Kota ini selalu terasa seperti meja bar yang lengket. Bau bir basi, percakapan setengah dibisikkan, dan tawa yang terdengar terlalu keras untuk sesuatu yang sebenarnya hambar. Dari meja pojok kafe ini, aku melihat lampu-lampu kuning di luar berpendar seperti kunang-kunang yang tersesat. Sisa busanya mengendap di bibir gelas—bir kesembilan malam ini—dan rasanya sama saja seperti bir pertama: pahit, agak getir di ujung lidah, tapi tetap kuteguk.
Pelayan yang mengantarkan gelas hanya mengangguk. Dia tahu aku akan duduk di sini lama. Telingaku setengah mendengarkan lagu lawas dari speaker tua, setengah mendengar percakapan di meja sebelah. Dua pria paruh baya membicarakan seorang perempuan yang “akhirnya mundur”. Suara mereka datar, tapi matanya—aku lihat dari pantulan kaca jendela—menyala seperti orang yang baru saja menyaksikan drama langsung dari kursi terdepan.
“Katanya, gara-gara nggak pernah diajak rapat,” ujar yang berkemeja kotak-kotak, sambil menusuk-nusuk kentang goreng dengan garpu plastik.
“Ah, itu alasan halus,” sahut yang satunya, meneguk kopi hitam. “Pasti karena nggak dapat jatah proyek. Biasa.”
"Atau karena kedua suami mereka sedang seteru?"
Mereka tertawa pendek, seperti orang yang tahu rahasia tapi tak punya niat membocorkannya—setidaknya bukan malam ini. Nama-nama disebut. Istri wali kota. Istri wakil wali kota. Dua nama yang di papan reklame selalu disandingkan di foto-foto acara resmi, tersenyum bersama. Tapi semua orang tahu, senyum di foto hanyalah sumpah damai sementara.
Kota ini memang kecil. Semua orang seperti punya akses ke koridor kekuasaan, meski hanya lewat gosip. Hari ini, kabarnya, kursi wakil ketua sebuah organisasi bergengsi kosong. Alasannya? “Tidak pernah dilibatkan.” Sebuah frasa yang terdengar sopan, padahal aku membayangkan ada meja rapat dengan dua perempuan duduk di ujung berlawanan, saling mengukur dengan senyum yang tak sampai ke mata.
Bir kesepuluh datang, dan aku ingat pertemuan pertama kami. Bertahun-tahun sebelum kursi itu jadi rebutan, aku mengenalnya di acara seni kecil di tepi sungai. Airnya cokelat tua, memantulkan lampu jalan seperti serpihan kuning di atas kopi pahit. Di panggung papan bekas, ia membaca puisi tentang kota yang lupa pada anak-anaknya. Suaranya seperti jarum yang menusuk pelan—tak nyaring, tak bergetar, tapi langsung ke kulit.
Setelah ia turun, aku menyodorkan segelas air mineral. “Bagus. Meski mereka pura-pura tak peduli,” kataku. Kami berjalan kaki pulang malam itu. Ia bercerita tentang ayahnya yang mantan pegawai kecamatan, ibunya yang menjahit sampai larut malam. Tentang mimpinya punya ruang publik yang tak cuma jadi latar foto pejabat. Aku percaya padanya. Percaya betul.
Beberapa tahun kemudian, aku melihatnya duduk di kursi VIP peresmian gedung, di samping pria berjas biru muda. Tertawanya lain—bukan lagi bel pintu toko tua yang lembut, tapi seperti pita yang dipotong gunting: tajam, cepat, seremonial. Kami jarang bertemu sejak itu. Kini, di kafe ini, semua kenangan itu memutar seperti kaset lama yang serak. Ia masih sama: masih menginginkan panggung, hanya saja saingannya lebih berpengaruh. Aku membayangkan rapat-rapat rahasia: ruangan AC terlalu dingin, meja panjang taplak putih, suara-suara menusuk di bawah bisik. Istri wali kota di ujung satu, istri wakil wali kota di ujung lain. Di atas meja ada tumpukan berkas, di bawah meja kaki mereka saling menginjak.
Bir kesebelas datang, dan aku menarik ponsel dari saku. Mataku menelusuri berita-berita lama. Judul-judul kering tentang acara, peresmian, penghargaan. Aku mengetik namanya di kolom pencarian. Di tengah foto-foto resmi yang dipaksakan, aku menemukan satu foto yang diunggah seorang wartawan amatir. Foto itu diambil dari sudut yang berbeda, di balik panggung. Aku melihatnya sedang berbicara dengan seorang ajudan dengan ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya—bukan senyum seremonial, tapi sebuah seringai tipis, penuh perhitungan. Sebuah seringai yang mengatakan, “Kamu tak akan menang melawanku.”
Seketika, semua ilusi tentang dirinya runtuh. Ia bukan lagi perempuan yang membaca puisi tentang kota, melainkan salah satu dari mereka. Ia bukan korban dari pertarungan kekuasaan, tetapi pemain yang kalah. Bukan karena tidak dilibatkan, melainkan karena permainannya kurang rapi.
Bir keduabelas datang, tapi aku hanya menatapnya. Rasa pahit yang sama kini menempel di tenggorokanku, bukan dari bir, tapi dari kenangan yang berbalik menjadi racun. Seorang perempuan muda masuk, basah kuyup, duduk dekat pintu, menulis di buku catatan. Mungkin wartawan magang, mungkin staf humas. Aku bertanya-tanya apakah beberapa tahun lagi ia akan tersenyum di panggung, menyembunyikan dendam di balik lipstik merahnya.
Di luar, hujan terdengar seperti tawa yang dipaksa. Aku berdiri, meninggalkan bir kedua belas tak tersentuh. Aku tidak kembali besok, atau lusa, atau kapan pun. Cahaya kuning di kafe itu kini terasa seperti jebakan. Aku sudah terlalu lama mengumpulkan pantulan cahaya yang ternyata tak pernah ada.
Posting Komentar