Reformasi yang memberi ruang besar bagi kebebasan informasi telah memicu tumbuh suburnya berbagai jenis dan karakter media media, cetak dan online, mulai dari media yang dikelola secara serius hingga media yang tak memiliki basis pemahaman jurnalistik yang baik, bahkan secara ekstrem kemunculan media sosial seperti youtube, tiktok, facebook, twiter, blog, dan bentuk serupa lainnya diakui sebagai media 'lain' yang efektif untuk menyebarkan informasi, baik yang positif maupun yang berisi fitnah dan caci maki.
Di satu sisi, kelahiran media-media ini pantas dirayakan sebagai kemajuan, karena rakyat dengan sangat mudah mengakses (sekaligus menyebarkan) informasi penting, dan pada titik ini media diharapkan menjadi pilar penting demokrasi, mengontrol berbagai kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, sehingga rakyat diharapkan lebih terdidik dan tercerahkan.
Namun, di sisi lain kemunculan media yang banyak dikuasai oleh para pemodal dan kekuasaan, melahirkan kekhawatiran-kekhawatiran baru, pembelokan (reduksi) kebenaran, pengaburan fakta dan penggiringan opini. Apakah media mampu berdiri pada posisi yang netral, dengan informasi-informasi yang bisa mencerdaskan rakyat? Pada level inilah keberadaan media layak dipertanyakan, apakah masih bisa menjadi pilar keempat demokrasi?
Pembacaan atas realitas keberadaan media di Indonesia saat ini, akhirnya mengantarkan kita pada ruang frustrasi massal, karena hampir semua rakyat akan sampai pada kesimpulan hubungan media dengan rakyat bak hubungan siang dan malam, bertemu di penghujung senja, buram dan samar.
Media justru menjelma menjadi corong kekuasaan dan pemilik modal, dan rakyat berada di pinggiran sebagai pembaca yang kadang-kadang diberikan informasi yang berjarak dengan kehidupan mereka, bahkan cenderung sesat.
Di sekitar kita ada banyak bermunculan media yang terbit untuk menjadi corong kekuasaan atau pemilik modal, mengamankan kekuasaan atau usaha para pemodal. Atau bagaimana media bekerja menjelang perhelatan demokrasi, memotret kejelataan, nasi aking, kemiskinan sebagai isu-isu yang menarik tatkala dihubungkan dengan kepentingan politik pencitraan. Setelahnya, isu kemiskinan dan kejelataan itu tak lagi menjadi berita yang menarik, kecuali saat memberi keuntungan sebagai komoditas penekan terhadap kekuasaan yang tak mau 'berdamai' dengan media bersangkutan.
Teramat sulit menemukan berita soal sopir angkot, tukang becak, pedagang kaki lima yang masa depannya terancam, kehidupan petani yang kala tanam defisit air dan dihadapkan dengan harga pupuk yang mahal, kala menjelang panen harga jual rendah, kehidupan para pelaku usaha/industri kecil yang kesulitan pasar, dan soal-soal lain yang lekat dengan kehidupan orang miskin, alih-alih diberitakan untuk diadvokasi, dibela dan diperjuangkan, dianggap sebagai bagian yang memiliki 'nilai berita' pun tidak. Media kita terlalu sibuk dan fokus dengan berita-berita yang ada di pusat-pusat kekuasaan.
Namun, tentu tak adil jika penulis menunjuk semua media telah memangkas harapan rakyat untuk memberikan informasi yang sehat, karena pasti masih ada media yang secara konsisten berada di posisi yang netral, walaupun sulit untuk mencontohkannya, sehingga biarlah itu menjadi misteri yang tak perlu ditulis dan dibahas dan membiarkannya menjadi kebaikan yang senyap.
Media dan Lingkungan Semu
Era reformasi yang berdampak pada ide-ide kebebasan pers tidak hanya berimplikasi pada terkuaknya kebobrokan dan praktik-praktik liar politik atau penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa, tetapi pada kenyataannya reformasi juga menjadikan media sebagai 'raksasa' yang pengaruhnya luar biasa dalam masyarakat.
Media menjadi mesin pencetak consiciousness (kesadaran) yang mengatur bagaimana setiap orang berpikir, bertutur kata, bersikap dan berperilaku sebagai manusia, menjungkirbalikkan realitas sebagai sesuatu yang harus diimani. Media menciptakan lingkungan manusia yang jauh dari kenyataan dan menghadirkan peristiwa-peristiwa yang menurut istilah Daniel Boorstin ialah unauthentichappenings (kejadian semu).
Dalam buku Public Opinion (1922), Water Lippmann menulis tentang lingkungan semu. Lippman mengatakan bahwa dunia obyektif yang dihadapi oleh manusia itu tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan. Hal ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh para politisi melalui kekuasaan dan akses yang dimilikinya untuk mempengaruhi masyarakat melalui media. Bahwa kejahatan-kejahatan luar biasa yang dilakukan penguasa bisa dianggap sebagai hal biasa, fakta direduksi sedemikian rupa sehingga yang benar bisa tampak salah, dan sebaliknya.
Media mengakomodir pertarungan atau perang opini dari politisi yang notabene tidak mendidik bahkan membohongi masyarakat. Dalam banyak hal, hanya karena alasan ekonomi atau profit, media banyak menampilkan tokoh-tokoh politik untuk memberikan citra yang berbeda (berkebalikan) pada masyarakat. Hal ini pada umumnya banyak terjadi ketika menjelang perhelatan demokrasi (Pemilu/Pilkada).
Tidak menjadi rahasia lagi, beberapa media yang ada di Indonesia bak gurita yang memiliki kaki- kaki hampir di seluruh pelosok nusantara, dimiliki oleh beberapa politisi dan elit partai politik, implikasinya sudah pasti bisa ditebak, berita-berita yang berpihak pada kepentingan politik para pemiliknya.
Lingkungan semu yang dibentuk oleh media-media tersebut dilakukan melalui keberpihakan terhadap salah satu kandidat. Pemberitaan yang tidak cover both sides atau berat sebelah, menjadi salah satu penandanya. Saat menampilkan atau memberitakan seorang kandidat yang disukainya, media akan memilih angle-angle yang mampu menarik dan memikat sisi emosional audiens (pembaca)nya. Pekerja media pun gandrung menggiring pertanyaan saat wawancara untuk kepentingan 'menaikkan' atau 'merendahkan' citra narasumber.
Media acap memberikan judgement yang negatif kepada kandidat lain sehingga peran media sebagai pembangun opini publik juga tidak lepas dari faktor ekonomi politik media. Contoh-contohnya begitu sangat mudah dideteksi pada pelaksanaan Pemilu 2024 yang lalu atau dalam Pilkada 2024 dua bulan ke depan.
Media juga dihadapkan dengan benturan kepentingan ekonomi politik, hal itu ditandai dengan ketidakmampuan media menyediakan point of view yang beragam yang mencerminkan berbagai kepentingan masyarakat luas.
Media cenderung mereduksi pemberitaannya dan mengemasnya dengan angle yang memang dirasakan menguntungkan secara ekonomi. Hasilnya, media hari ini berkembang sebagai pembentuk opini publik, dalam kurun waktu yang begitu cepat media telah mengubah pola kehidupan masyarakat secara signifikan, bahkan secara ekstrem media diklaim mampu mengubah pengetahuan kehidupan masyarakat.
Realitas perubahan paradoksal atas kebebasan media ini melahirkan wajah ganda, di satu sisi keterbukaan dan kebebasan ini memiliki dampak positif, dan di sisi lain melahirkan hipokrasi baru, sehingga pekerja media banyak yang berubah menjadi tukang palak yang suka menebar teror.
Memprihatinkan.
Apa yang pernah ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, bahwa mestinya media dalam pemberitaannya; harus tunduk pada kebenaran, membangun loyalitas pada warga (publik), disiplin dalam verifikasi, independen, menjadi pemantau (watchdog) kekuasaan, menyediakan forum kritik bagi publik, membuat berita menarik dan relevan, komprehensif dan proporsional, mengikuti nurani mereka dan ditambahkan dalam elemen kesepuluh menempatkan warga sebagai yang juga memiliki hak dan tanggung jawab terhadap berita. Menjadi narasi yang menarik dibaca dan dipelajari di forum/ruang pelatihan kompetensi jurnalis.
Kovach yang membayangkan wartawan sebagai ksatria berpedang yang siap membela kebenaran tanpa terpengaruh logika ekonomi media yang menempatkan informasi sebagai komoditas dan wartawan semata sebagai pekerja informasi. Karena itulah, Kovach menawarkan solusi pada pembenahan moral dan etika jurnalis.
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012) mengatakan:
Ide pentingnya adalah: pers ke depan akan memperoleh integritas berdasarkan jenis konten yang disampaikan dan kualitas pekerjaan, bukan dari fungsi ekslusifnya sebagai penyedia informasi tunggal atau perantara antara sumber berita dan publik.
So, jika kita masih mengharapkan media sebagai alat yang mencerahkan bagi rakyat dan pilar demokrasi, maka sudah waktunya kita memutus simbiosisme negatif antara kekuasaan dan media. Kita wajib mengubah arah hadap media, menjadikan nurani, kebenaran, dan kepentingan publik (rakyat) menjadi kiblatnya. Dengan begitu, mudah-mudahan berita-berita yang disajikan memang layak dikonsumsi khalayak. (*)
Posting Komentar