Anindya Kirana menatap pantulan dirinya di jendela ruang kerja. Kota Mandalika di bawah sana mendidih. Bukan karena terik matahari, melainkan karena bisik-bisik yang kini berubah menjadi jeritan massal. Ia, sang Ketua Dewan, janda, cerdas, dan seksi, telah menjadi santapan paling lezat bagi lidah-lidah busuk di kota ini.
"Lengserkan Anindya!" Suara itu menggedor dinding kedap suaranya, masuk ke dalam otaknya, berdenyut bersama degup jantungnya. Spanduk-spanduk menari-nari, memuat namanya, meludahi kehormatannya. Mereka menuduhnya korupsi, proyek fiktif, berbagai intrik anggaran. Tapi Anindya tahu, ini bukan tentang angka atau kertas-kertas laporan. Ini tentang tubuhnya. Vaginanya. Payudaranya. Tentang siapa yang menyentuhnya, di mana, dan berapa kali.
Headline surat kabar berteriak: "Ketua Dewan Tidur dengan Anggota Fraksi Angsana!" Yang mereka maksud, tentu saja, adalah Arjuna. Politisi muda dengan rambut klimis sempurna, istri satu, anak dua, dan moral yang, menurut Anindya, lebih kosong daripada janji kampanye. Lucu. Di negeri ini, laki-laki tidur dengan pelacur adalah “kebutuhan biologis”, tapi perempuan tidur dengan rekan kerja? Ah, itu “pelacur politik.”
***
Hubungan itu tidak dimulai di meja rapat, atau di bawah sorotan lampu kantor. Bukan. Itu dimulai di malam-malam hotel yang dingin, ketika kesepian adalah selimut terbaik. Awalnya, percakapan receh, sekadar basa-basi pengisi keheningan: "Kamu sudah makan?" atau "Malam ini bintang tidak kelihatan, ya?" Lalu bergeser, pelan tapi pasti, menjadi: "Boleh aku masuk?" Disusul suara gerendel pintu yang mengunci rahasia dari dunia luar.
Mereka bercinta. Berulang kali. Kadang dengan ritme yang lambat, penuh tatapan mata yang saling mengunci, seolah waktu tak berarti. Kadang tergesa, seperti takut CCTV hotel mencatat setiap desahan. Bukan selalu romantis. Seringkali hanya pelampiasan. Namun selalu dalam kesadaran pahit: mereka saling membutuhkan. Bukan hanya tubuh yang saling bergesekan dalam gelap, tapi juga konspirasi. Kepercayaan. Kerahasiaan.
Arjuna bukan hanya kekasih. Ia adalah informan. Pengkhianat yang membocorkan nama-nama anggota dewan, para tikus rakus yang menggerogoti dana APBD seolah itu makanan gratis di meja makan rakyat. "Jangan bilang siapa-siapa," bisik Arjuna, napasnya masih memburu setelah orgasme yang basah dan meledak. Anindya mencatat semuanya. Tanggal. Nama. Nomor rekening. Proyek fiktif. Bukti-bukti itu menumpuk di meja samping tempat tidur. Mereka bercinta di antara kertas-kertas bukti, kadang di atasnya, kadang setelahnya, tinta nama-nama koruptor seperti tato di kulit mereka yang berkeringat.
Dunia tidak pernah menyukai perempuan yang bercinta dengan akal sehat, apalagi jika akal sehat itu diwujudkan dalam tumpukan bukti korupsi.
***
Amplop itu tiba tanpa nama, seperti kutukan yang dikirim angin. Isinya: foto-foto. Buram, tapi menyakitkan. Anindya dan Arjuna di bandara. Di lobi hotel. Di restoran gelap. Di lorong kamar. Dan satu foto, paling menusuk: mereka berdua keluar dari kamar hotel di pagi hari, masih menyisakan kelembapan di sela paha.
Ia tahu, ini saatnya.
Media langsung menggonggong, berebut berita. LSM mendadak suci, menyuarakan moralitas. Tokoh agama mendadak khusyuk, berdakwah tentang dosa. Rakyat turun ke jalan, meneriakkan nama Anindya, seolah moralitas kota ini rusak hanya oleh vagina seorang janda. Yang dilupakan: janda juga manusia. Dan kadang lebih manusiawi daripada para lelaki yang menghamili lalu kabur tanpa jejak.
Bahkan di antara kerumunan yang berteriak "Lengserkan Anindya!" itu, ia mengenali beberapa wajah. Beberapa di antaranya pernah dengan diam-diam mendekatinya, mencoba merayu. Sebuah senyum nakal di koridor, secangkir kopi yang tiba-tiba muncul di mejanya, atau bahkan bisikan "Kamu terlihat lelah, bagaimana kalau kita...?" dengan tatapan yang jelas ingin menelanjanginya. Anindya selalu menolak, dengan sopan tapi tegas, tahu persis bahwa nafsu mereka tak lebih dari sekadar perpanjangan dari ambisi politik kosong. Ironis, bukan? Mereka yang dulu mendamba sentuhannya, kini memaki-maki nama dan kehormatannya di jalanan.
Arjuna menghilang. Bak cinta yang terhapus dari kamus pemerintah. Tapi Anindya tidak kabur.
Ia berdiri di depan mikrofon, mengenakan batik rapi, rambut disanggul sempurna, suaranya mantap, tidak bisa dibeli dengan harga berapa pun. Kamera-kamera menyorot wajahnya yang terlalu tenang untuk perempuan yang baru saja diludahi seluruh kota.
"Ya," katanya, suaranya tenang, menghentikan deru kamera yang menyambar. "Saya tidur dengan Arjuna. Berkali-kali. Saat perjalanan dinas. Di luar nikah."
Kilat kamera menyambar lagi. Ruangan jumpa pers mendesis, seperti ular-ular yang baru saja terinjak.
"Tapi saya juga tidur dengan kebenaran. Dengan data. Dengan strategi," lanjut Anindya, matanya menatap tajam ke arah kerumunan wartawan yang membisu. Ia mengangkat setumpuk dokumen, tebal dan penuh rahasia. "Dan ini—" ia mengayunkan berkas itu perlahan, seolah memperlihatkan pedang tajam. "—adalah hasilnya."
Proyek fiktif. Dana siluman. Penipuan sistematis. Semua nama tertera jelas. Lengkap dengan jumlah uang dan tanggal pengiriman ke rekening-rekening yang asing. Ruang jumpa pers berubah sunyi senyap. Moral publik, yang tadinya berteriak-teriak, kini kelihatan bolong-bolongnya.
"Jadi kalian mau saya mundur karena moralitas?" tanyanya, suaranya meninggi, menusuk setiap telinga. "Atau karena saya tahu terlalu banyak?"
***
Hari itu, Mandalika retak. Cermin kota pecah berkeping-keping, dan yang terlihat bukan hanya wajah Anindya, tapi juga wajah semua yang selama ini berpura-pura bersih. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana mata mereka menatapnya. Mata lelaki yang pernah memuji gaunnya di resepsi, kini pura-pura jijik. Mata perempuan yang diam-diam iri, kini ikut menghakimi, menuntut darahnya.
Tapi Anindya tidak gila. Ia hanya janda. Yang sempat jatuh cinta. Dan memanfaatkan cinta itu untuk menyelamatkan kota dari kebusukan yang mengakar. Ia tahu hidupnya tidak akan lagi sama. Tapi siapa butuh kehidupan yang biasa-biasa saja?
***
Kini, namanya terus dipanggil orang. Kadang dengan hormat, kadang dengan makian. Tapi selalu dengan rasa takut yang tak terucapkan. Karena ia perempuan. Yang pernah bercinta dan tak menyangkalnya. Yang pernah berkuasa dan tak meminta maaf karenanya. Yang berani menatap langit, bahkan ketika dunia ingin menyeretnya ke tanah, mencabik-cabik kehormatannya.
Mahkota itu masih ada di kepalanya. Dan kali ini, tidak ada yang bisa merebutnya lagi
Posting Komentar