Menggonggong Norma, Mengeong Trauma




Eka Kurniawan, seorang maestro sastra kontemporer Indonesia yang dikenal dengan karya-karya epik dan realisme magisnya seperti Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau, kembali dengan sebuah karya yang provokatif dan intim: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong. Novel tipis setebal 148 halaman ini menandai sebuah pergeseran yang disengaja dari narasi besar Eka sebelumnya, menuju eksplorasi yang lebih terfokus pada psikologi anak, trauma religius, dan pemberontakan diri. Seperti yang Anda amati, karya mutakhir Eka Kurniawan ini memang agak beda dari karya-karya Eka sebelumnya, kadang Sato dikisahkan, lain waktu ia berkisah sebagai aku, menunjukkan eksperimen Eka dalam menemukan bentuk-bentuk baru penulisan novel.  

Novel ini berpusat pada Sato Reang, seorang anak laki-laki yang tumbuh di bawah asuhan ayahnya, Umar, yang sangat ketat dan otoriter. Sejak usia tujuh tahun, terutama setelah disunat, Sato Reang dipaksa untuk menjadi "anak saleh" – sebuah tuntutan yang mencakup kepatuhan ketat terhadap salat lima waktu dan mengaji Al-Qur'an setiap malam.

Namun, bagi Sato Reang, kewajiban-kewajiban ini terasa seperti "merenggut kebebasan dan kebahagiaannya". Tindakan keras ayahnya, seperti menghancurkan mainan kesayangannya—bola sepak dan boneka monyet—memicu kebencian mendalam dan pemberontakan dalam dirinya. Ia menolak konsep kesalehan yang dipaksakan, bahkan setelah kematian ayahnya, yang ironisnya, justru mengintensifkan konflik batinnya karena pengaruh sang ayah "menghantuinya" dan "menggerogoti dirinya semakin dalam". Ini bukan sekadar "daddy issue" , melainkan trauma fundamental yang membentuk seluruh identitas Sato Reang.  

Kisah ini, seperti yang Anda rasakan, layaknya menemukan dua sisi dari masa kecil hingga bertumbuh dewasa, yang kadang menginginkan kebebasan tanpa aturan-aturan. Sato Reang digambarkan sebagai karakter yang kompleks, labil dan ambigu. Namanya sendiri, Sato Reang, yang dalam bahasa orang Indramayu berarti "aku ini binatang," telah meramalkan pergulatannya dengan "kebinatangan" yang ia yakini bersemayam dalam diri setiap orang.

Kelabilan Sato terlihat dari tindakan-tindakan pemberontakannya, seperti mencuri, buang air kecil di tempat umum seperti anjing, dan secara aktif mencoba merusak temannya yang saleh, Jamal. Ambiguitasnya berasal dari kontras tajam antara citra "saleh" yang dipaksakan ayahnya dan penolakan mendalamnya terhadap hal itu. Keinginan Sato Reang akan "kebebasan tanpa aturan-aturan" adalah kekuatan pendorong utama bagi karakternya, sebuah penolakan mendalam terhadap perintah-perintah agama yang kaku dan dipaksakan secara eksternal yang menekan kecenderungan alaminya untuk eksplorasi dan ekspresi diri.  

Salah satu kutipan paling mencolok dan provokatif dalam novel ini adalah bisikan Sato Reang kepada temannya, Jamal: "Berbuatlah sedikit dosa, Jamal. Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu.". Jamal digambarkan sebagai "anak yang saleh, selalu sembahyang lima kali sehari, juga rajin mengaji" , menjadikannya target sempurna untuk pernyataan subversif Sato Reang.

Kutipan ini bukan sekadar saran nakal, melainkan sebuah pembalikan moralitas religius konvensional yang mendalam. Ini mengungkapkan pandangan sinis Sato Reang terhadap kesalehan yang bersifat performatif dan pemahamannya yang baru tentang anugerah atau kelebihan pahala. Ini secara langsung mengkritik sistem di mana "pahala" dipandang sebagai komoditas yang dapat diukur, dan "dosa" sebagai defisit.  

Pergeseran sudut pandang narasi, dari "Sato dikisahkan" (orang ketiga) menjadi "ia berkisah sebagai aku" (orang pertama), adalah pilihan gaya yang disengaja dan eksperimental dari Eka Kurniawan. Dualitas ini berfungsi sebagai representasi sastra langsung dari identitas Sato Reang yang terfragmentasi atau berevolusi dan konflik internalnya. Penggunaan "aku" menandakan momen-momen keintiman yang mendalam dan pemikiran internal, memungkinkan pembaca masuk ke dalam pikiran terdalam Sato Reang.

Sebaliknya, penggunaan "Sato Reang" (orang ketiga) menunjukkan pengamatan yang lebih objektif, bahkan mungkin terpisah, terhadap tindakannya sendiri, atau perasaan keterasingan dari diri yang dipaksakan kepadanya. Teknik ini sangat terkait dengan konsep aliran kesadaran (stream of consciousness), yang memungkinkan pembaca merasakan kondisi mental dan emosi karakter secara langsung. Beberapa kritikus bahkan membandingkan Sato Reang dengan Holden Caulfield dari The Catcher in the Rye karena kegelisahan berlebih dan sikap anti-hero mereka.  

Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah kritik tajam terhadap pola asuh religius yang kaku dan dampaknya yang menghancurkan pada jiwa seorang anak. Novel ini secara mendalam mengeksplorasi tema "trauma religius," yang didefinisikan sebagai efek merugikan yang bertahan lama pada kesejahteraan individu yang berasal dari peristiwa, hubungan, atau keadaan dalam atau yang terkait dengan kepercayaan, praktik, atau struktur keagamaan.

Kisah Sato Reang adalah studi kasus yang jelas tentang bagaimana pemaksaan nilai-nilai agama tanpa pemahaman atau kelembutan dapat menyebabkan pemberontakan batin dan kebencian yang mendalam terhadap praktik-praktik yang seharusnya membawa kedamaian. Otoritarianisme ayah Sato Reang digambarkan sebagai sistem "kekuasaan dan perlawanan" , di mana ayah menggunakan "kekuasaan simbolisnya" untuk mengendalikan anaknya, tetapi ini justru memicu "resistensi internal" pada Sato Reang.  

Pada akhirnya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah sebuah karya sastra yang signifikan yang melampaui resensi buku biasa untuk menawarkan eksplorasi mendalam tentang psikologi anak, dampak pola asuh otoriter, dan pergulatan dengan iman yang diwariskan. Novel ini dengan cemerlang menggambarkan perjalanan Sato Reang yang "labil dan ambigu" dari masa kanak-kanak hingga dewasa, sebuah proses yang ditandai oleh konflik batin yang intens dan keinginan yang tak tergoyahkan untuk "kebebasan tanpa aturan-aturan."

Citra "kucing menggonggong" dari judul novel melambangkan pembalikan norma dan suara yang mengganggu, tapi pada akhirnya membebaskan, dari mereka yang menolak untuk menyesuaikan diri. Novel ini menantang pembaca untuk merefleksikan keyakinan yang diwariskan dan makna sejati dari kebebasan dan iman, menjadikannya kontribusi penting bagi sastra kontemporer Indonesia yang berani menghadapi kebenaran yang tidak nyaman. (*)

0/Post a Comment/Comments