Aini: Antara Bebal dan Sungguh!



"Apa pun yang tak dapat membunuhmu, akan membuatmu semakin kuat." (Novel Guru Aini, hal. 28) 


Kutipan di atas seolah menjadi inti semangat yang diusung Andrea Hirata dalam karya terbarunya. Sebagai pembaca setia yang telah mengikuti hampir semua jejak karyanya, saya akhirnya kembali menemukan alur narasi yang begitu mengalir, serupa dengan pengalaman saat menyelami Tetralogi Laskar Pelangi: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Setelah sekian lama merasa "beku" dengan beberapa karya Andrea yang terasa kaku, rumit, dan menjenuhkan—terutama saat membaca Sirkus Pohon—novel Guru Aini ini seakan kembali ke esensinya. Ia mampu menarasikan hal-hal rumit menjadi sederhana, memadukan kelucuan dengan sentuhan mengharukan yang mendalam.

Kisah ini dibuka dengan keteguhan hati seorang remaja putri bernama Desi Istiqomah. Dengan cita-cita mulia menjadi guru matematika, Desi berani menentang bujukan ibunya yang menginginkan ia menempuh jalur kedokteran, teknik, ekonomi, hukum, atau jurusan lain yang dianggap lebih menjanjikan. Sang ibu khawatir, menjadi guru matematika akan mengantarkan putrinya mengabdi di pelosok dengan kesejahteraan yang minim. Di sinilah Andrea Hirata dengan piawai menyelipkan kritik sosial tentang kesejahteraan guru, khususnya para honorer yang telah belasan tahun mengabdi tanpa perhatian yang layak.

Desi, yang merupakan siswa peringkat satu di sekolahnya, tentu tidak buta akan risiko pilihannya. "Negeri ini kekurangan guru matematika, Bu. Terutama di kampung-kampung," demikian Desi mempertahankan pendiriannya di hadapan Ibu Aminah, Kepala SMA yang mencoba membujuknya untuk memilih jurusan lain. Ibu Aminah sendiri meyakini kecerdasan Desi akan memberinya kebebasan untuk memilih perguruan tinggi dan jurusan apa pun yang diinginkannya.

Setelah lulus program D-3 dengan predikat terbaik, Desi memiliki kebebasan penuh untuk memilih tempat pengabdian. Namun, ia justru memilih Tanjong Hampar, sebuah daerah pelosok yang membutuhkan perjalanan darat dan laut selama enam hari enam malam tanpa henti dari tempat tinggalnya. Di Tanjong Hampar, sebagai guru SMA, Desi bertemu dengan "Rombongan 9": Handai Tolani, Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, Nihe, Junilah, dan Dinah. Mereka adalah para siswa di bangku deret belakang, kaum marginal pendidikan yang akrab dengan kebodohan dan ketidakpedulian (hal. 59). Kisah lengkap tentang "Rombongan 9" ini dapat ditemukan dalam novel Andrea Hirata sebelumnya, Orang-Orang Biasa.

Selain "Rombongan 9", ada pula Debut Awaluddin, seorang murid yang cerdas dan berbakat. Debut bahkan pernah melunaskan nazarnya untuk berganti sepatu ketika menemukan murid yang supercerdas. Sayangnya, kecemerlangan Debut tak berlangsung lama. Entah apa yang merasukinya, ia justru lebih tertarik bergabung dengan "Rombongan 9". Ketika satu per satu anggota "Rombongan 9" meninggalkan sekolah, hanya tinggal Debut sendiri, dan ia pun akhirnya memutuskan berhenti. Hati Guru Desi hancur.

Puluhan tahun kemudian, Guru Desi bertemu dengan titisan Dinah, seorang gadis bernama Nuraini binti Syafrudin, atau akrab disapa Aini. Aini adalah pindahan dari kelas Guru Tabah, dan tak jauh berbeda dengan ibunya, ia juga dikenal sangat bebal dalam pelajaran.

Titik balik Aini terjadi ketika ayahnya sakit keras dan sulit diobati. Aini terpaksa absen selama tujuh bulan untuk merawat ayahnya, sehingga ia tinggal kelas di kelas 1 SMA, sementara dua anggota geng "Trio Aljabaria", Enun dan Sa’diah, naik kelas. Momen krusial itu datang saat seorang tabib mengatakan bahwa penyakit ayahnya hanya bisa disembuhkan dengan pengobatan modern, yaitu dokter. Sejak saat itulah, Aini membulatkan tekad untuk menjadi dokter.

Namun, untuk menjadi dokter, Aini harus menaklukkan matematika—mata pelajaran yang selama ini selalu membuatnya mual dan sakit perut. Tak ada jalan lain, ia harus belajar matematika pada guru terbaik, Guru Desi. Aini pun pindah ke kelas Guru Desi, tanpa sedikit pun gentar saat ditantang bahwa itu bukan perkara mudah. "Ada tiga cara mempersulit diri di sekolah itu," kata Guru Desi, "Pertama, masuk ke kelasku. Kedua, belajar matematika. Ketiga, belajar matematika dariku,” (hal. 110).

Sulit? Tentu saja. Bakat Aini memang tidak akrab dengan angka dan rumus. Meski begitu, ia pantang menyerah. Ia membeli buku-buku matematika, mendatangi Guru Desi di perumahan guru, belajar tanpa kenal lelah, menerobos guyuran hujan, dan menantang terik matahari. Ia berlari berkilo-kilometer dan berenang mengikuti perintah Guru Desi, hingga akhirnya ia berhasil duduk di bangku yang semula menjadi tempat duduk Debut Awaluddin.

Pengalaman Guru Desi mengajar Aini pun tak kalah rumit. Berbagai cara telah dicoba, bahkan materi ajar diturunkan hingga pelajaran kelas 3 SMP, namun kebebalan Aini tak banyak berubah. Guru Desi nyaris berputus asa, andai saja Aini tidak menangis tersedu-sedu saat didampratnya. Air mata Aini yang berderai-derai itu menjadi titik balik bagi Guru Desi.

Kerja sama tak langsung antara guru cerdas dan murid yang pantang menyerah—meski bebal—ini menjadi risalah petunjuk bahwa selalu ada jalan bagi mereka yang bersungguh-sungguh. Selalu ada cara untuk mencapai tujuan selama ada kemauan. Bagi guru, kesabaran dan kemampuan mencoba beragam metode yang tepat untuk setiap murid dengan gaya belajar yang berbeda adalah kunci. Bagi murid, kemauan, kerja keras, dan pantang menyerah tentu akan membuahkan hasil yang menyenangkan.

"Guru yang baik adalah guru yang dapat memacu kecerdasan muridnya. Guru yang lebih baik adalah guru yang dapat menemukan kecerdasan muridnya. Guru terbaik adalah guru yang tak kenal lelah mencari cara agar muridnya mengerti," tulis Andrea Hirata.

Novel Guru Aini ditutup dengan judul "Hak Pendidikan". Aini, yang lulus SMA dengan nilai matematika sempurna dan berhasil lulus tes masuk fakultas kedokteran, harus merelakan cita-citanya kandas karena tak mampu membayar biaya daftar ulang. Bagian ini seolah-olah sengaja ditabalkan oleh Andrea Hirata untuk menegaskan bahwa fakultas kedokteran, pada akhirnya, hanya untuk mereka yang berasal dari kalangan berada.

Dalam perjalanan panjang menuju keikhlasan, kita akan menemukan harapan. Dalam perjalanan yang berliku-liku menuju pengorbanan, kita akan menemukan keberanian. Namun, kejujuran pada diri sendiri adalah tempat kita akhirnya akan pulang. "Kita harus jujur Aini, betapa pun ikhlas, harapan, dan besarnya pengorbanan serta keberanian, kita harus jujur bahwa biaya daftar ulang itu hanya bisa ditebus oleh orang-orang kaya!"

0/Post a Comment/Comments