![]() |
Ilustrasi Goenawan Mohamad |
Di tengah hiruk-pikuk informasi dan kecepatan zaman, ada
kalanya kita menemukan oase yang menenangkan sekaligus menggugah. Dan puisi
adalah salah satunya. Bukan sekadar deretan kata indah, melainkan sebuah
gerbang menuju pemahaman diri dan dunia yang lebih dalam. Kesenangan ini, yang
belakangan saya rasakan saat menyelami cara membaca puisi Nandika Putra dan
Kang Iman dari Komunitas Celah Celah Langit (CCL). Bukan euforia sesaat. Ini
adalah penemuan kembali kekuatan ekspresi dan narasi, terutama saat berhadapan
dengan "Penangkapan Sukra" karya Goenawan Mohamad—sebuah karya yang
tak hanya memukau, tapi juga menampar realitas hari ini.
Perjalanan Personal dan Komunal
Perjalanan mengapresiasi puisi seringkali dimulai dari
bimbingan dan komunitas yang mendukung. Melalui konten-konten yang dibagikan
oleh Nandika Putra dan Kang Iman, serta Komunitas CCL di Bandung, saya
menemukan dimensi baru pembacaan puisi. Komunitas CCL, yang didirikan Kang Iman
Soleh, dikenal fokus pada seni pertunjukan di alam terbuka dan memberikan
kebebasan berekspresi. Kang Iman sendiri adalah sutradara yang membimbing para
penggiat baca puisi. Dari video-video dan materi yang mereka sajikan, termasuk
pembacaan puisi "Penangkapan Sukra" oleh Nandika Putra , saya
memahami pentingnya olah vokal, pernapasan, dan tubuh—sebuah pendekatan
holistik yang mengubah teks statis menjadi pengalaman dinamis.
Membaca puisi secara ekspresif adalah seni yang membutuhkan
interpretasi mendalam dan penguasaan teknik. Ini bukan hanya tentang memahami
makna kata atau simbol, melainkan juga tentang menjiwai setiap baris, setiap
jeda, setiap intonasi. Mimik wajah, gerakan tubuh, lafal, penekanan, jeda, dan
tempo—semuanya bersinergi untuk menyampaikan emosi dan pesan puisi agar dapat
diterima audiens dengan baik. Goenawan Mohamad sendiri memandang puisi sebagai
"semadhi," sebuah kontemplasi yang lahir dari sunyi, hening, dan
bisu. Baginya, pemikiran muncul dari keheningan batin, dari kesadaran terdalam
kita. Inilah yang membuat puisi bukan sekadar hiburan, melainkan alat refleksi
diri dan pemahaman masyarakat.
"Penangkapan Sukra"
Daya tarik "Penangkapan Sukra" tak terbantahkan.
Puisi ini, yang disebut sebagai "Variasi atas Babad Tanah Jawi" ,
adalah sebuah "pasemon" atau sindiran halus terhadap
kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat bawahannya. Goenawan Mohamad
memang dikenal sering menafsirkan ulang mitos untuk mengkritik struktur
kekuasaan dan menantang norma masyarakat.
Narasi puisi ini begitu menusuk: Sukra, seorang pemuda
tampan berusia 21 tahun dari Kartasura, ditangkap tiba-tiba. Matanya ditutup,
ia diseret dalam perjalanan yang terasa "pusaran amat panjang".
Tuduhan Putra Mahkota sungguh absurd: "Kau menantangku. Kau menghinaku,
kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan aku, kaupikat perempuan-perempuanku,
kaucemarkan kerajaanku". Kecemburuan pribadi sang Pangeran terhadap
ketampanan Sukra menjadi pemicu hukuman kejam: "Pukuli dia, di sini!"
dan "Masukkan semut ke dalam matanya!".
Namun, yang paling menghentak adalah respons Kartasura.
Ketika Sukra diseret, "Seluruh Kartasura tak bersuara". Bapak Sukra
menangis kepada angin, perempuan kepada cermin, menunjukkan keputusasaan tanpa
protes publik. Keheningan ini adalah simbol ketakutan yang meresap, kelumpuhan
kolektif yang memungkinkan ketidakadilan berkembang tanpa terkendali.
Gema "Sukra" di Bumi Pertiwi Hari Ini
"Penangkapan Sukra" bukan sekadar kisah masa lalu.
Ia adalah cermin tajam bagi realitas kekuasaan dan keadilan di Indonesia
kontemporer. Kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan korupsi masih menghiasi
berita utama. Sepanjang tahun 2025, kita masih menyaksikan berbagai dugaan
penyalahgunaan kekuasaan, seperti dugaan eks Bupati Soppeng yang menguasai lima
ekskavator Pemprov untuk kepentingan tambang , pemecatan dua pejabat
Kementerian Pertanian karena meminta jatah proyek , hingga penahanan
dua tersangka korupsi pengaturan proyek dan gratifikasi di Pemerintah Kota
Semarang oleh KPK pada Februari 2025, serta laporan dugaan korupsi pengelolaan
dana haji tahun 2025 di Kementerian Agama. Ini adalah manifestasi
modern dari "kekuasaan sewenang-wenang" yang merusak kepercayaan
publik.
Lebih mengerikan lagi, ketakutan masyarakat terhadap
penangkapan semena-mena masih nyata. Laporan terbaru dari KontraS pada Juli
2025 mencatat 602 peristiwa kekerasan oleh polisi dalam setahun terakhir,
termasuk 411 kasus penembakan. Selain itu, aksi "Indonesia Gelap
2025" juga menunjukkan bahwa protes damai dibalas dengan tindakan represif
negara, meliputi penangkapan sewenang-wenang, kekerasan fisik, dan
kriminalisasi aktivis. Data-data ini menggemakan suasana teror yang digambarkan
dalam puisi, di mana ancaman tindakan sewenang-wenang membungkam perbedaan
pendapat dan menumbuhkan rasa tidak aman yang meluas.
Goenawan Mohamad, sebagai intelektual publik dan pendiri
majalah Tempo, adalah kritikus vokal pemerintah Indonesia. Kolom
"Catatan Pinggir"-nya dikenal dengan kritik tidak langsung namun mengena:
sindiran cerdik, dan selalu mendorong pembaca untuk berpikir. Ia menggunakan
"politik ekspresi" untuk menantang hierarki kultural dan menciptakan
"ruang-ruang kesetaraan yang lebih cair dan dinamis".
Puisi: Suara di Tengah Keheningan
Kesenangan dalam membaca puisi, khususnya "Penangkapan
Sukra," adalah pengingat bahwa seni memiliki kekuatan untuk melampaui
batas waktu dan ruang. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik,
menggugah, dan menantang. Di tengah realitas yang seringkali membungkam, puisi
Goenawan Mohamad menjadi suara yang tak pernah padam, sebuah peringatan abadi
tentang bahaya kekuasaan tak terkontrol dan pentingnya keberanian untuk
bersuara di tengah keheningan. Mempelajari dan menjiwai puisi ini adalah cara
ampuh untuk memahami sejarah, merefleksikan kontemporer, dan menumbuhkan
kesadaran kritis dalam masyarakat.
Posting Komentar