Epitaf Lara Seorang Marni

 

Ilustrasi (Sumber Foto: Kompas)

Tubuh Marni adalah peta kusut janji-janji yang tak pernah ditepati. Bukan garis tangan keberuntungan, tapi guratan nasib yang dicetak paksa. Setiap lekuk di pahanya yang dulu padat—kini lembek, tak lagi menantang—adalah arsip malam-malam tanpa bintang di penginapan murahan pinggir kali. Aroma kembang melati? Sudah lama lenyap, kalah telak oleh bau asap kretek dan sisa bir.
Marni pernah bermimpi tentang sanggul tinggi dan jari penuh cincin emas. Mimpi yang kini terasa seperti lelucon pahit, bahkan untuk dirinya sendiri. Nyatanya, ia selalu lunglai tiap subuh, sehabis menjual tawa palsu dan pelukan dingin. Ia adalah epitaf berjalan dari sebuah harapan yang mati suri, ditulis di atas lembaran daging yang perlahan melayu.
Hidup Marni, katanya, adalah sungai yang tak pernah sampai laut. Bermula dari hulu yang bening entah di desa mana, mengalir melewati parit-parit kota yang bau, berakhir entah di mana. Mungkin di comberan raksasa, tempat segala kotoran kota bermuara.
Suaminya? Sepotong bayangan yang lenyap di balik pintu rel kereta api, membawa serta sisa-sisa harapan Marni dan dompet yang tak pernah cukup isinya. Kata orang, ia lari dengan perempuan lain. Marni tak peduli. Ia sudah mati rasa. Suara tawa sumbangnya lebih sering terdengar daripada isaknya yang sunyi.
Ia pernah punya anak. Seharusnya. Bocah laki-laki dengan mata mirip dirinya, kata ibunya. Marni tak ingat jelas. Hanya perut membuncit, rasa mual di pagi hari, dan janji manis dari entah siapa. Anak itu, ia titipkan pada angin, pada sungai. Agar tak melihat ibunya yang bau anyir dosa. Atau, biar ia tak terjerat dalam lumpur yang sama. Bayangan anak kecil itu sering berlarian di sudut matanya, terutama saat malam sepi, setelah ia mencuci muka dari sisa bedak tebal. Marni akan bergidik, buru-buru menyalakan rokoknya. Asap mengepul, menelan bayangan itu, sejenak.
***
Malam itu, gerimis turun. Bukan hujan yang membersihkan, tapi tetesan yang menambah kotor jalanan Kota Bandar Lampung. Lampu neon warung remang-remang menumpahkan kuning busuk ke aspal basah, memantulkan ingatan yang buram. Marni duduk di bangku kayu reyot, kakinya bengkak, matanya menatap kosong ke sungai yang memantulkan kerlip kota. Airnya hitam pekat, beriak lambat, membawa sampah dan rahasia yang tak terucap. Aroma busuk dari sungai yang mengalir di belakang penginapan, bercampur dengan bau alkohol dan desah tawa yang dipaksakan, adalah melodi latar bagi setiap malamnya.
Seorang lelaki datang. Rendra. Tubuhnya tinggi, bau parfum mahal yang menipu. Tapi matanya dingin seperti mata buaya yang mengintai mangsa. Ia sering ke sana. Memesan bir. Memandangi Marni dengan tatapan yang membuat Marni ingin memuntahkan isi perutnya. Seorang pejabat kecil, katanya. Dengan mobil mengilap dan suara berat yang terbiasa memberi perintah.
Ia punya koneksi, bisik-bisik burung di sana-sini, koneksi yang menjalar hingga ke Ayah Arya Sentanu, politikus yang senyumnya di baliho-baliho besar adalah seringai menjijikkan dari kekuasaan. Sebuah jaringan yang membuat hukum di negeri ini sekadar hiasan.
"Malam, Mar," suaranya serak.
Ia duduk di samping Marni, terlalu dekat. Napasnya bau bir, bercampur nafsu. Marni hanya mengangguk. Terlalu lelah untuk berpura-pura.
"Sepi?" Rendra menyulut rokok. Asap mengepul, menari-nari seperti arwah-arwah penasaran sebelum lenyap di udara lembap.
"Seperti biasa," jawab Marni, suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Rendra terkekeh, tawa yang tak ada lucunya. Tangan besarnya merayap di paha Marni. Marni menepisnya. Lemah. Rendra tak peduli. Tangannya naik, menjambak rambut Marni yang basah.
"Jangan sok jual mahal, pelacur." Suaranya bukan lagi serak, tapi seperti geraman binatang yang lapar.
Marni tak melawan. Tubuhnya sudah hapal pola ini. Cengkeraman, makian, dan rasa jijik yang mengumpul di ulu hatinya. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan gerimis menyapu wajahnya yang keriput.
Di kejauhan, sirine ambulans meraung, membelah malam. Entah untuk siapa. Marni berharap untuk dirinya sendiri. Agar semua ini berakhir.
Ia pernah mendengar bisik-bisik, dari warung sebelah atau tukang parkir. Bisik-bisik tentang seorang gadis bernama Larasati, yang nasibnya berakhir di KM Nol, di tangan seorang pemuda bernama Arya Sentanu. Nama Arya, gumpalan lumpur yang melekat di lidah, meninggalkan rasa pahit setiap kali disebut.
Larasati, yang kini hanya menjadi sebuah nama di berita, adalah korban lain dari kekebalan Arya, yang konon diwarisi dari ayahnya, seorang dalang Senayan yang lihai memainkan wayang di panggung kaca. Mereka berdua, Arya dan ayahnya, adalah perwujudan menjijikkan dari setiap akar busuk yang merayap di bawah fondasi kekuasaan, setiap bisikan gelap yang terukir di meja mahoni, berbau pengkhianatan yang membusuk.
Marni tak mengenal Larasati, tapi ceritanya berulang seperti lagu lama yang menyayat, seolah menjadi cermin suram bagi setiap perempuan yang terperangkap dalam genggaman kekuasaan dan nafsu bejat.
***
Rendra menarik Marni berdiri. Memaksanya masuk mobilnya yang mewah. Marni tak bersuara. Ia seperti boneka kain yang bisa ditarik ke mana saja. Aroma kulit jok mobil yang mahal berpadu dengan parfum Rendra yang menusuk hidung. Marni merasa mual. Ia menatap ke luar jendela. Pohon-pohon melesat cepat, menjadi siluet hitam di tengah kegelapan, seolah ikut berlari dari nasib yang sama.
Di sebuah gubuk kecil di pinggir hutan kota, tempat Rendra biasa "menghibur diri", kekerasan itu terjadi lagi. Kali ini lebih brutal. Marni tak tahu berapa kali ia dipukul. Berapa kali tendangan menghantam perutnya. Makian "pelacur" dan "sampah" bergema di telinganya, menari-nari dalam otaknya yang kacau. Darah mengalir dari hidung, membasahi bibirnya. Rasanya asin, seperti air mata yang tak sempat ia keluarkan. Atau mungkin, itu memang air mata yang mengering di dalam.
Ia hanya bisa mengerang, berharap Rendra segera selesai. Berharap ia pingsan. Atau mati. Apa pun, asal rasa sakit ini berhenti. Ia melihat langit-langit gubuk, remang-remang, penuh sarang laba-laba. Seperti hidupnya. Terjebak. Terkunci.
"Kau tahu, Marni?" Suara Rendra tiba-tiba terdengar dekat, berat. "Kau mengingatkanku pada istriku." Rendra terkekeh, tawa yang tak ada lucunya, tawa yang membunuh. "Sama-sama jalang." Lalu sebuah pukulan terakhir menghantam pipi Marni. Membuatnya terpelanting ke lantai. Gelap. Gelap yang abadi.
***
Pagi hari. Matahari mengintip dari balik pepohonan. Marni tergeletak di tanah, di luar gubuk. Tubuhnya dingin. Kaku. Seperti gumpalan sampah yang dibuang sembarangan. Di sekitarnya, daun-daun kering berguguran, menutupi sebagian tubuhnya yang ringkih, seolah alam pun ingin menyembunyikan kebejatan ini.
Seorang pemulung yang lewat menemukan Marni. Awalnya ia mengira gumpalan kain. Tapi ketika dilihat lebih dekat, ia terlonjak. Berteriak. Suaranya memecah kesunyian hutan, tapi tak akan pernah menembus dinding tebal ketidakpedulian.
Berita Marni mati menyebar cepat di antara para penghuni penginapan dan warung remang-remang. "Marni mati," bisik mereka. Ada yang terkejut, ada yang acuh tak acuh. Ada yang merasa lega. Satu "saingan" berkurang. Atau satu "aib" yang tak lagi perlu disembunyikan.
Polisi datang. Seperti biasa. Mencatat. Mengambil foto. Rendra, dengan seragam dinasnya yang rapi, ikut melayat. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Memberikan ucapan belasungkawa pada pemilik penginapan. "Kasihan sekali, ya. Semoga tenang di sana." Tak ada yang curiga. Ia terlalu bersih. Terlalu penting. Bagaimana pun, Rendra adalah bagian dari jaringan kotor yang sama, jaringan yang dibangun oleh Ayah Arya Sentanu, yang mampu membuat hukum seperti boneka yang bisa dimainkan, dan keadilan sebagai lelucon yang tak pernah lucu.
Laporan resmi menyebut Marni meninggal karena "komplikasi penyakit yang tak terdeteksi". Atau "jatuh terpeleset". Atau "serangan jantung mendadak". Entahlah. Tak ada yang peduli. Marni hanyalah satu nama lagi dalam daftar panjang perempuan yang mati tanpa suara. Tanpa keadilan. Hanya asap yang menguap di atas sungai yang keruh. Ia bukan yang pertama, ia juga bukan yang terakhir.
***
Beberapa bulan kemudian. Rendra naik jabatan. Mobilnya semakin mengilap. Istrinya memakai perhiasan baru. Di sebuah pesta mewah, Rendra tertawa terbahak-bahak, bercerita tentang proyek baru yang sukses besar. Ia minum sampanye, matanya bersinar. Dunia berputar dalam lingkaran setan yang sama.
Dan cerita Larasati. Yang dimuat di koran, yang menjadi topik hangat di media sosial selama beberapa minggu. Nama Arya Sentanu sempat disebut-sebut, seorang anak politikus yang ayahnya, si dalang Senayan, pandai sekali memainkan panggung hukum. Hukum yang seharusnya buta, di tangan mereka menjadi buta, tuli, dan bisu karena bisikan uang yang mengalir deras, mungkin dari urat nadi negeri yang dikeringkan. Arya memiliki jubah impunitas yang menjijikkan, ditenun dari benang-benang tak terlihat, benang kekuasaan dan korupsi. Dia, bersama ayahnya, adalah perwujudan menjijikkan dari setiap akar busuk yang merayap di bawah fondasi kekuasaan, setiap bisikan gelap yang terukir di meja mahoni, berbau pengkhianatan yang membusuk. Mereka adalah wajah busuk negeri ini yang mempermainkan hukum dan perempuan seolah mereka adalah mainan belaka, barang pakai yang bisa dibuang kapan saja.
Meski sempat ada gelombang kemarahan publik, bisikan uang dan kekuasaan terlalu kuat. Keadilan datang, tapi seolah hanya main-main, mengusap luka tanpa menyembuhkan. Hukuman yang dijatuhkan pada Arya terasa tak sepadan dengan nyawa yang direnggut.
Larasati dan Marni, dua nama yang tak saling kenal, tapi nasib mereka terikat dalam benang merah yang sama: ketidakadilan dan impunitas yang lahir dari kelakuan bejat para penguasa dan anak-anaknya yang tak pernah tersentuh.
***
Di sudut kota, di dekat sungai yang masih mengalirkan sampah, seorang gadis muda baru saja tiba. Matanya polos, memancarkan harapan. Ia mencari kerja. Menjual suara. Lalu mungkin tubuhnya. Ia tak tahu, bahwa di dasar sungai itu, ada banyak sekali cerita yang tak pernah terungkap. Banyak sekali asap yang terus mengepul dari dasar. Dan di setiap sudut kota, di setiap penginapan, di setiap KM Nol, selalu ada perempuan yang menunggu giliran untuk menjadi sekadar asap di atas sungai.
Gadis muda itu, dengan mata polosnya, tanpa sadar melangkah masuk ke penginapan remang-remang yang dulunya menjadi tempat terakhir Marni bekerja. Ia melihat pemilik warung tersenyum ramah, menawarkan segelas teh hangat. Di dinding yang pudar, ada foto seorang perempuan dengan senyum samar, foto lama yang nyaris tak terlihat. Itu foto Marni, yang tak pernah sempat diambil kembali oleh keluarganya. Gadis itu tidak tahu, bahwa bayangan yang ia pijak adalah jejak kaki Marni, dan ia, tanpa sadar, sedang berjalan menuju muara yang sama. Aroma rokok dan bir di udara terasa akrab. Ia hanya menghela napas, bersiap untuk malam pertamanya di sana, di tempat yang menjanjikan uang, tapi mungkin akan merenggut lebih dari itu. (*)

0/Berikan Kritik - Saran/Comments