Menjelajahi Kembali Distopia Fahrenheit 451



Ray Bradbury, dengan novel distopianya Fahrenheit 451, telah lama menjadi mercusuar peringatan tentang bahaya sensor, kebebasan intelektual yang tergerus, dan kontrol sosial yang merayap. Kisah tentang masyarakat futuristik di mana "pemadam kebakaran" justru menyulut api untuk memusnahkan buku, demi hiburan dangkal dan keseragaman pikiran, terasa semakin relevan di tengah hiruk pikuk informasi global saat ini. Sebagai seorang penikmat kisah distopia, saya menonton film ini sekitar tahun 2020 yang lalu, dan pengalaman itu mendorong saya untuk kembali merenungkan pesan-pesan abadi Ray Bradbury melalui dua adaptasi sinematik yang signifikan: versi klasik tahun 1966 garapan François Truffaut dan interpretasi modern dari Ramin Bahrani pada tahun 2018.

Novel asli Bradbury sendiri adalah sebuah gambaran mengerikan tentang Guy Montag, seorang pemadam kebakaran yang awalnya patuh, tapi perlahan disadarkan oleh serangkaian peristiwa. Pertemuannya dengan Clarisse McClellan, seorang remaja yang berani bertanya, serta kesaksiannya atas seorang wanita tua yang memilih terbakar bersama buku-bukunya, menjadi titik balik. Montag mulai diam-diam mengumpulkan buku, mencari pemahaman dari Faber, seorang mantan profesor, dan akhirnya bergabung dengan "Orang-orang Buku"—komunitas yang menghafal literatur untuk melestarikan pengetahuan manusia.

Novel ini kaya akan tema sensor yang bukan hanya dari pemerintah, melainkan juga pilihan masyarakat sendiri yang lebih menyukai hiburan sederhana daripada pemikiran kompleks. Teknologi, seperti "dinding ruang tamu" dan "radio kerang", digambarkan sebagai alat yang mematikan rasa dan mengikis empati, menciptakan masyarakat yang terlalu terhibur untuk berpikir kritis.  

Adaptasi François Truffaut pada tahun 1966, yang menjadi film berwarna pertamanya dan satu-satunya film non-Prancis, secara umum setia pada plot inti novel. Truffaut menghadirkan gaya sinematik yang "minimalis, bergaya," dan "hipnotis," dengan citra berulang seperti mobil pemadam kebakaran yang melaju kencang dan halaman-halaman buku yang terbakar. Sebuah pilihan artistik yang mencolok adalah penggunaan kredit pembuka yang diucapkan, bukan tertulis, secara halus menegaskan tema dunia yang kehilangan kata-kata.

Julie Christie memerankan Clarisse dan Linda (istri Montag, Mildred dalam novel) secara ganda, sebuah keputusan yang memperdalam konflik psikologis Montag, seolah-olah perjuangan internalnya antara rasa ingin tahu dan konformitas diwujudkan dalam satu sosok. Film ini juga cerdik membangun keanehan dunia distopia melalui isyarat visual yang halus, seperti jam tangan yang dipakai terbalik atau tiang pemadam kebakaran yang membawa petugas naik dan turun. Meskipun ada beberapa penyimpangan, seperti nasib Clarisse yang jatuh cinta dengan Montag dan berhasil melarikan diri—berbeda dengan novel di mana Clarisse menghilang—film ini berhasil menangkap inti peringatan Bradbury tentang anti-intelektualisme dan hilangnya kebebasan berpikir. Martin Scorsese bahkan menyebutnya sebagai "gambar yang diremehkan" yang memengaruhi film-filmnya sendiri, dan Ray Bradbury sendiri menyukai adaptasi ini.  

Berbeda dengan pendekatan Truffaut, adaptasi Ramin Bahrani tahun 2018, yang dibintangi Michael B. Jordan sebagai Montag dan Michael Shannon sebagai Kapten Beatty, berupaya memodernisasi cerita ke era digital. Film ini berlatar di Amerika futuristik setelah "Perang Saudara Amerika Kedua," di mana sebagian besar kegiatan membaca terbatas pada "The 9" (Internet), dan pembakaran buku disiarkan langsung di media sosial. Plotnya menyertakan penyimpangan signifikan, seperti rencana para pemberontak ("Eels") untuk melestarikan pengetahuan dengan menyematkan buku-buku ke dalam DNA burung jalak, yang dibantu Montag untuk diangkut ke Kanada.  

Namun, upaya modernisasi ini justru menjadi bumerang. Film 2018 dituduh "mengosongkan Fahrenheit dari ide intinya" dan mereduksinya menjadi "omelan acak tentang segala jenis teknologi elektronik" daripada kritik yang terfokus pada konsumsi pasif. Plot "burung DNA" secara luas dikritik sebagai "mengada-ada" dan "konyol," merusak tema-tema pelestarian pengetahuan yang lebih mendasar yang ditekankan novel melalui ingatan manusia. Karakter Clarisse diubah secara signifikan, menjadi "mesin eksposisi" yang kehilangan kepolosan dan pengaruhnya terhadap Montag, sementara karakter Mildred dihilangkan sama sekali, menghilangkan representasi kunci dari populasi yang pasif dan kecanduan teknologi. Film ini terlalu fokus pada sensor terang-terangan dan pesan "polisi itu jahat," menyederhanakan eksplorasi novel yang lebih kompleks tentang apatis masyarakat.  

Dalam perbandingan, film 1966, meskipun ada penyimpangan, berhasil menangkap "semangat" dan "peringatan inti" novel melalui pilihan artistik dan penguatan tematik yang halus. Film ini menciptakan suasana yang meresahkan dan merenung yang selaras dengan pesan Bradbury. Sebaliknya, film 2018, meskipun menarik secara visual dan diperankan dengan baik, sebagian besar dikritik karena "skenario yang canggung" dan "kurangnya kesetiaan pada materi sumber," gagal mempertahankan "kekuatan politik dan kejelian" novel.  

Peringatan Fahrenheit 451 tetap relevan di dunia saat ini. Penyebaran informasi yang salah, ruang gema media sosial, budaya pembatalan, dan perdebatan yang sedang berlangsung tentang sensor dan kebebasan intelektual semuanya mencerminkan tantangan yang diprediksi oleh Bradbury. "Pembunuhan ingatan" bukanlah sekadar fenomena sejarah yang didokumentasikan oleh Fernando Báez dalam karyanya Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, tetapi ancaman berkelanjutan, baik melalui penghancuran terang-terangan maupun erosi pemikiran kritis yang halus.

Oleh karena itu, kedua film adaptasi ini, terlepas dari keberhasilan atau kekurangannya, menegaskan kembali pentingnya abadi buku, pemikiran kritis, dan pelestarian pengetahuan yang beragam sebagai perlindungan penting terhadap masa depan distopia yang digambarkan dengan sangat jelas oleh Fahrenheit 451.

0/Berikan Kritik - Saran/Comments