Ada dua hal yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia:
kuasa dan agama. Keduanya lahir dari kebutuhan dasar manusia, tetapi keduanya
juga menyimpan potensi untuk menjerat kebebasan dan melanggengkan ketakutan.
Kuasa lahir dari dorongan untuk mengatur kehidupan bersama, menjaga
keteraturan, dan menciptakan rasa aman. Namun dalam praktiknya, kuasa sering
menjelma menjadi alat perampasan: ia merampok kekayaan negara, membelokkan
mandat rakyat, bahkan memaksa orang tunduk melalui teror ketakutan—penjara, intimidasi,
atau stigma sosial. Agama, di sisi lain, tumbuh dari kerinduan manusia terhadap
makna dan keselamatan. Tetapi dalam genggaman elitnya, agama kerap dirampas
menjadi otoritas tunggal yang menafsirkan kebenaran, menutup ruang perbedaan,
dan menakut-nakuti umat dengan bayangan dosa dan neraka. Kuasa dan agama, meski
tampak berbeda, kerap bersekutu dalam satu hal: keinginan untuk melanggengkan
diri.
Sejarah politik memperlihatkan wajah ini dengan jelas.
Machiavelli (1513) pernah menulis bahwa penguasa sering memanfaatkan agama
untuk menundukkan rakyatnya, karena rasa takut lebih mangkus daripada cinta
dalam menjaga ketaatan. Foucault (1977) menambahkan bahwa kuasa bukan hanya
menindas melalui kekerasan fisik, tetapi juga melalui disiplin yang merasuk ke
tubuh dan jiwa: sekolah, rumah sakit, hingga lembaga keagamaan menjadi
ruang-ruang pengawasan yang menormalisasi kepatuhan. Dalam titik ini, agama
tidak lagi sekadar ruang kontemplasi, melainkan mesin produksi ketakutan yang
efektif, sejajar dengan ancaman penjara yang dipelihara oleh negara. Ketika
dogma dan kekuasaan bertemu, ketakutan menjadi bahasa bersama untuk
melanggengkan dominasi.
Di Indonesia, wajah ganda kuasa dan agama itu tampak dengan
gamblang. Agama di satu sisi menjadi fondasi etika publik, sumber solidaritas,
dan kekuatan kebudayaan yang menyatukan bangsa yang majemuk. Di sisi lain,
sejarah menunjukkan bagaimana agama sering ditarik ke gelanggang politik. Pada
masa kolonial, otoritas keagamaan dimanfaatkan untuk meredam perlawanan. Dalam
era kontemporer, politik identitas berbasis agama berulang kali mencuat dalam
kontestasi elektoral, memecah belah masyarakat, dan mengaburkan persoalan
kesejahteraan rakyat. Ketika simbol dan bahasa agama dijadikan modal kuasa, ia
kehilangan daya pencerahannya, bergeser dari cahaya yang menuntun menuju
belenggu yang membatasi. Rakyat ditakut-takuti bukan hanya oleh aparat dengan
ancaman hukum, tetapi juga oleh elit agama dengan ancaman neraka.
Ironisnya, ketakutan inilah yang menjadikan kuasa dan agama
semakin kokoh. Max Weber (1922) pernah mengingatkan bahwa otoritas
karismatik—yang sering muncul dalam diri pemimpin politik maupun religius—akan
berusaha untuk dilembagakan agar bisa bertahan lebih lama. Institusionalisasi
ini membuat kuasa dan agama tak sekadar hadir sebagai pengaruh personal,
melainkan sebagai struktur sosial yang sulit digugat. Mereka memelihara bahasa
sakral, simbol, dan dogma untuk menjaga agar posisi dominan tidak goyah. Dengan
cara itu, jeruji kuasa atas tubuh dan jeruji iman atas jiwa terus diwariskan
dari generasi ke generasi.
Namun, tidak berarti manusia harus menyerah pada jerat ini.
Sejarah juga memperlihatkan perlawanan terhadap dominasi. Di berbagai belahan
dunia, lahir gerakan yang menuntut agar kuasa tunduk pada prinsip keadilan dan
agama kembali pada ruh spiritualitasnya yang membebaskan. Kierkegaard (1843)
menegaskan bahwa iman sejati bukanlah ketakutan pada institusi, melainkan
keberanian individu untuk berdiri di hadapan Tuhan secara otentik. Begitu pula
Hannah Arendt (1958) mengingatkan bahwa politik sejatinya bukanlah soal
dominasi, melainkan ruang bersama di mana manusia bisa bertindak secara bebas
dan setara.
Ala kulli hal, yang paling mendesak adalah bagaimana
membongkar ketakutan sebagai alat pelanggeng kuasa. Manusia harus belajar
membedakan antara kuasa yang menjaga kehidupan bersama dan kuasa yang menindas,
antara agama yang menghidupkan dan agama yang membelenggu. Di luar jeruji kuasa
dan agama yang dipelihara elit, selalu ada ruang kebebasan yang bisa ditemukan:
ruang di mana suara dilantangkan, solidaritas tumbuh tanpa teror, dan keyakinan hadir tanpa
ancaman. Di sanalah manusia bisa kembali menemukan makna sejati kuasa dan agama—bukan sebagai alat untuk melanggengkan diri, melainkan sebagai jalan untuk
merawat kehidupan. (*)
Tabik.
Posting Komentar