![]() |
Ilustrasi |
Pernahkah kita merenung, di tengah hiruk-pikuk krisis iklim
dan degradasi lingkungan yang semakin nyata, apakah ada solusi yang lebih dalam
dari sekadar kebijakan atau teknologi? Banjir, kekeringan, dan polusi seolah
menjadi pengingat pahit bahwa hubungan kita dengan alam telah retak. Namun, di
balik awan kelabu ini, muncul secercah harapan dari sebuah konsep yang mungkin
terdengar asing namun sejatinya sangat akrab dengan jiwa bangsa kita:
Ekoteologi.
Ekoteologi adalah jembatan yang menghubungkan iman dan
kepedulian mendalam terhadap lingkungan. Ini bukan sekadar teori akademis,
melainkan sebuah kesadaran esensial bahwa alam semesta adalah ciptaan ilahi
yang menuntut tanggung jawab pemeliharaan dari manusia. Dalam pandangan ini,
menjaga bumi bukan hanya kewajiban sipil, melainkan juga bentuk ibadah dan
pengabdian spiritual.
Iman yang Hidup di Tanah Air Kita
Di Indonesia, gagasan ini berakar kuat dalam berbagai
tradisi keagamaan dan kearifan lokal. Dalam Islam, konsep khalifah
menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, dengan amanah untuk menjaga
dan memakmurkan ciptaan-Nya, bukan merusaknya (fasad). Al-Qur'an dan
Hadis sarat dengan perintah untuk memelihara keseimbangan alam. Begitu pula
dalam Kristen, alam dipandang sebagai ciptaan yang ada untuk kemuliaan Tuhan,
dan merawatnya adalah bentuk pelayanan kepada Sang Pencipta.
Namun, kekuatan ekoteologi di Indonesia tak hanya berhenti
pada teks suci. Ia hidup dan bernapas dalam kearifan lokal yang telah teruji
zaman. Ambil contoh masyarakat Baduy dengan tradisi Seba Baduy, di mana
penyerahan hasil bumi menjadi simbol nyata hubungan harmonis antara manusia,
alam, dan pemimpin. Ini adalah komitmen yang diwariskan turun-temurun untuk
menjaga kelestarian lingkungan dan adat istiadat.
Di Kalimantan Timur, masyarakat adat Dayak Wehea adalah
benteng terakhir hutan tropis. Mereka tak hanya berpatroli mencegah penebangan
liar, tetapi juga mengedukasi generasi muda tentang hutan sebagai warisan
leluhur dan sumber kehidupan. Berkat mereka, Hutan Wehea tetap lestari,
menyediakan air bersih dan keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Contoh lain
adalah masyarakat Desa Pandansari di Brebes yang memandang Telaga Ranjeng
sebagai karunia suci, melarang pengambilan ikan dan menjaga kebersihan dengan
sanksi adat. Demikian pula ritual barong wae masyarakat Manggarai di
Flores yang mencerminkan etika kuat dalam menjaga lingkungan air.
Kearifan-kearifan ini membuktikan bahwa pengetahuan tradisional adalah solusi
relevan untuk tantangan lingkungan modern.
Dari Mimbar ke Aksi Nyata
Ekoteologi juga telah menginspirasi gerakan-gerakan modern
yang masif. Kementerian Agama (Kemenag) secara resmi menjadikan ekoteologi
sebagai program prioritas. Mereka meluncurkan gerakan penanaman 1 juta pohon
Matoa di seluruh unit kerja, dari KUA hingga lembaga pendidikan keagamaan.
Bahkan, calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (CPPPK) diwajibkan
menanam pohon sebelum pelantikan—sebuah simbol komitmen yang kuat. Masjid dan
KUA kini didorong menjadi pusat edukasi ekologis melalui program Eco-Masjid dan
Green KUA, mengintegrasikan dakwah lingkungan dalam setiap layanan keagamaan.
Tak kalah penting adalah peran pesantren. Program
Eco-Pesantren telah berhasil membentuk generasi muda yang peduli lingkungan,
didukung nilai-nilai Islam dan spiritualitas mendalam. Mereka menerapkan
pengelolaan sampah 3R, energi terbarukan, penghijauan, hingga pembangunan sumur
biopori. Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga pusat
pembelajaran lingkungan yang menginspirasi.
Di luar institusi formal, komunitas akar rumput juga
bergerak. "Bye Bye Plastic Bag" di Bali, misalnya, tak hanya
membersihkan lingkungan tetapi juga menginspirasi masyarakat luas untuk
mengurangi limbah plastik, berkontribusi pada visi kota hijau. Inisiatif REACT (Religious
Environmentalism Action) juga menyatukan aktivis lintas agama untuk
mendesak pemerintah agar lebih serius menangani krisis lingkungan, menunjukkan
bahwa kelompok agama adalah kekuatan terbesar untuk perubahan.
Membangun Peradaban Hijau Berbasis Iman
Kekuatan ekoteologi terletak pada kemampuannya mengubah
norma dan nilai budaya. Dengan membingkai tindakan lingkungan sebagai bagian
dari ibadah atau kepatuhan tradisi suci, ekoteologi mengangkatnya dari sekadar
kewajiban sipil menjadi nilai yang diinternalisasi dan wajib secara moral.
Menanam pohon bisa menjadi doa, memungut sampah adalah pujian, dan menghemat
air/listrik adalah bentuk puasa. Ini menumbuhkan "budaya hijau" di
mana pengelolaan lingkungan menjadi komponen intrinsik dari identitas individu
dan komunitas.
Tentu, tantangan masih ada, seperti adaptasi ajaran
tradisional dengan isu kontemporer atau keterbatasan sumber daya. Namun,
peluang kolaborasi lintas sektor dan agama sangat besar. Pengarusutamaan isu
lingkungan berbasis iman, peran institusi pendidikan keagamaan, dan pemanfaatan
kearifan lokal adalah kunci.
Ekoteologi bukan sekadar respons reaktif terhadap krisis,
melainkan visi proaktif untuk membangun peradaban yang berkelanjutan dan adil.
Ini adalah panggilan untuk mendefinisikan kembali kemajuan manusia dalam
harmoni dengan alam, berakar pada prinsip-prinsip spiritual. Ketika iman
bertemu aksi nyata, kita tidak hanya menyelamatkan planet, tetapi juga
menemukan kembali makna sejati dari keberadaan kita sebagai penjaga titipan
ilahi ini. Mari bergerak bersama, karena cinta alam adalah cinta kehidupan itu
sendiri. (*)
Posting Komentar