Merebut (Kembali) Kuasa

 

(Sumber Foto: Vitaliy Shevchenko/unpslash.com)

Sejarah politik acapkali ditulis dengan tinta kesemasan dan kegetiran. Filsuf Thomas Hobbes, dalam mahakaryanya Leviathan, berpendapat bahwa negara sejatinya lahir dari naluri kita untuk lari dari kekacauan brutal bellum omnium contra omnes (perang antar sesama individu). Kita merelakan kemerdekaan diri kepada sebuah kuasa absolut karena rasa takut pada anarki (kekacauan) jauh melampaui ketakutan kita pada tirani (penindasan). Namun, jalan keluar ini justru melahirkan paradoksnya sendiri: kuasa yang dihadirkan untuk menyelamatkan kita dari ketakutan menjelma menjadi sumber trauma baru. Rakyat tak lagi dipandang sebagai tujuan, melainkan sekadar objek yang perlu dikelola, didisiplinkan, dan dikontrol.

Dalam wujud modernnya, sebagaimana diurai oleh Michel Foucault, kuasa ini menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan, menjadi apa yang disebutnya biopolitik—sebuah teknologi untuk menata hidup itu sendiri, dari urusan kesehatan hingga reproduksi, dari lowongan pekerjaan yang dijanjikan hingga tagihan pajak yang tak pernah alpa, demi kelangsungan negara. Pertanyaan mendasar pun mengemuka: bagaimana kita dapat meraih keteraturan tanpa penindasan? Bagaimana kita bisa menghadirkan kuasa yang tak lagi melukai, tetapi justru meruwat dan menyembuhkan?

Jawabannya menuntut perombakan mendasar atas cara kita memaknai legitimasi kekuasaan. Alih-alih memandangnya sebagai hak absolut yang dimiliki penguasa, kita dapat membingkainya kembali sebagai sebuah kontrak moral yang didasarkan pada kinerja. Filsuf Tiongkok kuno, Mencius, menawarkan jalan lain sebagai antitesis nalar Hobbesian. Melalui gagasan Mandat Langit (Tianming), ia berargumen bahwa legitimasi seorang penguasa tidak melekat pada statusnya, melainkan pada kemampuannya untuk menyejahterakan rakyat. Jika seorang penguasa menjadi tiran dan menyebabkan penderitaan, Langit akan menarik mandatnya, dan rakyat memiliki hak etis untuk memberontak. Ini adalah pergeseran seismik: dari kuasa sebagai hak milik menjadi kuasa sebagai amanah. Kuasa yang tidak traumatik adalah kuasa yang akuntabel, yang legitimasinya terus-menerus diuji dan dibuktikan melalui kemampuannya melayani, bukan mendominasi.

Namun, sekadar tidak menindas saja tidak cukup. Kuasa yang benar-benar humanis harus memiliki tujuan yang positif. Di sinilah Pendekatan Kapabilitas dari filsuf Martha Nussbaum memberikan suluh yang benderang. Menurut gagasan Martha Nussbaum tentang Pendekatan Kapabilitas, tujuan hakiki dari sebuah tatanan politik yang berkeadilan melampaui sekadar pemeliharaan stabilitas. Visi ini menuntut negara untuk secara aktif menciptakan ruang kesempatan yang substantif (kapabilitas) bagi setiap warga negara agar dapat mencapai pengembangan potensi insani secara utuh dan menjalani kehidupan yang bermartabat.

Dalam kerangka ini, tugas negara tidak lagi pasif, melainkan menjadi fasilitator aktif dengan menjamin terpenuhinya prasyarat-prasyarat mendasar seperti kesehatan, pendidikan, dan keutuhan jasmani. Lebih jauh lagi, negara berkewajiban menciptakan ruang aman bagi setiap individu untuk bertumbuh secara emosional, bebas dari bayang-bayang ketakutan dan kecemasan yang melumpuhkan, sekaligus memastikan hak mereka untuk menjalin ikatan sosial (afiliasi) dan diakui sebagai warga negara yang setara, tanpa terhalang oleh sekat-sekat diskriminasi.

Kekuasaan tidak lagi dipahami sebagai instrumen eksploitasi, melainkan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi kemanusiaan. Logikanya bergeser secara fundamental: dari imperatif untuk 'mengontrol' menjadi panggilan untuk 'memberdayakan'. Pertanyaan yang diajukan bukan lagi, 'Bagaimana cara menundukkan rakyat?', melainkan, 'Bagaimana cara memberdayakan setiap individu untuk mengaktualisasikan potensi paripurnanya?'.

Tentu saja, masyarakat yang beragam pasti memiliki konflik kepentingan dan perbedaan pandangan yang tajam. Politik ketakutan merespons perbedaan ini dengan mengubahnya menjadi permusuhan, di mana lawan politik dibingkai sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Hal ini menciptakan trauma polarisasi yang mendalam. Filsuf politik Chantal Mouffe menawarkan jalan keluar melalui gagasan pluralisme agonistik. Ia berpendapat bahwa demokrasi yang sehat tidak berupaya memadamkan konflik, melainkan mengubah (mentransformasi) wajahnya. Kita harus mengubah relasi antagonisme (musuh-lawan-musuh) menjadi relasi agonisme (seteru-tanding). Dalam sebuah gelanggang agonistik, kita dapat bertarung sengit demi sebuah visi, tapi tetap mengakui keabsahan seteru kita untuk memperjuangkan visi mereka juga. Inilah politik yang mengakui perbedaan tanpa perlu merenggut kemanusiaan "yang lain", menciptakan ruang publik yang dinamis tetapi tetap beradab.

Membangun politik martabat kemanusiaan—yang bertumpu pada kontrak moral, bertujuan pada pengembangan kapabilitas, dan mengelola konflik secara agonistik—bukanlah sebuah mimpi utopis, melainkan sebuah proyek konkret yang menuntut keikutsertaan kita semua. Tanggung jawab ini tak bisa hanya diserahkan kepada para elite. Ia membutuhkan warga negara yang tercerahkan, yang dibekali kesadaran kritis (conscientizacao) melalui pendidikan yang membebaskan, seperti yang diserukan Paulo Freire. Ia memerlukan masyarakat sipil yang waskita, yang berani mengawasi jalannya kuasa seraya merajut tenun toleransi dari akar rumput, sebagaimana dipraktikkan oleh lembaga seperti SETARA Institute dan Wahid Foundation di Indonesia.

Kuasa yang tidak traumatik hanya bisa lahir dari masyarakat yang menolak untuk ditakut-takuti, yang berani bicara (speak up) tanpa rasa was-was. Inilah panggilan zaman kita: kita semua perlu turun tangan merebut kembali politik dari cengkeraman ketakutan dan menjadikannya wahana untuk merawat martabat kemanusiaan bersama.

Tabik.


0/Berikan Kritik - Saran/Comments