Candu Gulir

 


Ada sebuah ritual modern yang kita jalani tanpa sadar, sebuah liturgi hening yang dipersembahkan pada altar layar bercahaya. Ibu jari kita, sang petualang digital, bergerak menari bak terhipnotis—menggulir, menggulir, dan terus menggulir. Inilah candu gulir, sebuah eskapisme manis yang menjanjikan koneksi tak terbatas, tapi sering kali menyisakan kehampaan dan kelelahan kognitif, setelahnya. Kita memulainya dengan niat membunuh waktu lima menit, tetapi tanpa terasa, satu jam, dua jam, menghilang, meninggalkan kita dalam residu atensi—tatapan kosong dan rasa gelisah yang tak bernama.

Di balik jerat yang terasa personal ini, ada arsitektur persuasi yang dirancang dengan presisi neurobiologis. Para insinyur perhatian telah membingkai ulang sirkuit penghargaan purba di otak kita. Setiap gesekan jari pada permukaan layar gawai adalah tarikan tuas pada mesin slot yang tak pernah berhenti berputar. Desain infinite scroll secara sengaja menerapkan jadwal penguatan variabel (variable-ratio reinforcement schedule), mekanisme yang sama yang menurut B.F. Skinner (1953) membuat pertaruhan begitu adiktif. Ketidakterdugaan—apakah guliran berikutnya menyajikan video lucu, berita provokatif, atau foto kawan lama—memicu pelepasan dopamin di jalur mesolimbik otak, menciptakan siklus ‘menginginkan’ (wanting) yang tak pernah terpuaskan.

Maka, terciptalah sebuah paradoks yang getir. Dalam ekonomi perhatian yang kejam, fokus kita menjadi komoditas yang paling diburu. Setiap notifikasi adalah interupsi yang memaksa kita melakukan peralihan konteks (context switching). Ingat kapan terakhir kali kamu scroll medsos dan merasa otakmu lebih ringan sesudahnya? Sulit, bukan? Media sosial dirancang untuk membuat kita terpaku, bukan terisi. Algoritma bertindak seperti sutradara licik, tahu drama mana yang memicu emosi, konten apa yang bikin iri, info apa yang akhirnya diklik. Ia menyodorkan apa yang populer, bukan apa yang bermakna.

Riset psikologi kognitif menunjukkan bahwa setiap kali beralih tugas, kita membayar mahar mental yang tak sedikit, membutuhkan waktu hingga 23 menit untuk kembali fokus sepenuhnya. Akumulasi dari peralihan mikro ini menguras energi mental, menyebabkan kelelahan dan kabut otak. Kemampuan kita untuk berpikir mendalam dan berkontemplasi secara sistematis terkikis oleh fragmentasi atensi yang terus-menerus, menjebak kita dalam apa yang oleh Zygmunt Bauman (2000) sebut sebagai liquid modernity—semuanya serba dangkal, cair, dan cepat berlalu.

Secara psikologis, candu gulir juga mengeksploitasi bias kognitif kita. Efek Zeigarnik menjelaskan bahwa kita cenderung lebih mengingat tugas yang belum selesai. Karena guliran tak berujung tidak memiliki titik henti yang jelas, ia menciptakan sensasi tugas yang perpetually tak tuntas, membuatnya sulit secara psikologis untuk dihentikan. Lebih dalam lagi, layar yang menyala menjadi tabir yang nyaman untuk bersembunyi dari kegelisahan eksistensial—ketakutan akan kebosanan, kesendirian, dan konfrontasi dengan kekosongan batin. Riuh rendah konten digital menjadi musik latar yang efektif untuk menenggelamkan bisikan-bisikan jiwa yang menuntut untuk didengar. Kita lebih memilih mengonsumsi citra kehidupan orang lain yang telah dikurasi dengan indah daripada merawat taman di dalam diri yang mungkin sedang meranggas.

Kondisi ini sering kali menggiring kita pada apa yang disebut Sherry Turkle (2011) sebagai alone together—merasa sendirian di tengah keramaian digital. Namun, di tengah epidemi distraksi ini, ada sebuah vaksin kuno: menulis. Jika menggulir adalah konsumsi pasif yang membanjiri otak dengan dopamin sesaat, menulis adalah sebuah pendakian aktif. Prosesnya mungkin sulit pada awalnya, tetapi hadiah yang datang saat tulisan rampung adalah kepuasan mendalam yang langgeng. Ini adalah kondisi flow yang dideskripsikan oleh Mihaly Csikszentmihalyi (1990), sebuah keselarasan antara pikiran dan tantangan yang menghasilkan kesejahteraan jiwa sejati.

Melepaskan diri dari candu gulir bukanlah tentang demonisasi teknologi, melainkan tentang merebut kembali kedaulatan kognitif kita. Menulis adalah bentuk perlawanan paling fundamental. Saat menulis, kita adalah sutradara, bukan lagi konsumen pasif. Kita menentukan kata, menyusun argumen, dan membentuk alur. Ini adalah meditasi aktif yang membutuhkan keheningan untuk berdialog dengan gagasan dalam diri. Ini adalah perjuangan untuk melakukan tindakan radikal di era digital: memilih penciptaan daripada sekadar konsumsi.

Akhirul kalam, kita dihadapkan pada sebuah pilihan fundamental: terus menjadi penumpang (konsumen pasif) dalam arus informasi yang dirancang untuk memanen perhatian kita, atau mengambil pena (menjadi kurator) yang sadar atas lanskap mental kita sendiri dan menjadi tuan atas narasi kita sendiri, menyelam ke dalam samudra kesadaran yang jauh lebih dalam dan tak terbatas. Seperti yang diingatkan oleh Pramoedya Ananta Toer (1995), “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah.” Jangan hanya menjadi penikmat sejarah digital; tulislah sejarahmu sendiri.

Tabik.

0/Berikan Kritik - Saran/Comments