![]() |
Image by iStock |
Jean-Jacques Rousseau, melalui risalahnya yang revolusioner, "Emile, or On Education", menyajikan sebuah premis yang mendalam: bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan baik, tetapi dirusak oleh masyarakat.
Bagi Rousseau, tugas pendidikan bukanlah untuk memaksakan pengetahuan eksternal yang dapat mencemari kebaikan bawaan ini, melainkan untuk melindunginya, membiarkan alam menjadi guru sejati. Mengkontemplasikan pemikiran ini di tengah dinamika pendidikan Indonesia saat ini, kita menemukan resonansi sekaligus ketegangan yang menggugah. Pendidikan kita, secara filosofis, sering kali terperangkap di antara idealisme Rousseau dan realitas pragmatis.
Rousseau menolak keras pendidikan yang berpusat pada hafalan, buku, dan kurikulum kaku, yang ia sebut sebagai "pendidikan negatif". Ia berpendapat bahwa metode ini hanya mengisi pikiran anak dengan ide-ide orang lain tanpa menumbuhkan pemahaman sejati atau penilaian mandiri. Pandangan ini menampar keras sistem pendidikan kita yang, selama beberapa dekade, terlalu mengagungkan nilai-nilai akademis dan ujian nasional sebagai tolok ukur kesuksesan.
Anak-anak didorong untuk menghafal fakta, bukan untuk memahami konsep. Kurikulum yang padat sering kali menempatkan mereka dalam perlombaan untuk mengejar materi, mengabaikan eksplorasi diri dan kecurigaan alami yang menjadi fondasi pertumbuhan sejati. Akibatnya, alih-alih menjadi individu yang merdeka dalam berpikir, mereka cenderung menjadi replika yang seragam dari sistem.
Namun, pemikiran Rousseau juga memberikan harapan. Konsepnya tentang pembelajaran eksperiensial, di mana anak belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungan dan konsekuensi alami dari tindakan mereka, semakin relevan. Kurikulum terbaru di Indonesia, dengan penekanan pada pembelajaran berbasis proyek dan pendidikan karakter atau paling mutakhir ramai diperbincangkan soal deep learning, mulai menggeser fokus dari kelas yang berpusat pada guru menjadi lingkungan yang memfasilitasi penemuan.
Guru tidak lagi hanya menjadi penyampai informasi, tetapi sebagai "pengatur pengalaman" yang membimbing siswa secara halus, seperti yang diidealkan oleh Rousseau. Ini adalah langkah berani untuk mengembalikan esensi pendidikan ke akarnya: menumbuhkan individu yang tangguh, adaptif, dan mandiri, bukan sekadar lulusan yang kompeten secara akademis.
Pada akhirnya, refleksi terpenting dari Emile adalah ketegangan abadi antara membentuk "manusia alami" yang otonom dan "warga negara" yang berintegrasi dalam masyarakat. Pendidikan Indonesia berjuang untuk menyeimbangkan dua tujuan ini: menciptakan individu yang inovatif dan kritis, sekaligus warga negara yang patuh dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan budaya lokal.
Ide Rousseau tidak menawarkan jawaban yang mudah, tetapi ia memaksa kita untuk terus bertanya: apakah kita mendidik untuk membebaskan, atau untuk mengikatnya/memenjarakannya pada tuntutan pasar atau penjara tradisi? Ini adalah pertanyaan filosofis yang harus terus kita renungkan, karena di dalamnya terletak nasib pendidikan bangsa.
Bagaimana Jika Emile Hadir di Indonesia?
Bagaimana jadinya jika Emile, murid imajiner Jean-Jacques Rousseau, lahir dan tumbuh di Indonesia? Bukan di pedesaan Prancis yang damai, melainkan di tengah riuhnya perkotaan Jakarta atau sejuknya perbukitan di Tanggamus, Lampung, di mana alam masih bisa ditemui di sela-sela kepadatan.
Emile, yang menurut Rousseau dilahirkan baik dan suci, akan menghadapi tantangan unik. Tugas pendidiknya, di negara ini, tidak hanya melindungi kebaikan alamiahnya dari pengaruh masyarakat yang korup, tetapi juga menavigasi sistem yang cenderung seragam dan berorientasi pada hasil.
Di Indonesia, Emile akan dihadapkan pada kurikulum yang padat, jadwal yang ketat, dan ekspektasi sosial yang menuntutnya untuk unggul secara akademis. Ia mungkin akan merasa tertekan oleh teman-temannya yang sibuk les tambahan dan mengejar nilai sempurna.
Dalam pandangan Rousseau, tekanan ini adalah bentuk pendidikan "negatif" yang sebenarnya: paksaan yang mengisi pikirannya dengan fakta-fakta tanpa pemahaman, membuatnya menjadi replika yang sama dari jutaan siswa lainnya. Namun, pendidiknya, mengikuti cetak biru Rousseau, akan memilih jalan lain. Ia tidak akan memaksakan buku atau hafalan, tetapi membiarkan Emile belajar melalui pengalaman langsung.
Pendidikan Emile versi Indonesia akan dimulai di alam bebas. Alih-alih belajar botani dari buku, ia akan menjelajahi kebun, mengamati siklus hidup tanaman, dan memahami ekosistem melalui sentuhan dan pengamatan. Alih-alih mengerjakan soal matematika di kelas, ia akan menghitung panen di sawah atau menghitung volume air hujan yang tertampung di ember.
Guru-gurunya tidak akan menjadi "penyampai pengetahuan," tetapi "pengatur pengalaman" yang bijaksana, yang membiarkan Emile membuat kesalahan dan belajar dari konsekuensi alami. Emile akan belajar tentang gotong-royong bukan dari pelajaran kewarganegaraan, melainkan dengan membantu tetangga membangun rumah atau membersihkan selokan. Ia akan memahami empati dengan melihat langsung kesulitan orang lain di sekitarnya.
Namun, di sinilah ketegangan filosofis Rousseau menjadi nyata. Bagaimana Emile, "manusia alami" yang terbentuk secara otonom, akan berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang menuntutnya menjadi "warga negara" yang patuh, menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai kolektif seperti Pancasila?
Pendidikan Emile akan mengajarkan kemandirian dan pemikiran kritis, tetapi masyarakat Indonesia juga membutuhkan individu yang mampu berkolaborasi dan menghormati hierarki sosial.
Sosok Emile di Indonesia akan menjadi cerminan dari dilema abadi ini: antara membebaskan jiwa anak-anak untuk menjadi diri mereka sendiri, dan mengikat mereka pada tuntutan masyarakat untuk menjaga harmoni. Menghadirkan sosok Emile di tengah kita memaksa kita untuk merenungkan, sudahkah kita menemukan keseimbangan itu?
Posting Komentar