Novel Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa) karya Linus Suryadi AG adalah sebuah permata sastra yang mengajak kita menyelami kedalaman filosofi Jawa melalui kisah seorang perempuan biasa yang luar biasa. Sejak pertama kali melihat anak judulnya, "Dunia Batin Seorang Wanita Jawa", novel ini sudah menjanjikan sebuah perjalanan yang menarik ke dalam jiwa dan budaya yang kaya. Dan memang, Linus Suryadi AG berhasil menyajikan kompleksitas Jawa dengan cara yang ringan dan menghibur, bahkan bagi pembaca yang mungkin belum akrab dengan seluk-beluk bahasanya.
Pariyem, atau Maria Magdalena Pariyem, adalah tokoh sentral yang memikat. Seorang babu dari Wonosari, Gunung Kidul, yang mengabdi di Ndalem Suryamentaraman Ngayogyakarta. Sekilas, ia mungkin tampak sebagai representasi kepasrahan seorang wanita Jawa. Namun, di sinilah Linus Suryadi AG melakukan subversi brilian. Pariyem mendefinisikan ulang konsep nrimo—penerimaan atau pasrah—bukan sebagai sikap fatalistik tanpa perlawanan, melainkan sebagai "sinergi kata dan karya, ucap dan sikap, kepantasan dan memantaskan diri."
Bagi Pariyem, nrimo adalah pilihan sadar, sebuah penyerahan diri yang justru memberdayakan. Ketika ditinggalkan kekasihnya, Kliwon, ia "lega-lila". Saat "ditiduri anak majikan", Den Bagus, ia tidak hanya pasrah karena posisinya sebagai babu, tetapi juga karena ia "menikmatinya" dan bahkan mengambil inisiatif untuk menggoda. Ini adalah sebuah "ketegasan sikap" yang kontras dengan stereotip wanita Jawa yang pasif. Pariyem menunjukkan bahwa nrimo baginya adalah menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan, mengalir, tulus, dan memantaskan diri, tanpa menyimpan dendam atau merasa terpaksa. Ia meyakini bahwa rezeki dan jalan hidupnya "sudah diatur oleh Hyang Maha Agung," sebuah kepercayaan yang mengangkat nrimo-nya menjadi dimensi spiritual yang mendalam.
Novel ini juga dengan apik menggambarkan bagaimana Pariyem menavigasi hierarki sosial. Meskipun seorang babu, ia diperlakukan secara manusiawi, bahkan setara, di Ndalem Suryamentaraman. "Tak ada pembedaan priyayi dan babu," mereka hidup "selayaknya teman." Ini menunjukkan sebuah visi masyarakat yang harmonis, di mana martabat sejati berasal dari kualitas batin dan perlakuan saling menghormati, bukan dari status.
Linus Suryadi AG juga memperkaya narasi dengan berbagai konsep filosofis Jawa seperti bibit, bobot, bebet (yang diinterpretasi ulang oleh Pariyem melalui kualitas karakternya), asih, asah, asuh (menekankan kasih sayang dan pengampunan), serta lirih, laras, lurus (prinsip komunikasi yang bijaksana). Semua ini tidak hanya menjadi latar belakang, tetapi juga kerangka yang membentuk karakter dan tindakan Pariyem, menunjukkan bagaimana kebijaksanaan tradisional dapat dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari.
Gaya prosa Linus Suryadi AG yang puitis dan narasi orang pertama Pariyem memungkinkan pembaca untuk masuk secara intim ke dalam dunia batinnya. Meskipun ada beberapa istilah Jawa yang mungkin asing, alur cerita dan kedalaman karakter Pariyem mampu membawa pembaca melewati hambatan bahasa, menjadikan novel ini sangat menarik dan mudah dihubungkan. Pariyem sendiri adalah simbol multifaset: harapan, cinta, keikhlasan, kebahagiaan, sekaligus kesedihan, kesepian, kehilangan, dan kemanusiaan semesta.
Pada akhirnya, Pengakuan Pariyem bukan sekadar cerita tentang seorang wanita Jawa, melainkan sebuah meditasi filosofis tentang sifat kebahagiaan, ketahanan, dan keaslian manusia. Pesan penutupnya, "Betapa sederhana sebuah kebahagiaan. Betapa kebahagiaan bisa sederhana," merangkum inti dari novel ini: bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam penerimaan diri, rasa syukur, dan keaslian, seperti yang dicontohkan oleh Pariyem. Novel ini adalah sebuah karya yang patut dibaca dan direnungkan kembali. (*)
Posting Komentar