Memburu Muhammad: Menyelami Alegori Feby Indirani




Data Buku

Judul: Memburu Muhammad | Penulis: Feby Indirani | Penerbit: Bentang Pustaka | Tahun Terbit: Oktober 2020 | Tebal: xiv+210 hlm.

____

Buku ini dibuka dengan kisah yang memukau, sebuah lakon yang akrab dengan kehidupan sehari-hari kita: kebiasaan menggunjing dan membicarakan aib orang lain. Feby dengan apik menyusun sindiran ini melalui kisah Annisa dan Ihsan, dua sahabat kecil yang resah, jijik, dan mual dengan kondisi sekitar mereka.

Setiap hari, 'dua anak kecil' ini menyaksikan orang tua mereka menyantap bagian-bagian tubuh orang yang sudah meninggal (bangkai), bukan hanya sebagai menu utama, tetapi juga sebagai 'cemilan' menjelang tidur. Lebih mengerikan lagi, setiap kali mereka bertemu orang dewasa—di angkot, sekolah, pasar—bau khas daging busuk yang terselip di gigi atau kuku tiba-tiba menyeruak dari mulut orang-orang itu. Aroma amis yang nyinyir ini, meskipun terkadang tertutupi oleh wangi pasta gigi atau parfum, semakin kuat tercium ketika semakin banyak orang dewasa berkumpul. Feby jelas sedang menyindir kebiasaan ghibah, yang dalam kitab suci disamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri.

Puncak dari kritik alegoris Feby hadir dalam cerita ketiga belas yang menjadi judul buku ini: "Memburu Muhammad". Di sini, Feby menghidupkan kembali sosok Abu Jahal yang, di era modern, sedang berburu Muhammad. Ia mendatangi kantor kelurahan, menanyakan keberadaan Muhammad kepada petugas. Setelah menyandera seorang ibu petugas, akhirnya Muhammad Ikrimah—seorang petugas lain—menyediakan diri untuk membantu Abu Jahal menelusuri jutaan data dan nama Muhammad. Namun, ironisnya, tak satu pun sosok Muhammad yang benar-benar ditemukan, bahkan yang sedikit mirip pun.

"Carikan aku Muhammad yang benar!" perintah Abu Jahal kepada Ikrimah. "Kau buat daftar tersangka Muhammad yang paling mungkin, temukan lokasinya. Lalu, aku akan menghampiri mereka!"

Sederet nama besar disebut: Muhammad Jusuf Kalla, Goenawan Mohamad, Muhammad Nazaruddin. Namun, tak satu pun yang cocok. Abu Jahal pun berang: "Itu sungguh aneh! Lalu, untuk apa kalian semua bernama Muhammad kalau mirip pun tidak? Cuma jadi pencuri, politisi haus kuasa, atau semata orang tak berguna?"

Melalui alusi-alusi tajam ini, Feby Indirani sukses memotret realitas kehidupan paling mutakhir di Indonesia. Sebuah negara yang kini dihuni oleh jutaan orang yang gemar merawat dengki, melestarikan ujub, riya', dan ghibah—manusia-manusia yang menggemari bangkai saudaranya sendiri sebagai makanan. Memburu Muhammad adalah narasi yang bercerita soal kepedihan, menyeret kita untuk menafakuri gurat-gurat lukisan tentang Islam yang semakin sulit diterjemahkan, semakin samar. Kini, yang lebih sering tampil adalah karnaval kesalehan yang gandrung bicara kesalahan orang lain, jago memukul ketimbang merangkul.

Feby sukses bertakhta di atas imajinasinya—seperti istilah Nadirsyah Hosen dalam pengantar buku ini. Ia mengoreksi segala laku keberagamaan dengan imajinasinya yang liar, tetapi menohok dan tepat sasaran. Tak ada alasan untuk marah, sekalipun judul dan sampul buku ini dinilai provokatif, kecuali mereka memang sadar ingin berkelahi dengan imajinasi Feby Indirani.

Saat peluncuran buku ini secara daring (24/11/2020), Feby menyebut karakter ceritanya sebagai "Islamisme magis"—adaptasi dari istilah realisme magis. Ia mengakui sedang menawarkan percakapan dan sudut pandang baru. Baginya, unsur magis yang dibawa ketika seseorang bicara tentang agama adalah banyak hal yang tidak bisa diindera secara kasat mata, tetapi ia percaya itu sangat nyata dan memengaruhi kehidupan fisikalnya. Dan, buku Memburu Muhammad ini mendedahkan lebih jauh soal Islam yang dipercaya di Indonesia.

Pengakuan itu tentu tak berlebihan. Saat kita menelusuri alur cerita dalam buku ini, sudut pandang baru itu kerap terasa dalam setiap dialog, jenaka sekaligus serius. Ada banyak pertanyaan dan pernyataan yang selama ini jarang disentuh, yang secara tidak sadar akan 'menyeret' kita untuk memotret banyak kejadian di sekitar kita. Bisa jadi, kita membaca buku ini, tetapi justru membayangkan 'yang lain'. Dan benar, imajinasi yang lebih liar itu baru dimulai ketika kita menutup halaman terakhir buku ini, kemudian melayang dengan serpihan imajinasi sendiri. Membelah imajinasi sebagai Abu Jahal yang terus berikhtiar menemukan Muhammad, atau sekadar mengaku-aku mewarisi keluhuran pekerti yang diteladankan Muhammad.

Sebagai pembaca, saya tak memiliki alasan untuk tidak merekomendasikan kumpulan cerita Memburu Muhammad ini. Lewat imajinasinya, Feby Indirani sukses menggambarkan realitas kehidupan di Indonesia paling mutakhir, sebuah cermin yang mungkin pahit, namun esensial untuk direnungkan.

 

Disclaimer: Resensi ini adalah tulisan lama dengan judul “Abu Jahal yang Kehilangan Jejak Muhammad” dan telah saya posting di sebuah blog (blog telah hilang) sekitar Januari 2021, dan saya unggah kembali karena kisah di dalamnya masih sangat karib dengan kehidupan kita.

0/Post a Comment/Comments