Membedah Klaim Stephen Hawking Soal Kematian Filsafat

Ilustrasi AI


Pada tahun 2010, fisikawan brilian Stephen Hawking mengguncang dunia intelektual dengan klaimnya dalam buku The Grand Design: filsafat sudah mati karena belum mampu mengikuti perkembangan sains modern, khususnya fisika teoretis. Pernyataan ini memicu gelombang perdebatan, mempertanyakan kembali relevansi disiplin ilmu tertua di dunia di tengah pesatnya kemajuan ilmiah.

Filsafat: Ibu Kandung Sains

Sebelum kita menyelami argumen Hawking, penting untuk memahami akar sejarahnya. Sains, seperti yang kita kenal sekarang, lahir jauh setelah filsafat. Selama ribuan tahun, penyelidikan tentang alam semesta, materi, dan pengetahuan adalah bagian integral dari filsafat, yang dikenal sebagai filsafat alam. Istilah "ilmuwan" sendiri baru muncul pada abad ke-19, menunjukkan bahwa para pemikir besar seperti Aristoteles, Francis Bacon, René Descartes, dan Isaac Newton—yang kini kita kenal sebagai pionir metode ilmiah—sebenarnya adalah filsuf.  

Filsafat, khususnya cabang epistemologi (teori pengetahuan), meletakkan fondasi-fondasi rasional dan logis yang memungkinkan sains berkembang. Prinsip-prinsip ketat yang menjadi dasar metode ilmiah modern—seperti keyakinan akan adanya realitas objektif yang diatur oleh hukum alam, dan bahwa realitas ini dapat ditemukan melalui observasi dan eksperimen sistematis—adalah asumsi filosofis mendasar yang tidak dapat dibuktikan oleh sains itu sendiri. Tanpa kerangka epistemologis ini, sains tidak akan memiliki pijakan yang kokoh.  

Sains sebagai Jawaban Pamungkas

Hawking berpendapat bahwa filsafat telah gagal mengimbangi laju sains modern, dan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang secara tradisional menjadi ranah filsafat—seperti asal-usul alam semesta atau keberadaan pencipta—kini dapat dijawab oleh fisika, khususnya M-theory. Ia bahkan mengklaim bahwa kehendak bebas hanyalah ilusi, karena proses biologis diatur oleh hukum fisika dan kimia, menjadikan manusia mesin biologis.  

Hawking juga memperkenalkan konsep "realisme bergantung model," yang menyatakan bahwa jika dua teori fisika memprediksi peristiwa yang sama, tidak ada yang lebih "nyata" dari yang lain; kita bebas memilih model yang paling nyaman. Bagi Hawking, ini menyiratkan bahwa sifat spekulatif filsafat menjadi usang di hadapan jawaban objektif dan definitif yang diberikan sains.  

Filsafat Tak Pernah Mati

Pernyataan Hawking, meskipun provokatif, menuai kritik tajam dari kalangan filsuf yang mempertahankan relevansi abadi disiplin mereka:

Pertama, Kesalahpahaman tentang Filsafat Kontemporer: Banyak filsuf berpendapat bahwa Hawking "sangat tidak mengetahui keadaan filsafat saat ini". Filsafat ilmu kontemporer justru sangat terlibat dengan kemajuan sains; bahkan, beberapa filsuf memiliki gelar doktor di bidang fisika. Ironisnya, Hawking sendiri terlibat dalam penalaran filosofis dalam bukunya, meskipun oleh para kritikus dianggap "filsafat yang buruk" karena kurangnya pemahaman mendalam tentang isu-isu tersebut.

Kedua, Filsafat sebagai Kritik dan Penjaga Sains: Filsafat tidak bersaing dengan sains dalam penemuan empiris, melainkan menyediakan kerangka konseptual, metodologis, dan etis yang mendasari dan mengarahkan penyelidikan ilmiah. Filsafat ilmu mengkritisi metodologi ilmiah, mengidentifikasi inkonsistensi, bias, dan memberikan perbedaan metodologis yang mungkin tidak jelas bagi peneliti empiris. Misalnya, filsafat membantu membedakan korelasi dari kausalitas.  

Ketiga, Ranah Pertanyaan yang Berbeda: Sains unggul dalam menjawab pertanyaan "bagaimana" (mekanisme, proses), namun memiliki batasan inheren dalam menjawab pertanyaan "mengapa" yang berkaitan dengan tujuan, makna, atau nilai. Sains berurusan dengan "fakta" (apa yang "ada"), sementara filsafat berurusan dengan "norma" (apa yang "seharusnya ada").  

Contoh pertanyaan yang melampaui cakupan sains meliputi: (1) Metafisika: "Mengapa ada sesuatu daripada ketiadaan?" atau sifat kesadaran dan kehendak bebas yang tidak sepenuhnya dapat direduksi menjadi penjelasan fisik semata; (2) Etika dan Moralitas: Sains dapat menjelaskan mengapa kita mencintai anak-anak kita dari sudut pandang evolusi, tetapi tidak dapat memberi tahu mengapa kita harus mencintai mereka. Pertanyaan tentang "apa yang harus saya lakukan tentang perubahan iklim?" atau etika penelitian (misalnya, persetujuan yang diinformasikan, perlindungan data) adalah ranah filsafat, karena melibatkan nilai dan kewajiban moral.  

Filsafat juga menangani "fenomena emergent" seperti kondisi manusia dan budaya, yang memiliki sifat dan karakteristik yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan hanya dengan membedah bagian-bagian fisik penyusunnya.  

Sinergi yang Tak Terpisahkan

Pernyataan Stephen Hawking tentang "kematian filsafat" adalah provokatif namun kurang tepat. Ironisnya, perdebatan yang ia picu justru menggarisbawahi relevansi filsafat yang abadi. Filsafat tidak bersaing dengan sains dalam penemuan empiris, melainkan menyediakan kerangka konseptual, metodologis, dan etis yang mendasari dan mengarahkan penyelidikan ilmiah.  

Sains dan filsafat adalah disiplin ilmu yang saling melengkapi, masing-masing dengan kekuatan dan batasan uniknya. Sains unggul dalam menjawab pertanyaan "bagaimana" tentang dunia fisik melalui metode empiris, sementara filsafat mengatasi pertanyaan "mengapa" yang lebih dalam tentang makna, nilai, etika, dan asumsi dasar pengetahuan.  

Di era kemajuan ilmiah yang begitu cepat, pertanyaan "mengapa" menjadi semakin penting. Sains dapat memberi tahu  apa yang dapat kita lakukan (misalnya, rekayasa genetika, kemampuan AI), tetapi filsafat memandu apakah kita harus melakukannya, bagaimana kemampuan ini selaras dengan nilai-nilai manusia (membantu kita merefleksikan implikasi kemampuan ini terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan arah perkembangan masyarakat). Ini menyiratkan kebutuhan yang semakin besar akan kebijaksanaan filosofis untuk menavigasi implikasi etis, sosial, dan eksistensial yang kompleks dari kemajuan ilmiah. "Kematian filsafat" akan meninggalkan kekosongan berbahaya dalam menangani dimensi normatif yang krusial ini.   

Filsafat terus menjadi "cinta akan kebijaksanaan" (philo-sophia), mengejar pemahaman komprehensif tentang realitas yang melampaui data empiris semata. Perannya adalah untuk secara kritis memeriksa klaim otoritas absolut, bahkan ketika itu berasal dari sains. Dengan mengungkap asumsi filosofis inheren dalam praktik ilmiah dan membatasi batas penyelidikan empiris, filsafat bertindak sebagai pemeriksaan intelektual yang krusial, memastikan pengejaran pengetahuan yang lebih holistik, sadar diri, dan bertanggung jawab.

0/Berikan Kritik - Saran/Comments