Mengapa (Kita) Perlu Agama?

 

Sprituality in Black White and Photos (Foto: Matt Collamer/unsplash.com)

Sebuah kritik yang jujur terhadap peradaban tak pelak akan menyoroti sisi kelam agama. Sejarah dipenuhi oleh contoh-contoh di mana aliansi antara kuasa dan altar melahirkan theosofobia—sebuah politik ketakutan yang dilegitimasi oleh imajinasi teologis. Dengan ancaman penjara di satu tangan dan neraka di tangan lain, kepatuhan sosial seringkali dibentuk bukan melalui kesadaran, melainkan melalui teror. Pengakuan terhadap realitas yang meresahkan ini seringkali berujung pada kesimpulan sederhana: bahwa agama adalah masalahnya, dan solusinya adalah meninggalkannya.  

Namun, argumen ini terlalu tergesa-gesa. Justru dengan membongkar bagaimana agama disalahgunakan, kita menemukan alasan paling kuat mengapa kemanusiaan secara fundamental membutuhkannya. Kita memerlukan agama bukan sebagai instrumen kontrol, melainkan sebagai sumber daya tak tergantikan bagi sebuah visi humanis yang sejati. Kebutuhan ini terletak pada tiga kapasitas unik yang terkandung dalam jantung tradisi keagamaan itu sendiri: sebagai mesin imajinasi utopis, sebagai sumber teologi pembebasan, dan sebagai fondasi etika welas asih.

Pertama, agama adalah mesin imajinasi utopis yang paling kuat. Filsuf Paul Ricoeur (1986) dalam Lectures on Ideology and Utopia membedakan dua fungsi imajinasi sosial: ideologi (konservatif) yang melestarikan tatanan, dan utopia (kreatif dan transformatif) yang membayangkan tatanan baru.  

Theosofobia lahir ketika agama dibekukan dalam fungsi ideologisnya, menjadi pembenar status quo. Tapi, kekuatan sejati agama terletak pada kemampuannya untuk menjadi utopia. Ia menyediakan bahasa, simbol, dan narasi untuk membayangkan dunia yang secara radikal berbeda dan lebih adil. Gerakan mistisisme dalam Islam dan Kristen, misalnya, seringkali muncul sebagai kritik internal terhadap legalisme kaku dan aliansi institusi agama dengan kekuasaan duniawi. Mereka menawarkan jalan batiniah yang melampaui kepatuhan formal, membuktikan bahwa agama mengandung penawar bagi racunnya sendiri. Meninggalkan agama berarti menyerahkan medan pertarungan simbolik ini sepenuhnya kepada mereka yang ingin memanfaatkannya untuk penindasan.  

Kedua, agama menyimpan sumber daya teologis untuk pembebasan. Teologi ketakutan yang berpusat pada narasi hukuman abadi adalah fondasi dari theosofobia. Tetapi, di dalam tradisi keagamaan itu sendiri, terdapat kontra-narasi yang kuat. Doktrin Kristen mula-mula tentang apokatastasis (restorasi universal), misalnya, menantang gagasan neraka abadi dengan visi Tuhan sebagai tabib ilahi yang pada akhirnya akan memulihkan semua ciptaan dalam kasih. Visi ini menggantikan keadilan retributif (pembalasan) dengan keadilan restoratif (pemulihan). Harapan kosmik ini kemudian diterjemahkan ke dalam tindakan konkret oleh Teologi Pembebasan. Dengan pilihan preferensial bagi kaum miskin, Gustavo Gutierrez (1971) menegaskan bahwa iman sejati menuntut praksis—tindakan dan refleksi—untuk melawan struktur ketidakadilan di dunia saat ini. Dengan demikian, agama tidak hanya memberikan visi, tetapi juga mandat teologis untuk memperjuangkan dunia yang lebih adil.  

Ketiga, agama menyediakan fondasi bagi etika welas asih yang melampaui kalkulasi untung-rugi. Sebuah masyarakat yang adil tidak bisa hanya bergantung pada institusi rasional; ia membutuhkan warga negara yang termotivasi oleh kepedulian terhadap sesama. Filsafat eksistensial, melalui pemikir seperti Emmanuel Levinas (1961), berargumen bahwa etika fundamental lahir dari tanggung jawab tak terbatas pada ‘wajah Yang Lain’—sebuah panggilan yang mendahului pilihan bebas kita. Panggilan radikal semacam ini seringkali menemukan bahasa dan justifikasinya dalam kerangka transenden yang disediakan oleh agama. Visi ini sejalan dengan politik welas asih (politics of compassion) yang diusulkan oleh Martha Nussbaum dalam karyanya Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013), yang menyatakan bahwa masyarakat yang adil harus secara aktif menumbuhkan emosi publik seperti welas asih. Tradisi keagamaan, dengan ritual, narasi, dan praktik komunalnya, adalah salah satu sistem budaya paling kuat untuk menumbuhkan emosi-emosi tersebut.  

Pada akhirnya, pertanyaan mengapa kita perlu agama? menemukan jawabannya dalam sebuah paradoks. Kita memerlukannya justru karena ia bisa sangat berbahaya. Potensinya untuk dimanipulasi menjadi mesin ketakutan menunjukkan betapa kuatnya ia dalam membentuk kesadaran manusia. Tugas kita bukanlah untuk meninggalkan arena yang kuat ini, melainkan untuk merebutnya kembali. Perjalanan dari theosofobia menuju philanthropia—cinta pada kemanusiaan—bukanlah sebuah eksodus dari agama, melainkan sebuah ziarah ke dalam jantungnya yang paling otentik untuk menemukan kembali imajinasi utopis, teologi pembebasan, dan etika welas asih yang telah lama menanti untuk dihidupkan kembali: jiwa rahmatan lil ‘alamin.

Tabik. 

 

0/Berikan Kritik - Saran/Comments