![]() |
Ilustrasi (Sumber: Lensa Buku) |
Ray Bradbury pernah memperingatkan: “Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah dengan tidak membacanya.” Ironisnya, di tengah era informasi yang serba melimpah – internet cepat, e-book murah, dan gudang pengetahuan digital – minat baca masyarakat Indonesia justru mengkhawatirkan.
Data terbaru menunjukkan hanya segelintir rakyat kita yang
benar-benar gemar membaca: UNESCO mencatat minat baca Indonesia sekitar 0,001
persen (DetikEdu, 2023) atau hanya satu orang dari seribu yang rajin
membuka buku. Sementara itu, studi Nielsen (2018) menyebut orang Indonesia
rata-rata menonton TV 5 jam dan main gawai 6 jam per hari, tetapi
hanya 55 menit membaca buku atau berita. Dengan kata lain, gadget dan
layar lebih dominan mengisi hari-hari kita daripada lembar demi lembar teks
panjang. Padahal akses ke buku dan informasi kini lebih luas dari sebelumnya:
survei APJII 2024 mencatat penetrasi internet mencapai 79,5 persen (221
juta pengguna). Akses materi bacaan melimpah, tetapi perhatian pada membaca
tergerus oleh konten instan dan hiburan cepat.
Data Terbaru Literasi Indonesia
Tingginya akses itu ternyata tak sejalan dengan kualitas
literasi. Hasil survei dan riset terkini memperlihatkan wajah suram literasi
bangsa. Menurut Kemendikbud, 75 persen anak usia 15 tahun di Indonesia
memang bisa membaca, tetapi terjebak di bawah standar PISA Level 2 –
artinya mereka kesulitan memahami gagasan dalam teks.
Menteri Abdul Mu’ti bahkan menyoroti bahwa sebagian besar
remaja “mampu membaca, tapi tidak paham dengan apa yang dibaca” (Kumparan 29
April 2025). Kinerja literasi kita di PISA 2018 masih jauh di bawah rata-rata
dunia: skor membaca 371 (global 487). Meski peringkat PISA kita baru-baru ini
naik (Posisi naik 5–6 tingkat), angka mentahnya masih menunjukkan banyak siswa
kesulitan menelaah teks.
Sementara itu, survei Tingkat Gemar Membaca (TGM)
nasional menunjukkan skor 72,44 pada 2024 (goodstats, 10 Juni 2025). Kenaikan
ini mengindikasikan perhatian kolektif mulai bangkit (naik dari 66,7 tahun
lalu), tetapi skor 72,44 masih dalam kategori “sedang”. Artinya, budaya membaca
masih rapuh dan perlu dipupuk terus-menerus. Indeks TGM yang hanya masuk
kategori sedang mempertegas bahwa gemar baca di masyarakat kita masih
butuh penguatan.
Kesenjangan akses juga memicu disparitas literasi:
Kemendikbud mencatat 4 provinsi dengan tingkat literasi terendah (Papua,
Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, NTT). Kesenjangan ini tak lepas dari
minimnya fasilitas: sekolah-sekolah di daerah terpencil terkadang nyaris
tanpa perpustakaan atau buku bacaan. Pegiat literasi Nila Tanzil
menyampaikan pengalamannya di Nusa Tenggara Timur – selama berbulan-bulan ia
menelusuri sekolah dan tak menemukan rak buku atau perpustakaan sama sekali.
Tantangan Budaya dan Struktural
Rendahnya minat baca bukan semata masalah infrastruktur,
melainkan juga budaya. Di banyak keluarga, tradisi membaca di rumah
belum menjadi kebiasaan. Sebagian orangtua lebih akrab dengan televisi, gawai
atau paling keren koran pagi yang tercecer ketimbang rutinitas membacakan
cerita pada anak. Penetrasi media digital yang masif juga mengubah pola cari
hiburan. Media sosial dan video pendek menawarkan konten instan yang lebih
“menggoda otak malas” daripada lembar demi lembar buku. Dominasi tayangan cepat
dan hiburan online membuat buku sering tersingkir.
Tantangan lain adalah tantangan struktural pendidikan.
Sistem belajar yang berbasis hafalan membuat siswa sering melewatkan pemahaman
mendalam. Kondisi ini diakui pemerintah: Menteri Mu’ti berencana menerapkan deep
learning dalam kurikulum agar siswa tidak sekadar menghafal, tetapi mampu
menganalisis dan mengaplikasikan bahan bacaan.
Selain itu, kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah
menjadi soal serius: anak-anak di wilayah pinggiran atau tertinggal umumnya
lebih sulit mengakses buku bermutu dan gurunya kurang memadai.
Inisiatif Literasi Bergerak dan Solusi Kolektif
Meski demikian, banyak gerakan positif mulai tumbuh untuk
menghidupkan kembali kecintaan membaca. Perpustakaan jalanan dan pojak
baca di taman kota misalnya, bertujuan mengajak masyarakat menjamah buku di
ruang publik. Di berbagai kota bermunculan taman bacaan masyarakat (TBM) yang
dijalankan oleh relawan: setumpuk buku dipajang di pinggir jalan saat Car Free
Day, atau sudut desa yang disulap jadi ruang baca sederhana.
Perpustakaan Nasional juga aktif mendorong gerakan ini: pada
2024 diluncurkan replikasi TBM berbasis inklusi sosial (TPBIS) dan alokasi Dana
Alokasi Khusus untuk pengembangan perpustakaan desa. Inisiatif digital pun
banyak bermunculan – misalnya perpustakaan digital iPusnas (aplikasi
Perpusnas) yang menyediakan e-book gratis – memperluas akses baca bagi
masyarakat urban maupun pelosok. Komunitas-komunitas membaca seperti kelas
menulis, gerakan menulis dan baca bersama, juga mengorganisir diskusi buku
dan kerja sama antar pelajar.
Mewujudkan budaya baca yang kuat memerlukan langkah terpadu,
baik lewat kebijakan pemerintah, sekolah, maupun masyarakat. Beberapa upaya
yang dapat dipertimbangkan antara lain: Pertama, perkuat akses fisik
dan digital: Perluasan perpustakaan keliling dan perpustakaan desa dengan
dukungan dana (misalnya DAK desa) agar buku hadir ke pelosok. Optimalisasi
perpustakaan digital (aplikasi dan portal baca online) agar orang yang
sulit ke perpustakaan tetap punya akses bacaan berkualitas.
Kedua, literasi di pendidikan: Integrasikan
literasi dan deep learning di sekolah. Kurikulum harus mendorong siswa
menganalisis teks, bukan sekadar hafalan. Pelatihan guru literasi perlu
ditingkatkan agar mereka bisa membimbing murid membaca kritis.
Ketiga, budaya keluarga dan masyarakat:
Kampanye gemar baca di ranah keluarga, misalnya dengan memberi contoh teladan
orangtua rajin membaca atau menyediakan “pojok baca keluarga” di rumah. Media
massa dan sosial dapat ikut mempromosikan kegiatan literasi, misalnya
penyelenggaraan Festival Baca, lomba resensi, atau #GerakanBerbagiBuku.
Keempat, sinergi komunitas: Dukung komunitas
TBM, kafe baca, dan kelompok penggerak literasi lokal. Pendirian reading
corner di ruang publik, dan program membaca sukarela di sekolah bisa
dimulai oleh warga. Kegiatan sederhana seperti story telling di taman
kanak-kanak atau lomba baca puisi juga dapat menumbuhkan minat awal pada anak.
Tekad kolektif untuk membaca adalah kunci mematikan “kejahatan”
yang lebih kejam itu. Akses informasi melimpah hanya berarti jika kita memilih
untuk membacanya. Sekali terbiasa, bunga pemikiran tumbuh subur:
kreativitas meningkat, toleransi berkembang, dan masyarakat menjadi lebih
kritis.
Kita berutang kepada jutaan buku yang telah diterbitkan agar
tidak terkunci mati dalam rak. Seperti Bradbury ingatkan, membiarkan buku tak
dibaca adalah kejahatan yang sunyi tapi menghancurkan. Agar literasi Indonesia
tidak stagnan, berbagai elemen bangsa – pemerintah, sekolah, keluarga,
komunitas – harus saling bahu-membahu menjaga obor bacaan menyala.
Posting Komentar