Menepi


Kesunyian, pada dasarnya tidak pernah benar-benar sepi. Ia berdenyut dengan suara batin yang jarang terdengar di tengah hiruk pikuk dunia. Tetapi, bagi sebagian orang, diam kerap ditafsirkan secara keliru. Menyendiri dianggap angkuh, sementara menepi dituduh sebagai tanda kehilangan kepercayaan diri. Padahal, sebagaimana ditulis Rainer Maria Rilke, “Kesendirian adalah sesuatu yang luar biasa, jika seseorang mampu memeluknya.”

Akhir-akhir ini, saya memang sering memilih jalan itu—menepi dari keramaian, memberi spasi sejenak dari kebisingan sosial, menahan diri dari kebiasaan untuk curhat ke banyak orang. Alasannya sederhana: menceritakan masalah ke semua orang tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Bahkan, terkadang memperkeruh keadaan, menambah beban orang lain, atau bisa mempertebal lapisan tafsir dan prasangka baru. Maka saya lebih suka menaruh semesta kegelisahan itu, dalam catatan-catatan kecil, menumpahkannya lewat tulisan, menemukan ruang aman untuk meredakan beban, atau berselancar mencari jawaban melalui bacaan, hingga melakukan hal paling absurd berdiskusi dengan AI.

Namun, pilihan itu ternyata bukan tanpa konsekuensi. Di saat saya mencoba menikmati kesunyian, ada saja mereka yang berprasangka. Ada yang menilai saya sombong, ada pula yang lebih sadis menyebut saya inferior—tak punya lagi kepercayaan diri untuk bergaul. Saya sepenuhnya tak menampik, meski prasangka-prasangka itu sungguh menyakitkan, terlebih selama ini saya terbiasa hidup dalam kebersamaan, membagi tawa di antara gelas-gelas kopi, dalam riuhnya diskusi, dan kerja kolektif. Kehidupan saya banyak diwarnai riuh perjumpaan. Ketika saya perlahan menarik diri, orang-orang di sekitar tidak tahu bagaimana membaca perubahan itu. Bagi mereka, jarak selalu berarti penolakan.

Apa yang salah dengan menepi? Apakah setiap jarak selalu berarti penolakan? Apakah setiap kesunyian pasti lahir dari rasa rendah diri? Bagi saya, ini adalah cara bertahan, cara menjaga diri agar tidak kehilangan jati diri. Bukankah dalam tradisi spiritual banyak agama, diam adalah cara tertua untuk menata batin? Thomas Merton seorang biarawan pernah menulis bahwa dalam keheningan, kita mendengar kehidupan berbicara lebih jujur daripada dalam kebisingan. Dan, saya tidak sedang menjadi sombong, melainkan sekadar ingin merawat ruang batin yang sering kali tergerus oleh kesibukan dan ekspektasi orang lain.

Dalam kesunyian, saya belajar berdialog dengan diri sendiri. Saya mulai mendengar pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tertutup oleh kebisingan: untuk apa saya melakukan sesuatu selama ini, apa makna dari semua hiruk pikuk, dan ke mana arah yang sebenarnya saya tuju. Mungkin saya terobsesi kata-kata Friedrich Nietzsche yang mengingatkan, “Siapa yang memiliki alasan untuk hidup, dapat menanggung hampir segala cara hidup,” atau pertanyaan-pertanyaan, “dari mana, sedang di mana dan mau kemana.” Menyepi, dalam kacamata itu, bisa dimaknai sebagai proses saya mencari alasan, sebuah perjalanan untuk menemukan kembali makna dari segala rutinitas.

Sayangnya, dalam dunia di mana eksistensi ‘tampil’ dianggap sebagai hal wajib, media sosial yang terus menerus menuntut interaksi, memaksa kita untuk terus terlihat, terus bicara. Diam akhirnya dianggap keterasingan, absen ditafsirkan kegagalan. Kita digiring untuk percaya bahwa eksistensi diukur dari frekuensi unggahan, jumlah percakapan, dan kepadatan agenda. Oke, saya manut, tapi saya tetap ingin diberi ruang untuk tidak terjebak pada kepura-puraan: muncul supaya dinilai unggul, riuh agar disebut berpengaruh, tampak biar berdampak.

Memang, pilihan ini tidak sepenuhnya menjadikan saya merasa tenang. Kesepian kadang datang mengusik. Ada momen ketika saya rindu tawa dan percakapan bersama. Tapi justru dalam tarik-menarik itulah saya belajar: kesunyian bukan lawan dari kebersamaan. Ia hanyalah ruang lain yang juga dibutuhkan. Menyepi adalah cara menjaga diri agar kelak bisa kembali hadir dengan lebih utuh. Dengan menepi, saya bisa mendengar diri sendiri.

Bila orang lain menafsirkan sikap itu sebagai kelemahan, biarlah. Karena saya percaya, yang paling berhak menilai kedalaman sebuah kesunyian adalah diri yang menjalaninya. Blaise Pascal pernah menulis, “Semua masalah manusia berakar dari ketidakmampuannya duduk tenang sendirian di sebuah ruangan.” Bagi saya, kalimat itu bukan sekadar renungan filosofis, melainkan bekal untuk lebih siap memungut dan menata semua puzle kehidupan, belajar merangkul diri sendiri dengan segala rapuhnya.

Maka, pada semua orang yang telah saya kecewakan dengan sikap ini, jika ini tetap tidak bisa menjelaskan: Saya Mohon Maaf!?

0/Berikan Kritik - Saran/Comments