Hidup Matinya Sang Pengarang di Era Algoritma

Dok. Pribadi

Buku Hidup Matinya Sang Pengarang, sebuah antologi esai krusial yang dieditori oleh mendiang filsuf Toeti Heraty, terasa lebih relevan hari ini daripada saat pertama kali diterbitkan. Dengan tujuan menyosialisasikan wacana klasik dari pemikir seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Nietzsche, T.S. Eliot dan beberapa pengarang lainnya, buku ini menyajikan polemik fundamental tentang status kepengarangan.

Inti dari buku ini adalah perdebatan antara dua kutub ekstrem: pengarang sebagai jenius dan sosok agung versus proklamasi radikal Roland Barthes tentang Kematian Sang Pengarang. Barthes, dalam esainya yang terkenal, berargumen bahwa mengaitkan sebuah teks dengan biografi dan intensi pengarang adalah tindakan yang membatasi makna. Ia mengusulkan untuk membunuh figur Pengarang-Tuhan ini demi kelahiran sang pembaca—sebuah pergeseran kekuasaan di mana pembacalah yang menjadi lokus penciptaan makna.  

Namun, kontribusi paling berharga dari antologi ini adalah intervensi tajam dari Toeti Heraty sendiri. Dalam pengantarnya, ia menyisipkan sebuah klausul feminis yang kuat: "Bila pengarang kita gusur demi kemandirian teks... sebaliknya diharapkan pengarang perempuan yang membisu di dalam sejarah (history) tampil dengan herstory". Heraty, seorang pembangkang yang gigih di masanya, mengingatkan bahwa sebelum kita bisa mendeklarasikan kematian pengarang, kita harus terlebih dahulu memastikan semua pengarang—terutama perempuan dan kelompok marjinal—telah diberi kesempatan untuk "hidup". Bagi mereka yang suaranya telah lama dibungkam, "kematian" justru bisa menjadi pelenyapan lebih lanjut. Dengan ini, Heraty tidak hanya menyajikan sebuah perdebatan, tetapi juga mengambil sikap: ia berpihak pada kehidupan pengarang.

Paradoksnya, realitas digital saat ini membuat argumen Barthes dan Heraty sama-sama relevan dalam cara yang tak terduga. Di satu sisi, pengarang jauh dari kata mati. Mereka justru terlahir kembali sebagai merek pribadi (personal brand) yang hiper-terlihat di media sosial. Persona publik seorang pengarang kini secara aktif membentuk interpretasi karya mereka. Contoh paling gamblang adalah kontroversi seputar J.K. Rowling, di mana pernyataan-pernyataannya di platform X (dulu Twitter) memaksa pembaca untuk mengevaluasi ulang seri Harry Potter melalui lensa ideologi kontemporernya. Dalam kasus ini, pengarang tidak hanya hidup, tetapi suaranya terus-menerus menghantui dan mengkontekstualisasikan ulang teksnya.  

Di sisi lain, "kelahiran sang pembaca" terwujud secara ekstrem dalam budaya fandom online. Komunitas penggemar seperti ARMY (BTS) tidak hanya menafsirkan, tetapi secara kolektif memproduksi makna, menulis fan fiction, dan bahkan menantang otoritas pengarang melalui fan war. Mereka adalah perwujudan pembaca yang diberdayakan, yang merebut teks dan menjadikannya milik mereka.  

Tantangan terbaru dan paling radikal bagi konsep kepengarangan datang dari kecerdasan buatan (AI). Sebuah model bahasa besar (LLM) adalah perwujudan sempurna dari 'scriptor' Barthesian: mesin penghasil teks tanpa niat (intensi), biografi, atau kesadaran. Namun, ironisnya, teknologi yang paling berhasil "mematikan" pengarang ini justru memicu sistem hukum untuk membangkitkannya kembali. Kantor Hak Cipta AS telah menegaskan bahwa karya yang sepenuhnya dihasilkan AI tidak dapat dilindungi hak cipta karena ketiadaan kepengarangan manusia. Hantu pengarang harus dipanggil kembali dari kematiannya semata-mata untuk menandatangani kontrak dan mengklaim kepemilikan.  

Lebih jauh lagi, kini telah muncul entitas ketiga yang menjadi perantara antara pengarang dan pembaca: Pembaca Algoritmik. Algoritma di platform seperti TikTok, YouTube, dan Amazon tidak hanya menyajikan konten, tetapi secara aktif mengkurasi dan membentuk realitas tekstual kita. Kebebasan interpretif kita sebagai pembaca kini dijalankan dalam lingkungan yang telah disaring dan diprediksi oleh mesin.  

Pada akhirnya, Hidup Matinya Sang Pengarang adalah sebuah arsip yang hidup. Buku ini menyediakan ‘peluru-peluru tajam’ teoretis yang kita butuhkan untuk menembus jantung pemahaman kreativitas di era di mana pengarang berada dalam superposisi kuantum—mati sekaligus hidup; di mana pembaca terlahir, tetapi kebebasannya dikondisikan oleh algoritma. Antologi Toeti Heraty ini adalah undangan untuk melanjutkan pertarungan pendapat yang belum tuntas, sebuah dialog yang kini menjadi lebih mendesak dari sebelumnya.(*)


0/Post a Comment/Comments