Agama dan Klaim Kebenaran

 


Agama sering dipahami sebagai fondasi moralitas manusia. Ia diyakini bisa membawa manusia menuju kehidupan yang baik, damai, dan bermartabat. Di dalam teks-teks suci tersimpan nilai kasih, keadilan, dan pengharapan. Namun, kenyataan sehari-hari memperlihatkan paradoks yang sulit diabaikan: agama tidak selalu membuat orang menjadi baik. Kadang, ia hanya membuat orang merasa paling benar.

Pernyataan ini tidak bermaksud merendahkan agama, melainkan mengajak kita menatap kenyataan dengan jujur. Sejarah panjang umat manusia memperlihatkan bagaimana agama bisa menjadi sumber kebajikan, tetapi juga menjadi bahan bakar konflik. Nietzsche (1888) dengan tajam mengkritik agama yang berubah menjadi herd morality, yaitu moralitas yang menuntut ketaatan buta pada aturan mayoritas, menekan kebebasan berpikir, dan mematikan keberanian untuk merdeka secara batin. Kritik ini, meski keras, mengajak kita merenung: apakah agama masih hidup sebagai sumber kasih dan kebijaksanaan, ataukah ia kini hanya menjadi simbol identitas yang dipertahankan dengan klaim kebenaran (truth claim)?

Kebaikan, sesungguhnya, tidak otomatis lahir hanya karena seseorang beragama. Menjadi religius bukanlah jaminan seseorang menjadi adil, penuh empati, dan rendah hati. Sebaliknya, beragama kerap melahirkan sikap eksklusif: menutup diri dari yang berbeda, merasa lebih suci, bahkan merendahkan martabat orang lain. 

Paul Ricoeur (1992) menegaskan bahwa simbol-simbol agama hanya bermakna sejauh ditafsirkan dalam horizon kehidupan. Tanpa penafsiran yang hidup, agama bisa membatu menjadi ideologi. Itulah sebabnya kita kerap menemukan orang yang tekun beribadah tapi dengan mudah melabeli orang lain sesat; atau mereka yang fasih berbicara tentang surga, tetapi menutup mata terhadap penderitaan sosial di sekitarnya. Agama, dalam kasus semacam itu, hanya berfungsi sebagai pembenar ego, bukan sumber transformasi diri.

Bahaya terbesar dari agama yang disalahpahami adalah klaim kebenaran tunggal. Begitu seseorang merasa memegang kebenaran absolut, maka yang berbeda otomatis dianggap salah, bahkan musuh. Dari sini lahirlah intoleransi, diskriminasi, hingga kekerasan atas nama Tuhan. Karen Armstrong (2006) mengingatkan bahwa sejarah agama-agama besar justru lahir dari pergulatan panjang manusia mencari makna, bukan dari kesombongan rohani yang menutup pintu dialog. Artinya, agama sejak awal dimaksudkan untuk membuka ruang perjumpaan, bukan membangun tembok pemisah. Maka, ketika agama direduksi menjadi sekadar identitas politik atau sosial, nilai universalnya tenggelam di balik fanatisme kelompok.

Filsafat moral mengajarkan bahwa kebenaran mestilah diuji dalam praksis. Aristoteles (1984) menyebut eudaimonia—hidup yang baik—sebagai tujuan utama etika. Jika agama hendak menjadi sumber kebaikan, maka ia harus melahirkan eudaimonia dalam kehidupan nyata, bukan sekadar klaim normatif. Pertanyaan sederhana dapat menjadi cermin: apakah ibadah membuat kita lebih sabar menghadapi orang lain? Apakah doa membuat kita lebih peduli pada penderitaan di sekitar kita? Jika tidak, maka agama hanya berhenti pada ritual, bukan transformasi. Kebenaran yang tidak melahirkan kebaikan sejatinya hanyalah kesombongan intelektual maupun spiritual.

Kerendahan hati menjadi jalan yang dapat menyelamatkan agama dari jebakan klaim kebenaran sempit. Martin Buber (1937), melalui konsep I and Thou, menekankan pentingnya relasi dialogis: melihat orang lain bukan sebagai objek yang harus dikalahkan, tetapi sebagai subjek yang sama-sama mencari kebenaran. Dari perspektif ini, agama seharusnya mengajarkan manusia untuk hidup dalam dialog, bukan konfrontasi. Kesadaran akan keterbatasan diri mengajarkan bahwa tidak ada manusia yang mampu menangkap kebenaran mutlak secara sempurna. Setiap orang hanya peziarah dalam perjalanan panjang menuju Yang Tak Terbatas. Dengan kesadaran itu, agama dapat dipahami bukan sebagai alat pemisah, tetapi sebagai ruang perjumpaan yang mempersatukan.

Ala kulli hal, agama memang bisa membuat orang merasa paling benar. Tetapi tugas manusia beriman adalah memastikan bahwa keyakinan itu juga melahirkan kebaikan nyata. Sebab, apa arti kebenaran jika ia tidak menumbuhkan cinta kasih? Hans Küng (1991) menulis dengan tegas bahwa tidak akan ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama. Dan tidak akan ada perdamaian antaragama tanpa sikap rendah hati untuk mengakui bahwa kebaikan lebih utama daripada klaim benar. Agama sejati bukanlah soal siapa yang menang dalam debat teologis, melainkan siapa yang lebih mampu menghadirkan kasih dan keadilan dalam kehidupan bersama.

Dengan demikian, agama dapat kembali pada fungsi asalnya: bukan sekadar bendera identitas, tetapi jalan menuju kemanusiaan yang lebih luhur. Sebab ukuran keberagamaan tidak terletak pada seberapa keras seseorang membela kebenaran, melainkan pada seberapa nyata kebaikan yang ia hadirkan bagi sesama. (*)


0/Post a Comment/Comments