Resensi: Merawat Kemanusiaan

Resensi: Merawat Kemanusiaan

 

Mengapa orang-orang baik terpecah karena politik dan agama?

 

Pertanyaan sekaligus pernyataan di atas adalah judul kecil dari terjemahan buku karya Jonathan Haidt, The Righteous Mind. 


Pertanyaan tersebut menjadi relevan untuk diajukan di tengah laku politisi yang terus berusaha mencabik nilai kemanusiaan. Politik tak hanya sukses membelah kita dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi juga berhasil mendorong kita menanggalkan persaudaraan. Kita berubah menjadi pengintai dan pemangsa yang selalu siap menghabismusnahkan kelompok lain yang berbeda dengan kita.


Menurut Haidt, perasan lebih tinggi memungkinkan kita menjadi sangat altruistik. Namun, altruisme itu kebanyakan diarahkan kepada anggota kelompok kita sendiri. Orang-orang biasanya bergabung dalam tim-tim politik (pun agama) yang memiliki kesamaan narasi moral, dan menjadi buta begitu mereka menerima narasi moral lainnya yang berbeda (h. xiii). Ibarat pemegang martil -- meminjam istilah Mark Twain, politik mengubah pandangan kita sehingga segala sesuatu di luar diri (kelompok) kita tampak seperti paku.


Padahal, kemanusiaan semestinya menjadi pondasi politik, sehingga kontestasi di dalamnya dianggap sebagai kompetisi kebajikan (fastabiqul khairat). Siapa pun pesertanya memiliki niatan suci untuk mewujudkan kebaikan sesama. Bahkan, Aristoteles yang mengenalkan istilah zoon politicon atau makhluk sosial menyerukan bahwa benar secara kodrati manusia adalah makhluk berpolitik, di mana perwujudan diri manusia hanya mungkin dilakukan dalam polis atau komunitas politik, tetapi manusia tak boleh mengabaikan etika dan martabat dalam berpolitik untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.


Untuk itu, tujuan (ber)negara adalah merealisasikan kebaikan tertinggi dan hidup bahagia untuk semua warga. Politik dibangun ketika manusia berbicara, berkomunikasi, dan membangun wacana. Komunikasi mengandaikan faktum pluralitas manusia. Jika manusia semuanya seragam, tidak terjadi dialog dan hanya ada satu manusia di puncak piramida kekuasaan dan yang lain tidak lebih dari massa yang tidak tahu apa-apa, sebagaimana ditegaskan Hannah Arendt, maka di sana tidak ada politik.


Di buku ini Haidt dengan masygul kemudian mempertanyakan mengapa orang-orang baik terpecah belah karena politik dan agama? Mengapa masyarakat makin terpolarisasi dan saling curiga, bukannya berusaha bekerja sama? Mengapa ada pandangan moral yang berbeda? Ia dengan gusar mengingatkan  untuk lebih berempati dan membuka hati (bukan hanya pikiran), jika ingin berpolitik dengan lebih sehat. Bagi Haidt siapa pun yang menghargai kebenaran harus berhenti memuja nalar.  Penalaran berevolusi bukan untuk membantu kita menemukan kebenaran, melainkan untuk membantu kita terlibat dalam perdebatan, upaya membujuk, dan manipulasi dalam konteks diskusi dengan orang lain." (h. 118 - 119).


Menurutnya, delusi rasionalis (rasionalist delusion/waham rasionalis) menjadi narasi utama hampir seluruh perjalanan politik, juga menjadi landasan peradaban modern yang kita hidupi. Haidt membongkar moralitas semu yang ditampilkan para aktor politik lewat pencitraan. (h. 122). Haidt menuding bahwa di balik setiap tindakan altruisme, heroisme, dan kepantasan manusia adalah keegoisan dan kebodohan, homo sapiens sebenarnya adalah homo economicus, baginya nalar bekerja untuk kepentingan pribadi. Orang-orang melakukan apa pun yang membuat mereka mendapatkan keuntungan terbesar dengan biaya paling kecil. (h. 170).


Dalam The Righteous Mind ini, Jonathan Haidt memaparkan secara umum enam pondasi moral utama yang menurutnya menjadi landasan nilai-nilai moral bagi berbagai kelompok dalam masyarakat seperti yang diterapkan oleh dua partai besar di Amerika Serikat, Republik dan Demokrat, yaitu care (kepedulian), fairness (keadilan), liberty (kebebasan), loyalty (kesetiaan), authority (kepatuhan pada otoritas), dan sanctity (kesucian).


Namun, narasi politik dalam hampir setiap episode sejarah selalu saja diwarnai oleh intrik-intrik yang  bercita rasa pragmatis, sehingga politik terlanjur identik dengan kotor, kejam, buruk dan bulus. 


Laku politik inilah yang memunculkan apriori. Maka, membaca The Righteous Mind setidaknya bisa mendesakkan laku politik yang lebih beradab dan bermartabat, yang merujuk kepada moral dan nilai-nilai universal. 


Moralitas politik substansinya adalah humanis, liberasi dan transendensi. Menurut Jonathan Haidt orang-orang terpecah oleh politik bukan karena sebagian orang baik dan sebagian yang lain jahat, melainkan karena akal yang dirancang berbudi hanya dalam kelompok. Penalaran strategis menjadikan kita sulit tersambung dengan orang-orang yang hidup dalam matriks lain, yang acap kali dibangun di atas konfigurasi landasan moral yang berbeda, bukan landasan moral dan nilai-nilai universal.


Mestinya politisi yang mencitakan kesejahteraan rakyat dan keadilan bersama bisa menemukan common sense (kalimatun sawa') sebagai landasan etis, mempromosikan keteladanan dengan membuang arogansi, ego politik, dan kecurigaan yang mempersempit ruang-ruang dialog sehingga jalan untuk merajut persatuan sebagai modal melambungkan bangsa ini ke capaian prestasi mondial kian mudah.


Cita-cita mulia para elit politik atau calon yang disusun dalam narasi visi, misi dan program kerja yang diklaim 'paling baik' adalah alasan utama untuk menampilkan sikap moral bermartabat. Para elite politik punya kewajiban moral untuk menciptakan sistem dan kondisi politik yang berkeadaban, bersikap altruistik dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan bersama, melebihi dari nilai kebaikan sekelompok orang. Suatu aksi politik yang secara esensial menjauhkan relasi percakapan bernegara dari berbagai benih konflik yang berlarut-larut dan tidak konstruktif.


Berbeda halnya, jika narasi ideal tersebut adalah kebohongan belaka, atau tak lebih dari sekadar citra, egosentris dan narsisisme berlebihan, maka seperti ungkapan Arnold J Toynbee, peradaban-peradaban mati karena 'bunuh diri', bukan karena 'dibunuh' dari luar (civilizations die from suicide, not by murder). Para elit politiklah yang membunuh dan memakamkan peradaban dan moralnya sendiri, sehingga tak perlu ragu untuk menudingnya biadab!


Begitulah buku ini, ia menyebut politik yang hanya mengandalkan nalar, akan cenderung menanggalkan moral (keadaban) sehingga sukses memecah belah. 


Dan, bila dipaksakan mencari kekurangan dari buku setebal xv+464 halaman ini, barangkali satu-satunya kekurangan adalah kegagalannya memotret bahwa manusia atau kemanusiaan sesungguhnya adalah keutuhan nalar dan naluri, nalar  harusnya dipahami sebagai dua hal yang tak terpisah seperti dua sisi mati uang, tak bisa saling meninggalkan dan menanggalkan. Kemanusiaan harus mempekerjakan nalar dan naluri (istilah Haidt: firasat) secara bersamaan. Bagi, manusia yang meninggalkan atau menanggalkan salah satunya, tentu tak memiliki kepantasan disebut manusia yang utuh. (*)




____
Data Buku
Judul: The Righteous Mind | Penulis: Jonathan Haidt | Penerbit: Gramedia Pustaka | Tahun Terbit: November 2020 | Jumlah Halaman: xv+464


0/Post a Comment/Comments