Mulut berbusa, tubuh terkapar. Pengakuan tercekat, satu melodi pilu menari di ambang kematian dari tiga bibir yang kini hanya bisa berbisik: "Maafkan aku kawan, akulah penabur racun di kopimu. Miskin mencekik, Tuan Saleh menawarkan kedermawanan, segepok uang untuk menyingkirkanmu." Sakaratul maut menyatukan mereka dalam kesaksian yang sama, sebuah simfoni dosa yang kini menggema, membasahi udara dengan penyesalan.
***
Undangan berwarna hitam, aksara perak menari di
permukaannya, tergeletak lesu di meja ruang tamu. Khan meraihnya, mengeja
pelan, "Undangan pernikahan." Kata-kata itu, seperti serpihan kaca,
ia letakkan kembali. Langkahnya gontai menuju kamar yang serupa medan perang,
alas kaki tak sempat terlepas, tubuhnya telah rebah, terlentang menatap
langit-langit yang menyimpan begitu banyak rahasia.
Pernikahan. Sebuah kutukan bagi Khan. Bukan sekadar soal
kesendirian, melainkan juga cermin dari kegagalannya. Lingkaran pertemanannya,
ludes tergerus usia dan takdir, menyisakan ia satu-satunya yang masih terdampar
di pulau kemiskinan dan ketidakjelasan. "Minggu besok, Maul menikah!"
Suara Ibu mengoyak sunyi, disusul lemparan undangan yang tadi Khan acuhkan.
Ibu, selalu Ibu, pembawa kabar pernikahan yang tak pernah usai. Setiap kali Ibu
membawa kabar serupa, Khan, selalu Khan, menyambutnya dengan bantal, menelungkupkan
kepala, berharap dunia lenyap sejenak, menelan seluruh eksistensinya yang
terasa begitu hampa dan tak berarah, tak ubahnya debu yang beterbangan tanpa
makna.
Tapi ini Maul. Nama yang seharusnya terkubur dalam-dalam,
sejak tragedi di kedai kopi setahun silam. Maul, si kawan yang mengulurkan
cangkir berisi serbuk maut, tergiur bisikan Tuan Saleh. Bisikan yang sama
merasuk ke telinga Khan dan Iyan.
Malam itu, petaka menyapa mereka bertiga. Terkapar dengan
mulut berbusa, Iyan menyerah di rumah sakit. Khan, entah takdir atau keajaiban,
selamat, memilih kembali ke kampung, membalut diri dengan sunyi. Maul, lenyap
tak berbekas, seolah ditelan bumi.
Kini, Maul, yang ia kira telah menjelma tengkorak, justru
hadir dalam rupa undangan hitam, mengabarkan pernikahannya dua hari lagi. Pahitnya
melebihi racun yang pernah ia teguk, sebab ini adalah pahitnya kekalahan,
pahitnya penyesalan atas pilihan-pilihan hidup yang menghantarkan pada jurang
tak berdasar. Pahit, bertemali dengan celoteh Ibu yang tak berkesudahan,
menyebutnya lelaki tak jelas, pengangguran abadi, seonggok daging tak berguna.
Undangan hitam itu ia timang-timang. Nama Maul, sahabatnya, seperti bisikan angin di relung hati. Ada rindu. Rindu yang mengikis dendam, membiarkan kenangan manis mengalir, menuntunnya pada satu keinginan: memeluk Maul, meminta maaf, bercerita, membasuh luka. Sebuah hasrat yang terasa begitu asing, kontras dengan lumpur keputusasaan yang selama ini membebat jiwanya, mengancam untuk menenggelamkannya dalam kehampaan abadi.
***
Khan bertolak pagi-pagi sekali, ingin menyaksikan akad nikah
Maul. Dendam telah sirna, berganti rindu pada sahabat lama. Ia ingin segera
sampai, memeluk Maul, meminta maaf, dan bercerita banyak hal. Namun, jarak yang
membentang dan kemacetan jalan, seperti tirani, menahan langkahnya. Akad nikah
telah usai.
Ia memilih duduk di barisan paling belakang. Sendiri.
Pikirannya melayang, mengukir kembali masa-masa indah
kebersamaan mereka bertiga. Awal perkenalan di kampus, benih persahabatan yang
tumbuh subur hingga menuntun mereka pada pekerjaan yang sama: penjaga kedai
kopi. Alasannya sederhana: kopi gratis, kebersamaan tanpa batas.
Maul, si lelaki cuek dengan penampilan acak-acakan, jarang
mandi. Perawakannya kecil, namun keberaniannya tak terhingga. Iyan, si romantis
puitis, tak kenal lelah meski ditolak berkali-kali. Dan Khan, menurut
sahabatnya, sang menawan rupawan, banyak perempuan mendekat, tapi ia tak pernah
merespons. Kesetiaan pada persahabatan adalah alasannya.
Perjalanan persahabatan yang manis, hingga datanglah Tuan
Saleh. Seorang pejabat penting, putra dari Mahodra, komisaris perusahaan
raksasa di Jakarta. Awalnya, tak sedikitpun mereka tertarik pada sosok ini.
Tuan Saleh kerap marah tanpa sebab, memaki, dan menghardik mereka, menuduh
takaran kopi tak pas. Padahal, kopi yang sama pernah ia puji setinggi langit.
Jika amarahnya meledak, seluruh sumpah serapah dan nama
binatang akan memuntah dari mulutnya, tak peduli pada mata-mata pengunjung
kedai yang ramai. "Mungkin burungnya tak bangun, padahal ia sudah
terlanjur membayar mahal lontenya!" Maul mengumpat pelan, membalas cacian
Tuan Saleh, sembari melenggang ke dapur.
Tuan Saleh selalu datang dengan dua pengawal tinggi besar, berbusana serba hitam dan berkacamata hitam, selalu memilih tempat di pojok kedai, terpisah dari Tuan Saleh yang gemar menyendiri.
***
Suatu sore, Khan menangkap perubahan pada Tuan Saleh. Pria
itu tampak begitu akrab dengan Maul, tak lagi membentak, bahkan rajin
menghadiahi mereka bertiga sebungkus rokok kretek yang dititipkan melalui Maul.
"Kenapa Tuan Saleh tiba-tiba berubah begitu baik, terutama saat bicara
denganmu, Ul?" tanya Khan, rasa penasaran mencekik. Maul tak menjawab,
terus mencuci cangkir-cangkir bekas kopi yang menumpuk. "Maul!!!"
Suara Khan meninggi. "Aku tak tahu, tugasku hanya menyeduh kopi dan
menyajikannya sesuai permintaan pengunjung, dengan harapan mereka semua senang.
Tak lebih!" Maul menjawab datar.
Khan tak puas. Sore berikutnya, saat Tuan Saleh kembali dan
terlibat pembicaraan serius dengan Maul, Khan mengajak Iyan menguping. Bukan
pekerjaan sulit. Tuan Saleh selalu memilih sudut kedai untuk berbicara dengan
Maul, memudahkan mereka menyusun strategi pengupingan.
Dan berhasil.
Mereka akhirnya mengerti alasan di balik kebaikan Tuan
Saleh. Ponselnya yang tertinggal. Diam-diam Maul membukanya, membaca pesan,
menjelajahi galeri, dan menemukan video pribadi Tuan Saleh dengan
selingkuhannya, termasuk rekaman pembicaraan proyek dan uang setoran.
"Oh!" gumam Khan. "Jadi begitu, Maul." Iyan mengangguk,
isyarat mengerti.
Jelas. Kebaikan Tuan Saleh bukan tanpa pamrih. Khan dan Iyan
kecewa pada Maul, namun mereka tak berniat menghakiminya. Justru, mereka punya
rencana lain untuk Tuan Saleh. Awalnya, bisikan tentang keadilan sempat
melintas di benak mereka—mungkin membongkar borok pejabat korup yang arogan
ini—namun hasrat itu cepat luntur. Kemiskinan, laksana jaring laba-laba yang
telah lama merajut kehidupan mereka, perlahan namun pasti menggerus benteng
idealisme dan kejujuran. Entah bisikan iblis mana yang menyusup, menyingkirkan
nurani, menggantinya dengan fatamorgana kekayaan.
Namun, siapa sangka, rencana itu justru menjadi awal petaka.
Ketika mereka mulai menjalankan niatnya, Tuan Saleh tak menunjukkan kegugupan
sedikit pun. Semua keinginan mereka diiyakan. Mereka girang bukan kepalang,
tanpa menyadari Tuan Saleh sedang merangkai rekayasa terburuk bagi persahabatan
dan hidup mereka.
Dan, Tuan Salehlah pemenangnya.
Tuan Saleh berhasil membuat mereka melupakan makna
persahabatan. Ia mengadu domba mereka, menjanjikan 600 juta rupiah dengan
syarat Maul harus disingkirkan. Janji yang sama, secara diam-diam, Tuan Saleh
sampaikan pada Maul. "Saatnya mengubah nasib, kesusahan hidup ini harus
segera diakhiri!" Bisikan itu begitu kuat mengangkangi akal dan nurani
mereka, bertahta dengan jumawa. Di bawah rembulan yang menyaksikan,
persahabatan menjelma medan perang.
Malam telah larut, para pengunjung kedai telah kembali ke
tempat masing-masing. Tanpa ragu, Khan dan Iyan menaburi serbuk racun dari Tuan
Saleh ke cangkir kopi Maul. Mereka tak tahu, Maul pun telah menaburi serbuk
racun yang sama ke kopi yang akan mereka minum.
Begitulah tragedi di kedai kopi itu berakhir. Hingga akhirnya, kartu undangan pernikahan bersampul hitam itu tiba di rumah Khan.
***
"Kenapa melamun?" Maul tiba-tiba berdiri di
samping Khan, merangkulnya, dan menggiringnya ke barisan terdepan. "Ini
bukan hanya pestaku, tetapi juga pestamu, pesta kita untuk merayakan pertemuan
setelah dua belas purnama lebih terpisah." Maul berbicara riang, seolah
lupa kejadian setahun lalu.
Khan terdiam. Pikirannya menerka-nerka pekerjaan Maul kini.
Pesta semegah dan semeriah ini—puluhan ribu kursi tertata rapi di bawah tarub
yang membentang di area ribuan meter persegi, di bagian depan, meja-meja besar
mewah penuh hidangan dan minuman, pelaminan megah, panggung besar dengan
peralatan musik lengkap. Pesta ini begitu megah, begitu mewah.
"Ayolah, sudah kusiapkan tempat istimewa untukmu.
Tempat khusus untuk orang-orang istimewa. Orang-orang miskin dan anak-anak
yatim, para pemulung dan pengamen, serta pasukan kuning yang berjasa
membersihkan kota ini dari sampah orang-orang kaya yang tak peduli
kebersihan," Maul menggiring Khan ke meja besar dengan kursi-kursi
berbalut beludru.
"Bukankah orang-orang sepertiku dan yang kau sebutkan
tadi biasanya hanya pantas duduk di bagian belakang, kursi-kursi tanpa meja?
Tempat duduk ini lebih pantas untuk para pejabat, pengusaha, dan para tokoh di
kota ini," Khan memprotes suasana tak biasa yang disampaikan Maul.
"Tidak, Kawan. Justru kau dan orang-orang yang
kusebutkan tadilah yang memang semestinya dihormati. Sedangkan para pejabat dan
orang-orang kaya itu, sudah biasa hidup enak dan serba mewah. Apalagi para
koruptor dan penerima suap itu, sudah sepantasnya malu dan mengambil duduk
paling belakang, bukan malah dihormati!"
Khan ternganga. Ia ingin bertanya, bukankah Maul yang
sekarang, juga menjadi bagian dari orang-orang kaya itu? Jika tidak, mana
mungkin ia bisa menyelenggarakan pesta sebesar dan semewah ini? Namun,
pertanyaan itu tak keluar dari tenggorokannya.
"Tak usah heran, Kawan. Pesta ini tak habis 300 juta.
Masih kusiakan 600 juta yang menjadi bagianmu dan Iyan, sahabat kita!"
"Tak hanya itu, telah kusiapkan kopi spesial juga buat
Tuan Saleh," Maul terus bicara.
Tiba-tiba Khan meradang, tenggorokannya kering, persis
seperti kejadian setahun yang lalu, setelah ia menenggak kopi yang telah
ditaburi Maul serbuk racun.
Pesta itu terus berdengung di sekelilingnya, namun bagi
Khan, kemewahan itu terasa hambar. Bukan hanya kopi di tangannya yang menyimpan
bahaya masa lalu. Di setiap sudut tenda raksasa itu, ia mencium aroma
kebohongan, keserakahan, dan darah persahabatan yang pernah tertumpah. Ini
adalah perjamuan, ya, sebuah perjamuan agung. Namun yang diundang bukan sekadar
tamu, melainkan jiwa-jiwa yang telah menari dalam irama dosa.
Posting Komentar