Dalam sejarah panjang peradaban manusia, pendidikan selalu ditempatkan sebagai pilar utama bagi kemajuan bangsa. Namun, di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, pertanyaan mendasar patut kita ajukan kembali: apa sesungguhnya tujuan akhir pendidikan? Apakah sekadar mencetak tenaga kerja terampil, melahirkan lulusan yang kompetitif, atau menyiapkan individu untuk menempati posisi dalam struktur ekonomi? Jawaban yang paling hakiki adalah: pendidikan harus melahirkan kesadaran kritis. Pendidikan hanya dapat dikatakan berhasil bila ia melahirkan manusia-manusia yang berani berpikir, berani mempertanyakan, dan berani bertindak berdasarkan nurani yang tercerahkan.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, dengan
tegas menyatakan bahwa pendidikan sejatinya bukanlah proses “deposito
pengetahuan” di mana guru menjejalkan fakta ke dalam benak murid, melainkan
sebuah proses pembebasan. Pendidikan harus membuka ruang dialogis, di mana
peserta didik belajar membaca dunia, bukan hanya membaca teks. Membaca dunia
berarti memahami realitas sosial, ekonomi, dan politik di sekitarnya; menyadari
struktur ketidakadilan yang berlangsung; serta menumbuhkan keberanian untuk
mengubahnya. Inilah inti dari kesadaran kritis.
Sayangnya, pendidikan di banyak tempat, termasuk di
Indonesia, kerap terjebak dalam reduksi fungsional: menyiapkan generasi yang
“siap kerja.” Orientasi pragmatis ini memang diperlukan, tetapi jika dijadikan
satu-satunya tujuan, pendidikan hanya akan melahirkan manusia-manusia teknis,
bukan manusia utuh. Padahal, seorang teknokrat yang tidak kritis justru
berpotensi menjadi bagian dari mesin penindasan: ia bisa menjadi birokrat yang
patuh pada kebijakan salah, atau profesional yang terampil tetapi apatis
terhadap ketidakadilan.
Kesadaran kritis tidak lahir dari hafalan, melainkan dari
kemampuan bertanya. Seorang murid yang kritis tidak puas dengan jawaban
sederhana; ia akan terus menggali alasan, konteks, dan dampak. Ia tidak mudah
terperangkap oleh propaganda, tidak mudah ditipu oleh slogan politik, dan tidak
gampang tunduk pada arus mayoritas. Manusia kritis mampu mengambil jarak dari
realitas untuk menimbangnya dengan akal sehat dan hati nurani.
Mengapa kesadaran kritis begitu penting? Karena dunia modern
dibangun di atas kompleksitas yang tidak sederhana. Informasi berseliweran
tanpa henti, teknologi digital memungkinkan manipulasi opini, sementara
ketidakadilan sosial-ekonomi makin menganga. Dalam kondisi demikian, hanya
orang-orang kritis yang mampu menavigasi kehidupannya dengan jernih. Mereka
tidak akan menjadi korban hoaks, tidak mudah diprovokasi, dan lebih penting:
mereka sadar bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat yang harus diperjuangkan
bersama.
Jika pendidikan berhasil menumbuhkan kesadaran kritis, maka
bangsa akan dipenuhi warga yang peduli, bukan hanya kompeten. Mereka bukan
sekadar pekerja yang patuh, melainkan warga negara yang aktif mengawal
demokrasi. Mereka tidak hanya mengejar keuntungan pribadi, tetapi juga menjaga
keadilan sosial. Inilah yang dibayangkan Ki Hadjar Dewantara ketika menyebut
pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia. Kemerdekaan itu bukan hanya
bebas memilih jalan hidup, melainkan juga merdeka dari belenggu kebodohan, kemiskinan,
dan penindasan.
Lantas, bagaimana cara menumbuhkan kesadaran kritis dalam
praktik pendidikan? Pertama, dengan mengubah paradigma pengajaran. Guru
tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, melainkan sebagai
fasilitator dialog. Kelas tidak boleh hanya menjadi ruang untuk mendengar,
tetapi juga ruang untuk bertanya, berdiskusi, bahkan berbeda pendapat. Kedua,
kurikulum harus memberi ruang bagi mata pelajaran yang menekankan analisis,
refleksi, dan etika, bukan sekadar penguasaan rumus. Pendidikan karakter tidak
cukup jika hanya berupa hafalan nilai; ia harus dibarengi dengan latihan
berpikir kritis atas realitas sosial.
Ketiga, sekolah dan kampus mesti terhubung dengan
kehidupan nyata. Murid perlu diajak terjun ke masyarakat, memahami masalah
lingkungan, berdialog dengan kelompok rentan, dan mengerjakan proyek sosial.
Dengan begitu, mereka tidak hanya belajar teori, tetapi juga menyaksikan
langsung wajah ketidakadilan. Dari pengalaman nyata inilah kesadaran kritis
sering tumbuh lebih cepat.
Di sisi lain, pendidikan kritis tidak berarti menumbuhkan
sikap sinis atau nihilistis. Kesadaran kritis justru melahirkan harapan. Murid
yang kritis tidak berhenti pada kritik, tetapi juga berani merumuskan
alternatif dan solusi. Ia belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Kesadaran
kritis adalah fondasi dari partisipasi demokratis: warga negara yang kritis
akan mengawasi penguasa, namun sekaligus terlibat aktif dalam merawat bangsa.
Dengan demikian, ukuran keberhasilan pendidikan bukanlah
angka indeks prestasi atau ranking internasional, melainkan sejauh mana lulusan
mampu berpikir kritis dan bertindak etis. Pendidikan yang baik akan melahirkan
generasi yang berani menolak ketidakadilan, sekaligus berani merajut harapan.
Posting Komentar