Narasi Tunggal dan Kolonialisme Epistemik



Narasi Tunggal dan Kolonialisme Epistemik: Esai Kritis atas Revisi Sejarah dalam Perspektif Pascakolonial dan Hak Kultural Warga

Oleh: Rahmatul Ummah
Penulis dan pegiat literasi, tinggal di Lampung


Abstrak

Esai ini membahas problematika penulisan sejarah dalam konteks pascakolonial Indonesia, dengan menyoroti revisi narasi sejarah nasional yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai proyek politik ingatan. Melalui pendekatan teori kuasa-pengetahuan Foucault, konstruksi bangsa Anderson, kritik orientalisme Said, dan pendidikan pembebasan Freire, esai ini memperlihatkan bagaimana historiografi Indonesia terus berada di bawah bayang-bayang kekuasaan. Dengan mengangkat kasus Tragedi Mei 1998, Talangsari, serta tokoh-tokoh yang dihilangkan dari ingatan publik seperti Marsinah dan Wiji Thukul, tulisan ini menekankan pentingnya sejarah plural dan akses arsip terbuka sebagai fondasi keadaban dan rekonsiliasi nasional. Tulisan ini merekomendasikan pembentukan Dewan Sejarah Independen serta penegakan hak atas kebenaran dan memori sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara.

Kata kunci: sejarah nasional, politik ingatan, pascakolonial, hak atas kebenaran, historiografi kritis


Pengantar

Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia adalah medan kuasa, tempat kepentingan negara, wacana dominan, dan ingatan kolektif masyarakat saling bersaing. Dalam konteks pascakolonial seperti Indonesia, sejarah tidak pernah berdiri netral—ia ditulis, ditata ulang, dan sering kali dikontrol untuk melayani narasi hegemonik. Proyek revisi sejarah nasional yang kini digagas Kementerian Kebudayaan menjadi bukti mutakhir dari catatan itu.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa penulisan sejarah harus diluruskan agar tidak lagi terjebak dalam narasi kolonial dan liberal Barat (Kompas, 27 Mei 2025). Namun, dalam absennya partisipasi publik dan minimnya transparansi data, proyek ini menimbulkan satu pertanyaan mendasar: sejarah hendak diluruskan, atau diarahkan?

Historiografi dan Politik Ingatan

Diakui, negara memang memiliki kewajiban membangun narasi sejarah kolektif. Tapi tanggung jawab ini mengandung paradoks: semakin kuat negara menarasikan masa lalu, semakin besar risiko terjadinya penyingkiran suara-suara kritis dan pinggiran —yakni mereka yang berasal dari komunitas minoritas, kelompok adat, korban kekerasan negara, perempuan, atau warga yang secara historis tidak memiliki akses terhadap lembaga produksi pengetahuan. Sejarawan Michel-Rolph Trouillot (2021, hlm. 26) menyebutnya sebagai silencing the past—penghilangan struktural terhadap peristiwa dan pelaku sejarah yang dianggap mengganggu stabilitas narasi besar.

Tragedi Mei 1998, terutama kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa, adalah contoh paling gamblang. Komnas Perempuan (1999) mencatat sedikitnya 85 korban kekerasan seksual, namun hingga kini peristiwa itu nyaris tak mendapat tempat dalam buku sejarah nasional. Hal serupa terjadi pada tragedi Talangsari 1989, di mana ratusan warga sipil dibunuh secara sistematis oleh aparat negara karena dianggap simpatisan gerakan keagamaan tertentu (Heryanto, 2006). Begitu pula dengan pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan hilangnya penyair perlawanan Wiji Thukul, yang tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat, namun diredam dalam wacana resmi negara.

Dalam kerangka Michel Foucault (2016, hlm. 131), sejarah adalah hasil relasi pengetahuan dan kuasa. Mereka yang menguasai institusi pendidikan, kurikulum, dan arsip negara akan menentukan versi mana yang layak diajarkan, dan versi mana yang dihapus. Di Indonesia, perubahan narasi sejarah nyaris selalu seiring dengan pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru, lalu ke era Reformasi. Kini, ketika narasi tunggal kembali dimunculkan, kekhawatiran atas dominasi negara dalam mengatur ingatan publik menjadi sangat relevan.

Benedict Anderson (1983) menjelaskan bahwa bangsa adalah komunitas imajiner yang dibentuk oleh narasi bersama, termasuk narasi sejarah. Artinya, siapa yang menulis sejarah sedang menentukan batas imajinasi kebangsaan kita. Sementara Edward Said (1978) mengingatkan bahwa kuasa kolonial bekerja melalui representasi pengetahuan yang menciptakan ‘liyan’—jika negara hari ini melanjutkan praktik itu lewat versi tunggal sejarah, maka kita sedang mengulang kolonialisme epistemik dalam bentuk baru, bahkan dalam tubuh negara sendiri.

Politik Revisi dan Hak atas Kebenaran

Kekhawatiran ini bukan ilusi. CNN Indonesia (31 Mei 2025) menyebut bahwa beberapa bagian penting sejarah seperti konflik 1965 dan gerakan mahasiswa 1998 kemungkinan besar akan dipersingkat atau dihapus demi “kohesi sosial.” Ini menegaskan bahwa proyek revisi sejarah bukan semata akademik, tapi juga ideologis.

Paul Ricoeur (2014, hlm. 456) menyebut bahwa rekonsiliasi sejati hanya mungkin terjadi jika negara berani mengakui luka masa lalu. Tanpa itu, sejarah akan menjadi alat kuasa untuk mengendalikan masa depan. Pendidikan sejarah yang membebaskan, sebagaimana dirumuskan Paulo Freire (2014, hlm. 72), adalah pendidikan yang mengajarkan keberanian untuk berpikir kritis, bukan sekadar menghafal kronologi.

Secara konstitusional, hak atas sejarah juga bagian dari hak atas identitas dan kebenaran. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak warga untuk mengakses dokumen negara yang relevan bagi kepentingan publik. Hal ini diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang menegaskan bahwa informasi publik adalah hak konstitusional warga negara. Dalam konteks sejarah, hak atas arsip adalah bagian dari hak atas memori yang adil.

Jalan Keluar: Sejarah Sebagai Proyek Demokrasi

Langkah konkret untuk menghindari monopoli narasi adalah pembentukan Dewan Sejarah Nasional Independen yang terdiri dari sejarawan kritis lintas institusi, komunitas penyintas, guru, dan masyarakat sipil. Dewan ini harus diberi mandat meninjau keberpihakan buku sejarah nasional, membuka arsip, dan memastikan keterlibatan multipihak dalam penyusunan narasi sejarah.

Akses publik terhadap arsip sejarah juga menjadi krusial. Rekomendasi Komnas HAM menegaskan bahwa arsip pelanggaran HAM seperti 1965, Talangsari, dan Mei 1998 tidak boleh disimpan rapat, melainkan dibuka sebagai bagian dari pemulihan kolektif bangsa.

Pendidikan sejarah di sekolah mesti direformasi menjadi ruang dialog, bukan sekadar hafalan. Materi sejarah harus bersifat reflektif, partisipatif, dan membebaskan. Siswa perlu dilatih bertanya: mengapa suatu versi dipilih dan versi lain ditiadakan? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang disingkirkan?

Penutup

Membaca sejarah yang jujur adalah tindakan keberanian moral. Negara yang sehat bukan negara yang menyembunyikan masa lalunya, tapi yang membuka luka dengan kejujuran dan menjadikannya dasar untuk bangkit. Jepang telah berulang kali meminta maaf atas masa lalunya, meski belum tuntas. Afrika Selatan menciptakan Truth and Reconciliation Commission yang menjadi model dunia untuk rekonsiliasi berbasis pengakuan.

Indonesia juga pernah punya momen moral ketika Presiden Abdurrahman Wahid membuka pintu pengakuan terhadap tragedi 1965. Tapi jalan itu terhenti. Kini, saat sejarah hendak ditulis ulang, tantangannya bukan soal gaya bahasa atau kelengkapan kronologi, tapi soal siapa yang diberi suara, dan siapa yang disuruh diam.

Tanpa sejarah yang terbuka dan plural, bangsa ini hanya akan mengulang luka lama yang dibungkam. Sejarah kita tak boleh hanya milik negara. Sejarah adalah milik semua yang pernah—dan sedang—menghidupi republik ini.


Daftar Pustaka

Anderson, B. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.
Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Marjin Kiri.
Foucault, M. (2016). Pengetahuan dan Kuasa: Wacana, Pengetahuan, dan Kuasa. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Freire, P. (2014). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
Heryanto, A. (2006). State Terrorism and Political Memory in Indonesia: The Case of the Talangsari Incident. In Ariel Heryanto (Ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. Routledge.
Komnas Perempuan. (1999). Catatan Tahunan: Kekerasan terhadap Perempuan Tionghoa Mei 1998. Jakarta: Komnas Perempuan.
Ricoeur, P. (2014). Ingatan, Sejarah, dan Lupa. Yogyakarta: IRCiSoD.
Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.
Said, E. (2006). Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Trouillot, M-R. (2021). Membungkam Masa Lalu: Kekuasaan dan Produksi Sejarah. Jakarta: Marjin Kiri.
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006.
Kompas. (27 Mei 2025). “Fadli Zon: Revisi Buku Sejarah Harus Bebas dari Narasi Kolonial.”
CNN Indonesia. (31 Mei 2025). “Revisi Sejarah Nasional Picu Polemik, Ini Kekhawatiran Guru dan Sejarawan.”

0/Berikan Kritik - Saran/Comments