![]() |
Ilustrasi AI Chat GPT |
Dalam buku kumpulan esai-nya, Paradoks Demokrasi (2022),
Chantal Mouffe mengupas inti dari apa yang ia sebut sebagai krisis dalam
demokrasi liberal modern. Daripada melihat demokrasi sebagai sistem yang
harmonis, Mouffe berpendapat bahwa demokrasi dibangun di atas paradoks yang tak
terhindarkan: ketegangan antara tradisi liberal yang menekankan kebebasan
individu dan hak asasi manusia, dan tradisi demokratik yang berpusat pada
kedaulatan rakyat dan kesetaraan. Perpaduan kedua tradisi ini, yang kita anggap
lumrah, bukanlah proses yang mulus melainkan hasil dari perjuangan sejarah yang
panjang. Mouffe mendefinisikan paradoks ini sebagai gagasan bahwa "sah
untuk menetapkan batasan kedaulatan rakyat atas nama kebebasan".
Mouffe secara tajam mengkritik teori demokrasi yang
berlandaskan konsensus, terutama demokrasi deliberatif yang diusung oleh
John Rawls dan Jürgen Habermas. Ia berpendapat bahwa pencarian konsensus
rasional yang ‘hambar’ dan inklusif sepenuhnya adalah utopis dan berbahaya.
Baginya, setiap tatanan sosial selalu melibatkan tindakan eksklusi, dan ‘tidak
ada konsensus tanpa eksklusi’. Mouffe juga menyalahkan politik Jalan Ketiga
(Third Way) ala Tony Blair yang berupaya menghilangkan perbedaan
ideologis kiri-kanan. Menurutnya, hal ini justru menciptakan kekosongan politik
yang kemudian diisi oleh populisme sayap kanan yang memposisikan diri sebagai
satu-satunya kekuatan anti-kemapanan yang tersisa.
Sebagai alternatif, Mouffe mengusulkan sebuah model yang ia
sebut pluralisme agonistik atau demokrasi agonistik. Agonisme, berasal
dari bahasa Yunani 'agon' yang berarti pertandingan, mengakui bahwa konflik
adalah bagian alami dan produktif dari politik. Dalam model ini, lawan politik
tidak diperlakukan sebagai musuh yang harus dihancurkan, melainkan sebagai adversari
atau lawan yang dihormati. Mereka berbagi kerangka institusi demokratis yang
sama, meskipun menyadari bahwa tidak ada solusi rasional atau permanen untuk
konflik mereka. Transformasi dari musuh menjadi adversari inilah yang ia
anggap sebagai inti dari politik demokratis yang sehat.
Meskipun teorinya menawarkan visi yang kuat untuk demokrasi
yang hidup, pemikiran Mouffe tidak luput dari kritik. Kelemahan paling
signifikan adalah ia tidak secara memadai menjelaskan bagaimana politik
agonistik akan selalu berhasil mencegah kemerosotan menjadi antagonisme. Kritik
juga mempertanyakan bagaimana demokrasi dapat bertahan ketika sebagian aktor
politik, terutama yang berideologi ekstrem, tidak menganggap lawan mereka
sebagai adversari, melainkan musuh yang harus dihancurkan. Selain itu,
beberapa kritikus berpendapat bahwa modelnya, meskipun berakar pada pemikiran
post-Marxis, cenderung mengabaikan peran sentral struktur kelas dalam
antagonisme sosial. Penggunaan ide-ide Carl Schmitt, seorang ahli hukum Nazi
yang kontroversial, juga menjadi poin perdebatan, meskipun Mouffe secara tegas
menolak solusi anti-liberal Schmitt.
Mouffe merancang teorinya untuk tujuan progresif, seperti
yang terlihat dari pengaruhnya terhadap politik populisme kiri di Spanyol
(Podemos) dan strategi konfrontatif kepemimpinan di Argentina. Namun, kritik
menunjukkan bahwa gagasan tentang pentingnya ‘musuh’ dan kontestasi
ideologis secara ironis dapat disalahgunakan oleh populisme sayap kanan juga,
yang sering mengubah adversari menjadi ‘musuh.
Secara keseluruhan, Paradoks Demokrasi adalah bacaan
penting karena ia menantang kita untuk menerima bahwa konflik bukanlah
patologi, melainkan dimensi yang melekat dan diperlukan dari demokrasi. Buku
ini layak dibaca karena menawarkan kerangka teoretis yang kuat untuk memahami
mengapa politik konsensus sering kali gagal dan bagaimana polarisasi politik
dapat diubah menjadi kekuatan yang produktif, meskipun dengan risiko inheren
yang tidak sepenuhnya terjawab dalam teorinya. (*)
Posting Komentar