Memulai dari Remah-Remah di Dapur Kita
Nyaris setiap sore, sambil menyeruput kopi di dapur, mata saya selalu tertumbuk pada aliran drainase di belakang rumah—pembatas antara dinding rumah dan hamparan sawah hamparan sawah yang masih hijau.. Sayangnya, air di sana tak lagi bening. Tiap hari, arusnya mengalirkan sisa kehidupan manusia: kantong plastik berisi sisa makanan, popok penuh tinja, pembalut bekas, bahkan bantal dan kasur usang.
Dulu, sungai menjadi tempat orang tua kita mandi, mencuci, bahkan buang hajat. Kini kebiasaan itu memang ditinggalkan. Namun, “peradaban baru” justru lahir: limbah tetap dibuang ke aliran air, hanya saja lewat plastik yang tak terurai seribu tahun. Sebuah warisan lama dalam balutan wajah modern—ironi kecil yang mengalir saban hari di selokan belakang rumah kita.
Beginilah wajah muram ekologi kita: di forum dunia, perubahan iklim dibahas panjang lebar; di ruang sidang, parlemen bicara keberlanjutan; tapi krisis justru lahir dari rumah kita sendiri. Dari rutinitas harian di dapur: membeli berlebih, memasak tanpa hitungan, menyisakan makanan, mencampur semua limbah dalam satu kantong plastik besar. Bahkan saat tukang sampah tak kunjung datang, sebagian warga lebih memilih membuang sampah ke drainase belakang rumah.
Menurut KLHK 2024, lebih dari 60% sampah nasional berasal dari rumah tangga, dan 40% di antaranya sisa makanan. Di TPA Karangrejo, gunungan limbah terus meninggi, memicu bau, keresahan, dan ancaman kesehatan bagi warga sekitar. Namun berapa banyak dari kita yang sadar bahwa krisis ini bermula dari kulit bawang, nasi basi, atau kaleng sarden kosong yang kita buang begitu saja?
Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut dapur sebagai ruang habitus—tempat di mana kebiasaan konsumsi lahir dan mengakar tanpa disadari. Di dapur, kita belanja berlebih, masak tak terukur, buang semua sisa ke kantong hitam besar. Selesai? Tidak. Dari sinilah rantai petaka ekologi bermula.
Padahal, peluang perubahan besar ada di sini. Jika tiap rumah memilah limbah organik dan anorganik, Indonesia bisa memangkas 10 juta ton sampah per tahun, sekaligus mengurangi emisi CO₂e. Korea Selatan berhasil dengan kebijakan pilah dapur sejak 1995—95% limbah organik mereka kini diolah jadi kompos atau energi. Sementara di sini, mayoritas rumah tangga masih mengandalkan kantong plastik serba guna.
Lebih ironis lagi, pemerintah belum memberi insentif cukup. Rumah zero waste tetap bayar retribusi setara rumah yang malas memilah. Produsen plastik pun lepas tanggung jawab. Surabaya memulai insentif berbasis RW; kota lain masih terdiam.
Bayangkan jika pemerintah berani menjalankan dua langkah sederhana:
Pertama, diskon PBB atau retribusi bagi rumah tangga yang memilah limbah.
Kedua, pemilahan wajib di semua dapur rumah, kantor, dan sekolah mulai 2025, dengan audit berkala.
Tak perlu insinerator miliaran rupiah. Cukup dapur yang terkelola.
Bayangkan pula jika tiap RT punya pusat kompos mini, dikelola PKK atau karang taruna. Dapur bukan lagi sumber limbah, tapi ruang pembelajaran ekologi bagi anak-anak.
Karena sejatinya, krisis iklim tak selesai di ruang rapat atau konferensi besar. Solusinya ada di piring cucian terakhir malam ini. Di tangan kecil anak-anak yang belajar memilah sisa dapur esok pagi.
Barangkali, peradaban hijau yang kita impikan memang lahir bukan dari ruang rapat dewan terhormat dan eksekutif, melainkan dari kulit bawang yang kita pisahkan sore ini. Dari remah-remah kecil yang kerap kita anggap sepele.
Posting Komentar