Kegagalan Nalar Menemukan Kebahagiaan

 


Data Buku

Judul:   Batas Nalar: Rasionalitas Dan Perilaku Manusia | Penulis: Donald B. Calne | Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia | Jumlah Hala,am: xvi + 458 hlm. | ISBN: 9799100216


Apakah Anda percaya bahwa nalar dan kecerdasan adalah kunci utama untuk hidup yang lebih baik dan bermoral? Bersiaplah untuk menantang keyakinan tersebut.

Menurut Jonathan Haidt dalam bukunya yang terkenal, The Righteous Mind, siapa pun yang menghargai kebenaran harus berhenti memuja nalar. Ia menegaskan, "Penalaran berevolusi bukan untuk membantu kita menemukan kebenaran, melainkan untuk membantu kita terlibat dalam perdebatan, upaya membujuk, dan manipulasi dalam konteks diskusi dengan orang lain."

Pernyataan Haidt yang provokatif ini menjadi pembuka yang sempurna untuk memahami gagasan sentral dari buku Batas Nalar karya Donald B. Calne. Sebagai seorang neurolog, Calne memulai perjalanannya dengan sebuah pertanyaan fundamental yang mengguncang: "Jika kita berpikir banyak, apakah kita akan bertindak lebih baik?" Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan gugatan terhadap asumsi bahwa nalar adalah kompas moralitas dan kebahagiaan.

Kegelisahan Calne, yang sehari-hari berhadapan dengan gangguan perilaku pada pasiennya, mendorongnya untuk mencari jawaban dari dalam otak manusia itu sendiri. Melalui lensa biologi evolusioner, ia menyimpulkan bahwa nalar adalah "perkakas biologis" yang berkembang untuk menjawab pertanyaan 'bagaimana', bukan 'mengapa'. Nalar adalah fasilitator, bukan inisiator. Kita menggunakannya untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan untuk menentukan apa yang seharusnya kita inginkan.

Kita bisa melihat bukti nyata dari pandangan ini di era modern. Saat kita menyaksikan betapa banyak orang pintar dan cerdas di media sosial yang justru terjebak dalam narasi penuh kebencian dan perpecahan, terutama seputar kekuasaan dan politik, pandangan Calne terasa semakin relevan. Nalar, pada akhirnya, tak menjamin kita menjadi lebih beradab atau bijaksana.

Moral dan Nurani Bertindak sebagai Kompas

Jika nalar memiliki batasnya, lantas apa yang bisa memandu manusia?

Calne mengarahkan kita pada kekuatan yang jauh lebih dekat dengan inti kemanusiaan: moral, nurani, dan emosi. Berbeda dengan nalar yang dingin dan logis, nurani dan emosi mendorong kita karena pemenuhannya membawa kebahagiaan, dan pengabaiannya menimbulkan kekecewaan. Keduanya terjalin erat dengan hasrat dan perintah budaya, menjadikannya kekuatan motivasi yang jauh lebih kuat dan personal dibandingkan nalar.

Calne menguatkan argumennya dengan fakta historis yang mengejutkan. Era Enlightenment di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, yang mengagungkan rasionalitas, justru diikuti oleh periode kelam. Pada abad ke-19, para cendekiawan Jerman yang paling terpelajar, termasuk tokoh-tokoh seperti Wagner dan Nietzsche, justru menjadi yang terdepan dalam memeluk ideologi Nazi. Perang dunia dan krisis ekonomi berulang kali menjadi bukti nyata bahwa harapan yang digantungkan pada nalar terlalu berlebihan. Seolah bandul sejarah kembali ke titik yang berlawanan, manusia perlahan mulai menyadari bahwa nalar tidak bisa menjadi 'dewa penyelamat'.

Pengakuan Keterbatasan

Pandangan Calne ini sejalan dengan pemikiran Yuval Noah Harari. Manusia, dengan segala kebanggaannya sebagai homo sapiens (manusia bijak), sering lupa bahwa dulunya kita hanyalah spesies yang bersembunyi di semak-semak, menunggu sisa makanan. Nalar, dalam catatan panjang sejarah, memang lebih sering digunakan sebagai alat untuk menjajah, memperluas kekuasaan, dan menciptakan senjata pemusnah, bukan untuk mengantar manusia pada kebahagiaan hakiki.

Pada akhirnya, buku ini mengajak kita untuk merenung dan mengakui keterbatasan nalar. Calne menunjukkan bahwa pada akhirnya, nalar hanyalah alat, bukan tujuan. Hal ini tercermin dalam kisah perjalanan teologis Nabi Ibrahim, yang setelah pencarian panjangnya, pada akhirnya harus mengakui keterbatasan nalar dan menyerahkan diri pada kehendak yang lebih tinggi. Kisah ini menjadi pengingat yang kuat bahwa mengagungkan nalar secara berlebihan, apalagi sampai jumawa menganggap semua masalah selesai dengan nalar, adalah sebuah kesombongan yang sia-sia. Buku ini menantang kita untuk bertanya: apakah kita sudah siap untuk menempatkan nalar pada porsinya yang benar dan kembali mendengarkan suara nurani?

0/Berikan Kritik - Saran/Comments