Beban dan Batas Manusia

 

Ilustrasi Sysipus (Sumber Foto: Vicky Sim/unsplsahcom)

Kita sering mendengar sebuah adagium di tengah masyarakat: “Tuhan memberikan beban yang berat agar kita menjadi kuat; Ia tak mungkin memberikan beban melampaui kemampuan umat-Nya.” Kalimat ini kerap menjadi sumber penghiburan, motivasi, sekaligus jangkar spiritual bagi mereka yang tengah menghadapi kesulitan atau musibah. Kalimat tersebut menyampaikan narasi bahwa penderitaan memiliki tujuan luhur, yakni pembentukan karakter, dan bahwa ada jaminan Tuhan atas kemampuan kita untuk bertahan.

Namun, ketika berhadapan dengan kenyataan empiris—meningkatnya depresi, kasus bunuh diri akibat tekanan hidup, hingga trauma yang menghancurkan individu secara psikologis—pernyataan tersebut mulai terasa problematis dan mengganggu keyakinan. Ia lebih tampak seperti doktrin ketimbang kebenaran yang teruji. Pendekatan logis dan ilmiah menuntut kita untuk mendekonstruksi gagasan itu, melihatnya bukan sebagai janji absolut, melainkan sebagai kerangka psikologis yang sarat variabel penentu.

Secara psikologis, kapasitas manusia dalam menanggung beban memang terbatas. Psikologi mengenalkan kita pada konsep breaking point atau titik patah. Setiap individu memiliki ambang stres berbeda, dipengaruhi faktor genetika, pengalaman masa lalu, kondisi neurokimia otak, dan resiliensi yang berkembang seiring waktu. Stresor yang sama bisa menumbuhkan Post-Traumatic Growth pada satu orang, tetapi memicu Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada yang lain. Menganggap setiap beban telah “ditakar” secara ilahi berarti menutup mata terhadap kompleksitas biologis dan psikologis tersebut.

Kegagalan seseorang dalam memikul beban bukanlah tanda lemahnya iman, melainkan sering kali akibat kapasitas neuropsikologis yang terlampaui. Viktor Frankl, psikiater sekaligus penyintas Holocaust, menegaskan bahwa penderitaan yang luar biasa memang ada. Tapi, fokus sebaiknya bukan pada bebannya, melainkan pada sikap yang kita pilih untuk menghadapinya. Ia menulis: “Segala sesuatu dapat diambil dari seseorang kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia—untuk memilih sikap dalam keadaan apa pun, untuk memilih jalannya sendiri” (Frankl, 1946). Kekuatan sejati, dengan demikian, tidak berarti selalu mampu menanggung semua beban, melainkan menjaga kebebasan batin untuk merespons penderitaan, meski itu melampaui batas fisik dan emosional.

Dari perspektif sosial, daya tahan seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Beban yang sama akan terasa berbeda jika ditopang keluarga, akses profesional, serta jaring pengaman sosial, dibandingkan ketika seseorang menghadapinya sendirian. Doktrin bahwa beban takkan melampaui kemampuan cenderung individualistis. Ia menempatkan seluruh tanggung jawab di pundak individu, sambil mengabaikan faktor struktural seperti kemiskinan, ketidakadilan sistemik, dan diskriminasi, yang sering melipatgandakan beratnya beban hidup.

Brené Brown menekankan pentingnya koneksi manusia sebagai fondasi kekuatan. Menurutnya, “Koneksi adalah energi yang muncul ketika orang merasa dilihat, didengar, dan dihargai; ketika mereka dapat memberi dan menerima tanpa penghakiman” (Brown, 2012). Dengan demikian, banyak orang gagal bukan karena bebannya terlalu berat, melainkan karena ketiadaan koneksi yang menopang.

Dari sudut pandang filsafat, adagium tersebut bersinggungan dengan problem teodisi: jika Tuhan Maha Baik dan Maha Kuasa, mengapa penderitaan ekstrem yang membuat hancur lebur tetap ada? Membingkai penderitaan sebagai 'ujian naik kelas' atau 'latihan kekuatan” memang memberi jawaban sederhana. Tetapi jawaban itu runtuh ketika kita melihat penderitaan yang justru melahirkan kehancuran total—seorang anak yang trauma seumur hidup, atau seseorang yang kehilangan akal sehat karena kesedihan mendalam, atau bahkan ada yang bunuh diri tak mampu memikul beban.

Albert Camus, dalam Mitos Sisifus, menyodorkan pandangan berbeda. Sisifus dikutuk mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya kembali tergelincir. Bebannya absolut, tanpa akhir. Namun, Camus menyimpulkan: “Perjuangan itu sendiri untuk mencapai puncak sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan Sisifus bahagia” (Camus, 1942). Kebahagiaan Sisifus bukanlah hasil keyakinan bahwa bebannya sepadan dengan kekuatannya, melainkan pemberontakan terhadap absurditas takdir. Makna ia temukan bukan pada tujuan, melainkan pada perjuangan (proses merespon beban) itu sendiri.

Simpulnya, kalimat “Tuhan tidak akan memberikan beban melampaui kemampuan umat-Nya” lebih tepat dipahami sebagai metafora spiritual atau strategi koping, bukan fakta literal. Secara empiris, kehidupan kerap melampaui kapasitas manusia. Kegagalan pun bukan anomali, melainkan bagian nyata dari dinamika biologis, psikologis, sosial, dan kebetulan.

Alih-alih berpegang pada dogmatisme yang dapat menimbulkan rasa bersalah pada mereka yang kalah, perspektif yang lebih logis dan bijak adalah mengakui bahwa kekuatan manusia bukanlah kuantitas yang statis dan terukur, melainkan sesuatu yang dinamis. Ia bertumbuh melalui dukungan sosial, pencarian makna, dan pilihan sikap di tengah penderitaan yang tak terhindarkan. Mungkin, yang dimaksud dengan “kemampuan” dalam adagium itu bukan sekadar daya menanggung derita sendirian, melainkan keberanian untuk mencari pertolongan, menjalin koneksi, serta menemukan makna, bahkan di tengah kegagalan sekalipun.

Tabik.

0/Post a Comment/Comments