Ilustrasi Kesetiaan |
Pernahkah kita berhenti sejenak untuk merenung, di manakah sejatinya letak kenikmatan hidup? Apakah ia sebuah puncak yang dicapai dengan cepat, ataukah justru terletak pada seluruh perjalanan menuju puncak itu? Pertanyaan serupa, ironisnya, bisa kita ajukan dari sebuah fenomena yang tampak sepele: mengapa seseorang bersusah payah mencari dan mengonsumsi obat kuat agar dapat bertahan lebih lama saat berhubungan intim? Bukankah puncak dari kenikmatan seksual adalah orgasme atau ejakulasi itu sendiri?
Analogi ini, meski terkesan vulgar, justru menawarkan dua pelajaran esensial tentang hakikat kehidupan yang sering kita abaikan. Pelajaran pertama, proses yang panjang dan berliku jauh lebih mengasyikkan daripada tiba di tujuan secara instan. Puncak yang dicapai dengan terlalu cepat, seperti "peltu" (nempel metu) atau ejakulasi dini, seringkali tidak terasa nikmat, bahkan meninggalkan rasa lemas dan penyesalan. Ini adalah cermin kehidupan; kesuksesan yang diraih secara instan—entah melalui jalan pintas, suap, atau cara-cara curang lainnya—seringkali hampa. Ia tidak memberi makna dan tidak membangun karakter. Kenikmatan sejati justru tersembunyi di setiap langkah pendakian: dalam semangat yang terus dipompa, kesabaran yang ditata, mimpi yang dirawat, dan optimisme yang dijaga.
Kepuasan Bersama sebagai Tolak Ukur Harga Diri
Pelajaran kedua dari analogi ini jauh lebih mendalam: harga diri kita sangat bergantung pada kepuasan orang lain. Dalam konteks hubungan intim, kegagalan dalam memuaskan pasangan terasa sebagai kehinaan, meruntuhkan harga diri, bahkan jika kita sendiri berhasil mencapai orgasme. Ini mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk sosial; kenikmatan kita tidak pernah berdiri sendiri. Lantas, mengapa dalam kehidupan nyata, kita sering berperilaku paradoks? Kita berambisi meraih kesuksesan pribadi, tetapi abai terhadap kepuasan dan kebahagiaan orang lain. Kita merasa "gagah" dan "kaya" dengan hunian mewah dan tembok kokoh yang secara sadar atau tidak, justru memenjarakan kita dalam keterasingan dari lingkungan.
Seorang kaya pernah saya tanya, “Apakah suatu saat anakmu akan menikah, dan kamu ingin pestanya dihadiri banyak orang? Tentu saja. Apakah kamu sadar bahwa suatu saat kamu akan mati? Dan pernahkah kamu membayangkan betapa bahagianya kamu jika dilayat dan diantar ke pemakaman oleh banyak orang?” Jawaban "iya" dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah pengakuan atas kodrat kita sebagai makhluk sosial. Sekaya dan sehebat apa pun kita, kita tetap memiliki ketergantungan pada orang lain. Keberadaan kita baru terasa utuh saat kita bisa memberi makna bagi lingkungan. Kesuksesan sejati tidak diukur dari apa yang kita miliki, tetapi dari seberapa besar manfaat yang bisa kita tularkan kepada orang lain.
Hidup Bermakna: Menjauhi Kenikmatan Semu
Maka, kembali pada hikmah obat kuat, kenikmatan hidup bukanlah hasil akhir yang instan. Hasil adalah konsekuensi pasti dari ikhtiar. Kenikmatan sesungguhnya adalah seluruh rangkaian proses itu, bagaimana kita membangun jiwa, menata kesabaran, dan memelihara mimpi. Lebih dari itu, kenikmatan hidup tidak boleh mengabaikan lingkungan sosial. Sebagaimana kita tak boleh abai terhadap pasangan saat hendak mencapai puncak, kita pun tak akan pernah disebut sukses jika kenikmatan itu hanya dinikmati sendiri dan keluarga.
Hidup instan dan mengabaikan orang lain bukanlah perilaku yang normal, melainkan sebuah bentuk kemiskinan yang tersembunyi. Ia adalah tindakan yang meruntuhkan harga diri, mengerdilkan makna, dan menjauhkan kita dari hakikat kenikmatan sejati. Sebab, kenikmatan tertinggi bukanlah pencapaian pribadi, melainkan perjalanan panjang yang ditempuh bersama, menuju puncak yang kita bangun bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kebahagiaan orang lain.
Posting Komentar