Dalam khazanah literatur tentang kiat menulis, seringkali
kita mencari formula baku, panduan langkah demi langkah, atau resep instan dari
para maestro. Namun, bagaimana jika seorang pemikir sekaliber Bertrand Russell,
peraih Nobel Sastra dan salah satu filsuf paling berpengaruh di abad ke-20,
justru mengakui bahwa ia sendiri tidak memiliki "formula khusus"
tentang "bagaimana menulis itu sebaiknya dilakukan"? Inilah salah
satu kejutan sekaligus esensi berharga yang tersaji dalam antologi "Menulis
Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia" (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2003), khususnya pada bagian yang membahas pemikiran Russell mengenai
seni merangkai kata. Buku ini tidak hanya mengumpulkan refleksi para penulis
besar, tetapi juga membongkar mitos tentang kesempurnaan dan kepastian dalam
proses kreatif.
Russell, dengan segala kecemerlangannya, menampilkan sisi
yang sangat membumi dan jujur tentang perjuangan seorang penulis. Ia bahkan
mengakui adanya semacam "ketidakpercayaan" dalam menulis. Ini
bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan sebuah pengakuan atas kompleksitas dan
ketidakpastian yang melekat dalam upaya mentransformasi gagasan abstrak menjadi
untaian kata yang koheren. Justru dari pengakuan ini, pelajaran menulis dari
Russell menjadi lebih relevan dan dapat dijangkau oleh siapa pun, dari pemula
hingga yang berpengalaman. Ia tidak beretorika dengan teori tinggi, melainkan
berbagi pengalaman nyata seorang individu yang bergulat dengan bahasa.
Bagi Bertrand Russell, menulis bukanlah sekadar kegiatan mencatat atau menyampaikan informasi. Lebih dalam lagi, ia mendefinisikannya sebagai "upaya menghubungkan berbagai hal yang berkenaan dengan usaha eksplorasi ke dalam teks." Frasa ini sangat krusial. "Menghubungkan berbagai hal" menunjukkan bahwa menulis adalah tentang sintetis, mengintegrasikan beragam ide, data, atau pengalaman menjadi satu kesatuan yang bermakna. Sementara itu, "usaha eksplorasi ke dalam teks" menegaskan bahwa proses menulis itu sendiri adalah sebuah perjalanan penemuan. Penulis tidak hanya merekam apa yang sudah diketahui, melainkan juga menemukan hal-hal baru tentang subjeknya, tentang gagasannya, bahkan tentang dirinya sendiri, melalui interaksi dengan kata-kata.
Ini berarti menulis adalah aktivitas dinamis, bukan pasif.
Ia menuntut keterlibatan aktif penulis dalam menggali, menganalisis, dan
menyusun fragmen-fragmen pemikiran menjadi sebuah struktur yang utuh. Dari
sudut pandang Russell, keberhasilan menulis terletak pada seberapa jauh penulis
mampu menjelajahi "wilayah" ide dan menyajikannya dalam peta tekstual
yang dapat dipahami orang lain.
Seni Meniru: Langkah Awal Menuju Disiplin
Salah satu saran paling praktis dan mungkin mengejutkan dari
Russell untuk mengawali pelajaran menulis adalah "meniru teknik penulis
yang digemari." Saran ini seringkali dianggap tabu dalam dunia kreatif
yang menjunjung tinggi orisinalitas. Namun, Russell menawarkan perspektif yang
berbeda. Ia bahkan tidak sungkan mengakui pengalamannya sendiri yang sempat
mengikuti gaya tulisan John Stuart Mill, seorang filsuf utilitarian dan ekonom
politik Inggris, serta Baedeker, penerbit panduan perjalanan terkenal yang
dikenal dengan gaya bahasa lugas dan deskriptif. Perbedaan gaya antara Mill
yang filosofis dan Baedeker yang informatif menunjukkan bahwa Russell tidak
terpaku pada satu genre, melainkan terbuka terhadap berbagai pendekatan untuk
memahami struktur dan irama penulisan.
Tujuan meniru, menurut Russell, bukan untuk menjadi salinan
abadi, melainkan sebagai alat bantu untuk "membantu pribadi lebih
tertib dalam menuangkan ide dan gagasan." Ini adalah semacam
"latihan disiplin." Dengan meniru, seorang penulis belajar tentang
struktur kalimat, pemilihan kata, ritme, dan cara mengatur paragraf. Ia belajar
bagaimana seorang penulis lain membangun argumen, menjelaskan konsep, atau menghidupkan
deskripsi. Proses ini membentuk kerangka kerja internal yang esensial. Ibarat
belajar musik, seorang pemusik pemula akan meniru melodi atau teknik dari
komposer favoritnya untuk menguasai dasar-dasar sebelum akhirnya menciptakan
komposisi orisinalnya sendiri. Imitasi, dalam konteks ini, adalah fase inkubasi
yang krusial untuk menumbuhkan fondasi teknis dan disiplin mental seorang
penulis.
Ide sebagai "Wahyu"
Kontras dengan disiplin meniru, Russell juga menyoroti aspek
yang lebih intuitif dan misterius dalam proses menulis: "apa yang harus
ditulis adalah apa yang muncul seolah-olah sebagai wahyu." Pokok
pikiran yang menegaskan keseluruhan isi, sering kali hadir tiba-tiba, tanpa
paksaan atau perencanaan yang rigid. Ini adalah momen-momen "aha!" di
mana ide besar, kerangka argumen, atau cara pandang baru tiba-tiba menerangi
benak penulis.
Gagasan tentang "wahyu" ini menggarisbawahi bahwa
menulis tidak sepenuhnya bisa direduksi menjadi serangkaian teknik mekanis. Ada
dimensi di mana kreativitas mengambil alih, di mana koneksi-koneksi tak terduga
terbentuk, dan di mana ide-ide datang dari kedalaman pikiran bawah sadar atau
dari proses perenungan yang panjang. Bagi Russell, kemampuan untuk menangkap
dan mengembangkan "wahyu" ini sama pentingnya dengan kemampuan untuk
meniru atau berdisiplin. Ini adalah pengingat bahwa penulis harus tetap peka, terbuka,
dan siap ketika inspirasi besar itu tiba. Ide bukan diciptakan sepenuhnya,
melainkan juga "ditemukan."
Meskipun buku "Menulis Itu Indah" telah diterbitkan lebih dari dua dekade lalu, pandangan Bertrand Russell tetap relevan hingga saat ini. Di era digital yang serba cepat, di mana informasi melimpah ruah dan tuntutan untuk menulis dengan cepat semakin tinggi, kejujuran Russell tentang "ketidakpercayaan" dan ketiadaan formula instan adalah penawar yang menyegarkan. Ia mendorong kita untuk merangkul ketidakpastian dalam proses kreatif, memahami bahwa kemahiran datang dari disiplin yang dibangun melalui imitasi, dan yang terpenting, menghargai momen-momen inspirasi yang tak terduga.
Pelajaran dari Russell ini mengajarkan bahwa menulis itu
memang indah, bukan karena ia selalu mudah atau sempurna, tetapi karena ia
adalah sebuah perjalanan eksplorasi yang menggabungkan ketekunan teknis dan
kepekaan intuitif. Ia adalah undangan untuk terus belajar, beradaptasi, dan
merayakan setiap "wahyu" yang hadir di tengah upaya kita
menghubungkan berbagai hal ke dalam teks. (*)
Posting Komentar