukan oleh apa yang individu yakini atau rasakan benar. Ini
cenderung menolak adanya prinsip moral universal.
Relativisme Budaya: Menurut teori ini, benar dan
salah ditentukan oleh seperangkat prinsip atau aturan yang dipegang oleh budaya
tertentu pada waktu tertentu. Ini menyiratkan bahwa seseorang tidak dapat
mengkritik tindakan dalam budaya lain dan menolak kemungkinan kemajuan moral.
Egoisme Etis: Teori ini mendefinisikan benar dan
salah berdasarkan apa yang demi kepentingan diri sendiri. Seringkali didasarkan
pada asumsi egoisme psikologis, yaitu bahwa manusia secara alami bertindak
egois.
Teori Perintah Ilahi (Divine Command Theory): Teori
ini menegaskan adanya hubungan niscaya antara moralitas dan agama, di mana
benar dan salah berasal dari perintah Tuhan. Teori ini memiliki kelemahan
karena mengasumsikan keberadaan Tuhan dan pengetahuan akan perintah-Nya, serta
berpotensi membuat moralitas menjadi sewenang-wenang.
Etika Kebajikan (Virtue Ethics): Teori ini berfokus
pada karakter moral individu dan bertindak sesuai dengan kebajikan tradisional.
Aristoteles adalah tokoh penting dalam aliran ini, dengan konsep Eudaimonia
(kehidupan yang berkembang atau sejahtera) sebagai tujuan akhir.
Etika Feminis: Teori ini menemukan benar dan salah
dalam respons perempuan terhadap hubungan kepedulian. Etika ini muncul dari
kritik terhadap teori moral lain yang dianggap "maskulin" dan
individualistis.
Utilitarianisme (Konsekuensialis): Ini adalah teori
moral di mana benar dan salah ditentukan oleh kebaikan (utilitas) keseluruhan
dari konsekuensi suatu tindakan. Tujuannya adalah mencapai kebahagiaan terbesar
bagi jumlah terbesar orang.
Teori Kantian (Deontologi/Non-konsekuensialis): Teori
ini menyatakan bahwa benar dan salah ditentukan oleh rasionalitas, yang
mengarah pada tugas-tugas universal. Imperatif Kategorisnya menekankan
universalisasi tindakan dan prinsip untuk tidak pernah memperlakukan orang lain
hanya sebagai alat.
Teori Berbasis Hak: Teori-teori ini, yang terhubung
dengan Kantianisme, menyatakan bahwa tindakan harus selaras dengan seperangkat
hak moral yang dimiliki individu hanya karena menjadi manusia. Jika seseorang
memiliki hak, orang lain memiliki tugas yang sesuai.
Kontraktarianisme: Teori ini mengusulkan bahwa
prinsip-prinsip keadilan (atau benar dan salah) adalah yang akan disepakati
oleh setiap orang dalam masyarakat jika mereka membentuk kontrak sosial
hipotetis (misalnya, "posisi asli" John Rawls di balik "selubung
ketidaktahuan").
Presentasi berbagai teori ini mengungkapkan perdebatan inti
yang sedang berlangsung dalam etika: apakah kebenaran moral itu objektif dan
berlaku universal, ataukah subjektif dan bergantung pada budaya. Ketegangan ini
secara langsung memengaruhi bagaimana masyarakat membentuk hukum, menyelesaikan
konflik, dan berinteraksi secara global, menjadikannya masalah filosofis yang
sangat praktis.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, etika juga relevan
dalam memahami dinamika sosial dan keagamaan. Manusia dianggap etis dan moral
terlepas dari afiliasi agama. Namun, menariknya, kaum ateis cenderung kurang
percaya pada "standar mutlak benar dan salah" dibandingkan teis.
Perdebatan etis juga terlihat dalam konsep teologi inklusif
dan eksklusif. Teologi eksklusif cenderung memonopoli kebenaran dan
keselamatan, menolak agama lain, dan dalam kasus ekstrem, dapat mengarah pada
kekerasan. Pandangan ini lebih menekankan aspek batiniah-eksoterik dan
mengandalkan wahyu sebagai satu-satunya sumber kebenaran, seringkali
mengesampingkan peran akal. Sebaliknya, teologi inklusif bersifat terbuka,
mengakui nilai kebenaran dalam semua agama, dan menghormati kebebasan beragama
serta budaya lokal. Teologi inklusif bertugas menegakkan tatanan sosial yang
adil dan etis, serta mengutuk keras ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan
sosial.
Islam Nusantara adalah contoh nyata dari teologi inklusif. Konsep ini mengintegrasikan ajaran Islam dengan kearifan lokal Nusantara, menekankan prinsip moderasi (wasathiyah), toleransi (tasamuh), dan harmoni sosial (ta'ayush). Tujuannya adalah menjaga toleransi dan perdamaian di Nusantara. Islam Nusantara bukanlah mazhab atau sekte baru, melainkan sebuah perspektif yang menempatkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin) dengan menghormati tradisi lokal. Akulturasi dengan budaya lokal, seperti tradisi tahlilan dan maulid Nabi, merupakan ciri khasnya.
Aplikasi nyata dari konsep etis abstrak seperti toleransi dan keadilan dalam praktik keagamaan dan sosial ini menunjukkan bagaimana kerangka etika bukan hanya konstruksi teoretis, tetapi memiliki dampak langsung yang dapat diamati pada perilaku manusia dan struktur masyarakat. Ini menggarisbawahi pentingnya mempelajari etika untuk memahami dinamika sosial dan mempromosikan dunia yang lebih adil dan damai.
Bersambung ke Estetika ....
Posting Komentar