Berbahasa yang Logis dan AI

Ilustrasi AI


Berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan logis adalah hal yang penting. Namun, berbahasa yang baik bukan berarti harus kaku atau sok tahu. Justru, menurut kredo Om Iqbal Aji Daryono, berbahasa dengan logis menuntut kita untuk berpikir kreatif, sementara kaidah baik dan benar biasanya terpaku pada aturan. Berbahasa Indonesia dengan logis juga bukan soal sok-sokan menjadi "polisi bahasa".

Saya teringat momen ketika mengunggah foto di Facebook. Foto yang saya temukan berseliweran di media sosial itu berisi kesalahan-kesalahan bahasa yang aneh dan sangat mengganggu. Sebenarnya, unggahan itu saya buat untuk mengkritik beberapa jurnalis yang sering kali menulis tanpa kaidah yang benar. Alhasil, banyak orang yang merespons unggahan itu dan menganggap saya nyinyir. Dan, saya pikir, sah-sah saja jika mereka menganggapnya demikian.

Namun, saya bukan tak pernah dimarahi karena salah menggunakan istilah. Senior saya, Udo Z. Karzi, adalah salah satu yang paling sering "menjewer" saya. Momen yang paling saya ingat adalah ketika beliau mengoreksi tulisan "sekedar" di "Pojok Topten, bukan sekedar ngopi" beberapa tahun lalu. Beliau juga pernah mengacak-acak tulisan kumpulan cerpen "Tanah Senyum" yang dengan bangga dan gagah, saya mendaku sebagai editornya.

Pengalaman-pengalaman itulah yang memotivasi saya untuk terus belajar. Saya melengkapi ponsel dengan aplikasi PUEBI dan KBBI daring. Saya juga sering berdebat dengan istri dan anak-anak di rumah karena mereka kerap menggunakan kata "merubah", yang sering saya plesetkan menjadi "merusa".

Setiap hari saya menulis, membaca, dan mengedit. Aktivitas ini saya manfaatkan untuk terus belajar, sebuah proses yang ingin saya tularkan kepada siapa saja yang menyukai dunia tulis-menulis. Sebagai manusia, tentu saya tidak selalu benar. Saya siap dikoreksi dan siap kalah. Setiap orang pasti pernah membuat kesalahan saat belajar.

Unggahan saya mungkin menyindir seseorang secara khusus, hingga ia meminta saya menghapus "postingan" tersebut. Namun, unggahan itu tidak tertuju pada satu orang saja. Semua orang bisa membacanya dan mengambil pelajaran bahwa siapa pun bisa menjadi jurnalis dengan syarat harus terus belajar agar dianggap layak dan pantas.

Banyak media yang masih keliru dalam penulisan, seperti: tanpa ditulis tampa, risiko ditulis resiko, andal ditulis handal, imbau ditulis himbau, mengubah ditulis mengubah, penulisan kata di yang seharusnya dipisah tetapi malah digabung, penulisan kata terima kasih yang seharusnya dipisah tetapi malah digabung dan banyak contoh lain.

Ketika AI Mengambil Alih Nalar

Fenomena ini semakin diperparah dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI). Saya melihat kecenderungan banyak orang menulis dengan memasrahkan semua narasinya digarap oleh AI. Akibatnya, terkadang mereka lupa menghapus beberapa kalimat yang tidak perlu. Bahkan, ada yang lebih fatal lagi. Saya pernah membaca sebuah berita yang penulisnya lupa menghapus paragraf terakhir dari tulisan yang dibantu AI tersebut. Kalimatnya berbunyi: "Apakah Anda ingin saya mengubah tulisan ini dalam bentuk feature?" Sungguh fatal!

Kasus semacam ini membuktikan bahwa nalar tetap menjadi kunci. AI memang bisa membantu, tetapi tidak bisa menggantikan akal sehat seorang penulis. Proses menulis tidak hanya soal merangkai kata, tetapi juga soal mempertimbangkan konteks, logika, dan rasa. Kepercayaan pada AI tanpa koreksi mendalam justru bisa meruntuhkan kredibilitas.

Tekad dan semangat untuk terus belajar adalah kuncinya. Belajar tak pernah usai. Hingga kini, saya tetap belajar dan siap dikoreksi, bahkan dicaci sekalipun. Koreksi, kritik, dan caci maki adalah sarana belajar, selain terus mengamati dan membaca tulisan-tulisan orang lain.

Selain buku "Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira" karya Iqbal Aji Daryono, saya juga belajar dari karya-karya Eko Endarmoko, seperti "Remah-Remah Bahasa: Perbincangan dari Luar Pagar" dan "Tesaurus". Saya juga berguru pada Ivan Lanin lewat bukunya "Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?". Saya juga tetap membaca Majalah Tempo edisi lama, novel, esai-esai Bandung Mawardi, atau tulisan siapa pun. Selain membaca adalah kesenangan, saya juga belajar bagaimana mereka merangkai setiap kata hingga menjadi kalimat yang memesona.

Khusus Iqbal, Eko dan Ivan mereka adalah tiga orang yang dijuluki Achmad Santoso—Penyelaras bahasa Jawa Pos, sebagai kepingan lain dari pegiat bahasa yang menjadikan gaya populer sebagai roh, menembus sekat-sekat kekakuan, cair. Bahkan, sering kali tak segendang sepenarian dengan Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia.

Intinya, yang utama dalam berbahasa adalah logis. Saat menggunakan istilah-istilah ‘aneh’, bukan berlatar kebodohan dan malas membaca, melainkan karena memang ‘paham’ bahwa bahasa komunikasi tak harus ‘kaku-kaku banget’, yang penting logis dan tak memantati nalar.

Akhirnya, layaknya cinta yang tak pernah usai, saya juga akan terus belajar dan mencintai bahasa Indonesia.

Tabik.

0/Berikan Kritik - Saran/Comments