![]() |
Ilustrasi AI |
Gresek-gresek... gresek-gresek...
Bunyi itu datang saban senja,
seperti doa yang tak pernah rampung dipanjatkan. Aku selalu duduk di teras
rumah kontrakan tua ini, menatap langit yang memerah seperti luka lama yang
belum mengering. Di kejauhan, suara terompah kayu itu mendekat, lalu menjauh,
lalu kembali lagi—mendekat dan menjauh—seolah waktu berputar dalam lingkaran
yang sama, setiap hari.
Perempuan itu akan melintas tepat
saat matahari hendak tenggelam. Rambutnya panjang, diikat seadanya, matanya tak
pernah menatap ke kiri atau ke kanan. Di tangannya ada rantang kecil, dan di
kakinya, sepasang terompah tua yang sudah aus. Bunyinya khas—gesekan kayu dan
aspal basah yang membekas di benakku jauh lebih dalam daripada ayat-ayat kitab
manapun.
Orang-orang di sekitar gang
menyebutnya "Penjaga Ibu". Ia tak pernah menikah, tak pernah pergi
jauh, dan konon menolak semua lamaran yang datang hanya demi satu hal: merawat
ibunya yang lumpuh sejak dua puluh tahun lalu.
Bagiku, ia bukan sekadar perempuan.
Ia adalah puisi yang berjalan perlahan dalam dunia yang tergesa.
Suatu hari, saat aku sedang membaca
ulang larik Sapardi, angin menerbangkan halaman buku hingga satu baris puisinya
jatuh di lantai teras:
“Maka pada suatu pagi hari ia ingin
sekali menangis...”
Aku memungut kertas itu dengan
hati-hati, seperti memungut ingatan. Lalu, entah mengapa, aku
menatapnya—perempuan itu yang tengah lewat, dan hatiku ikut terseret suara
terompahnya.
Aku datang ke kota ini bukan untuk
mencari inspirasi. Aku justru datang karena kehilangan. Kota kelahiranku kini
hanya tinggal potongan-potongan kenangan buruk dan debat redaksi yang tak
pernah selesai. Kata-kata yang dulu setia padaku kini membangkang. Novel
terakhirku dikritik habis-habisan. Satu-satunya ulasan yang masih kuingat
menyebut tulisanku “penuh metafora kosong dan terlalu mendewakan penderitaan.”
Ironis. Karena justru di kota kecil
ini, di gang reot yang jarang disambangi ojek online, aku menemukan kembali
puisi yang tak kutulis—tapi berjalan. Dengan terompah. Dengan luka yang tak
disebutkan, tapi begitu terasa.
***
Malam itu hujan turun. Tidak deras,
tapi cukup untuk membuat atap rumah ini bergetar seperti ketakutan. Aku demam.
Mungkin karena perubahan cuaca, atau mungkin karena luka yang selama ini
kupendam mulai mengirimkan isyarat tubuh.
Dan malam itu juga, aku melihatnya. Bukan
perempuan penjaga ibu. Tapi seorang laki-laki. Tanpa celana. Berdiri di sudut
kamar, tubuhnya kurus, basah, dan dari selangkangannya mengucur darah. Ia tidak
menatapku, tapi menatap langit-langit kamar. Matanya kosong.
"Aku... mereka memotong
kemaluanku," katanya pelan, seperti menggumam. "1965."
Aku menggigil. Antara takut,
kedinginan, dan ingin menangis.
Dan sejak malam itu, setiap aku
mendengar suara terompah, aku tak lagi hanya membayangkan seorang perempuan
yang setia menjaga ibunya.
Aku membayangkan masa lalu yang tak
pernah mati, hanya menyamar menjadi bayangan di kolam tua, suara di teras
rumah, dan darah yang terus mengalir dari puisi yang belum selesai ditulis.
***
Rumah yang kusewa itu terletak di
ujung gang yang sudah jarang dilalui. Di belakangnya mengalir sungai kecil,
dulu katanya jernih, tapi kini hanya aliran lumpur lambat yang menampung
reruntuhan plastik dan suara-suara malam. Halamannya luas, meski tak terawat.
Dan di tengah halaman itu, ada satu hal yang membuatku gelisah sejak pertama
kali melihatnya: kolam renang tua.
Retakan-retakan di dinding kolam
membentuk pola seperti tulang rusuk patah. Airnya keruh, diam, dan memantulkan
bayangan rumah seperti cermin yang tak jujur. Aku bertanya pada pemilik rumah
saat serah terima kunci.
“Dulu ada yang pernah tenggelam di
kolam itu?”
Ia hanya tersenyum, tanpa menjawab.
Senyum yang lebih dekat pada peringatan daripada keramahan.
Malam pertama di rumah itu datang
bersamaan dengan hujan. Rintiknya tak seperti biasanya. Ada semacam irama,
seolah langit sedang mengetuk sesuatu—bukan pintu, bukan jendela, tapi bagian
terdalam dari diriku. Aku demam. Tubuhku menggigil, dan dalam kabut kesadaran
yang setengah basah itu, aku melihatnya.
Laki-laki itu.
Ia berdiri di ujung tempat tidur,
pucat, basah kuyup, dan... telanjang dari pinggang ke bawah.
Darah mengalir dari selangkangannya.
Merembes ke lantai. Warnanya merah tua, nyaris hitam, seperti telah disimpan
terlalu lama dalam bejana sunyi.
“Mereka memotong kemaluanku,”
katanya lirih. “1965…”
Aku ingin berteriak, tapi suara
tercekat di tenggorokan. Ia tak bergerak. Hanya menatap ke arahku dengan sorot
mata yang tak meminta simpati. Yang ia bawa bukan penderitaan, tapi kesaksian.
Aku tak tahu harus berbuat apa.
Mungkin karena naluriku sebagai penulis, aku spontan memungut buku puisi
Sapardi dari meja dan mulai membacanya, dengan suara parau dan tangan gemetar:
“Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana...”
“Dengan kata yang tak sempat diucapkan...”
“Kayu kepada api yang menjadikannya abu...”
Ia mendengarkan. Ia duduk di lantai.
Ia menangis—tanpa suara.
"Puisi tak menyembuhkan luka,
Tuan," katanya kemudian. "Ia hanya memberi ruang untuk menangis. Dan
di negeri ini, kami dilarang menangis."
***
Pagi harinya, aku terbangun dengan
tubuh masih panas dan selimut basah. Tak ada darah di lantai. Tak ada bekas
siapa pun di kamar itu. Hanya kolam tua di luar sana yang memantulkan cahaya
matahari seperti cermin tua yang menatap balik ke wajahku. Lama-lama aku sadar:
rumah ini bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang penampungan luka-luka
sejarah yang tak sempat dimakamkan.
Dan laki-laki itu—mungkin bukan
hantu. Ia bisa jadi ingatan yang menolak dilupakan. Sebuah duka yang diturunkan
dari satu generasi ke generasi lain. Ia bisa menjadi siapa saja: ayah, paman,
guru, atau bahkan bayangan dari diriku sendiri.
***
Menjelang sore, suara itu kembali
datang.
Gresek-gresek… gresek-gresek…
Perempuan itu lewat seperti biasa,
membawa rantang dan sepasang mata yang tak bisa lagi membedakan masa lalu dari
hari ini. Tapi hari itu, ia berhenti di depan pagar rumahku. Hujan mulai turun.
Ringan.
"Rumah itu pernah menampung
banyak airmata," katanya tanpa menatapku.
"Aku melihat seseorang,"
kataku, ragu.
Ia mengangguk. "Bukan hanya
kau. Dulu, Ibu juga sering melihatnya. Kolam itu menyimpan lebih banyak cerita
daripada yang bisa ditulis dalam buku.”
Ia berjalan pergi. Suara terompahnya
kembali menyentuh aspal.
Aku menatap kolam. Bayanganku
terpantul di air keruh. Tapi ada sosok lain di sebelahku. Sosok laki-laki,
berdiri telanjang, menatapku lewat pantulan.
Malam itu, aku menyalakan lampu di
teras dan membuka jendela. Di luar, langit tak lagi merah. Tapi aku tahu, di
balik kabut dan hujan yang pelan-pelan turun, ada seseorang yang menanti. Bukan
untuk menghantui. Tapi untuk didengarkan. Dan mungkin... dituliskan.
***
Bandar Lampung, Musim Semi 1998
Di ruang tamu rumah tua itu, waktu
seperti tak bergerak. Dindingnya masih memajang kalender tahun 1987. Televisi
hitam-putih di sudut ruangan menampilkan siaran tanpa suara. Hanya denting
sendok pada cangkir teh dan desahan kipas angin rusak yang memecah keheningan.
Perempuan itu masih remaja. Usianya
tujuh belas, namun sorot matanya lebih tua dari tahun-tahun yang dijalaninya.
Ia duduk di lantai, memeluk lutut, mendengarkan dua saudaranya yang bertengkar.
“Kau pikir merawat Ibu akan
memberimu surga?”
“Jakarta menunggumu! Uang! Mobil! Masa depan!”
Kata-kata itu seperti peluru yang
menyasar jantungnya yang sudah retak sejak lama. Ia hanya diam, matanya menatap
sepasang terompah kayu tua di dekat pintu. Terompah ayah.
Ayah yang suatu malam dibawa pergi
oleh orang-orang berseragam, tak pernah kembali. Tak ada surat. Tak ada
kuburan. Hanya kabar dari radio: “Pembersihan pengkhianat bangsa.”
Ibunya tidak pernah bicara tentang
itu. Tapi setiap malam, ia duduk diam di dekat kolam, memandangi air hitam
pekat yang diam-diam menyimpan wajah masa lalu. Kadang, ia meletakkan kembang
kenanga di atas permukaan air. Kadang, ia berbicara dengan seseorang yang tak
terlihat.
Dan kini, anak perempuannya—yang
paling kecil—yang memilih tinggal, mengurus tubuh renta dan pikiran yang
pelan-pelan keropos.
***
Pagar rumah itu selalu terkunci.
Bukan karena takut maling, tapi karena dunia di luar sana terlalu gaduh,
terlalu cepat, dan terlalu tidak peduli.
Tetangganya pernah bertanya,
“Mengapa tak kau ajak ibumu ke psikiater?”
Ia hanya menjawab pelan, “Kadang,
luka tak ingin disembuhkan. Ia hanya ingin dikenang.”
Dua saudaranya memilih jalan
berbeda. Mereka pergi ke Jakarta, membawa ijazah dan ambisi. Setiap lebaran,
mereka pulang sebentar, membawa parcel dan amplop. Tapi tak pernah tinggal
lebih dari dua malam. Mereka takut akan rumah itu. Takut pada keheningannya.
Takut pada kolam dan suara-suara di malam hari.
Sore itu, mereka memaksanya untuk
pergi juga.
“Ibu tak akan sadar. Pikirannya
sudah separuh mati.”
“Kalau kau tinggal di sini terus, kau akan gila.”
Ia memandang ke halaman belakang. Di
sana, seorang laki-laki tanpa celana sedang menyiram bunga, wajahnya damai,
matanya berkaca-kaca. Tapi itu hanya bayangan. Atau mungkin bukan. Ia tak yakin
lagi.
“Aku tinggal,” katanya pelan.
“Karena seseorang harus tinggal.”
Mereka mendengus. Meninggalkan rumah
dengan langkah marah. Tak sempat menutup pagar. Tak sempat pamit pada ibu
mereka yang sedang berbicara dengan angin di samping kolam.
***
Dulu, sebelum semuanya rusak, ayah
sering pulang kerja membawa kembang. Bukan karena romantis. Tapi karena ibunya,
guru SD yang keras hati, selalu memaafkan dengan cepat jika dibawakan bunga.
Kembang sepatu. Melati. Kenanga.
Dan kini, laki-laki tanpa celana
sering muncul membawa kembang pula.
Malam-malam tertentu, ia akan muncul
di dekat kolam, duduk diam, lalu meletakkan kembang di atas air. Kadang-kadang,
ia menyanyi dengan suara yang nyaris tak terdengar. Lagu-lagu lama, lagu yang
biasa dinyanyikan ayah.
Ia sadar: laki-laki itu bukan
siapa-siapa—dan sekaligus mungkin siapa-siapa. Ia adalah ayah yang tak kembali.
Ia adalah sejarah yang tak selesai. Ia adalah ketakutan yang diwariskan
turun-temurun.
***
Ketika semua pintu ditutup, ia hanya
punya satu hal: sepasang terompah ayahnya. Terbuat dari kayu jati tua, kini
sudah aus dan tak seimbang. Tapi ia tetap memakainya, setiap kali ke pasar,
setiap kali membuang sampah, setiap kali menunggu ambulans saat ibunya kambuh.
Gresek-gresek… gresek-gresek… suara
terompah itu menjadi nyanyian rumah. Menjadi penanda bahwa masih ada yang
tinggal. Masih ada yang menjaga. Dan mungkin, masih ada yang mencintai.
***
“Pagar yang terkunci bukan untuk
mengurung Ibu,” katanya suatu kali, “tapi untuk melindungi dunia dari kesunyian
yang jujur.”
Ia sadar, dunia luar tak pernah siap
menghadapi kenyataan seperti laki-laki tanpa celana. Dunia hanya ingin kisah
bahagia. Dunia hanya mau kemenangan dan kemajuan. Tapi rumah ini, kolam ini,
pagar ini, dan dirinya—adalah monumen kekalahan. Dan ia tak malu akan itu.
***
Bandar Lampung, 12 Juni.
Pagi itu langit menangis dalam diam.
Hujan turun pelan-pelan, seperti ingin menghindari bunyi. Daun-daun mangga
gemetar, genting rumah tua berderik, dan kolam renang yang tak lagi digunakan
itu—menyambut air dengan pasrah.
Dari balik tirai jendela, aku
melihatnya berlutut di tepi kolam. Perempuan itu. Rambutnya digelung
sembarangan, pakaiannya basah sebagian, dan di tangannya tergenggam sebatang
kembang kenanga. Perlahan, ia menunduk, membiarkan tetes hujan menyatu dengan air
mata.
Aku keluar. Langkahku basah. Tak
membawa payung.
“Kenapa di sini?” tanyaku.
Ia tak menjawab. Jarinya menunjuk ke
permukaan kolam. Airnya keruh, berlumut, tapi di tengah pantulan langit
mendung, aku melihat sesuatu. Atau seseorang.
Siluet seorang pria. Kurus. Tua.
Tanpa celana. Ia berdiri diam di balik bayangan, seolah menunggu giliran untuk
bicara. Atau untuk dikenang.
“Ini… ayahku,” bisiknya lirih. “Ibuku…
bukan merawat tubuhnya. Ia merawat traumanya. Aku, hanya melanjutkan.”
Aku tercekat. Di dalam hening, suara
puisi muncul dari mulutnya. Perlahan, seolah ia membaca bukan untukku, tapi
untuk kolam dan lelaki itu:
"Tak ada yang lebih tabah dari
hujan bulan Juni,
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu…"
— Sapardi Djoko Damono
Suara itu pecah di udara. Hujan
tiba-tiba berhenti. Lalu, bunyi yang lebih tua dari cuaca terdengar:
Gresek-gresek… gresek-gresek…
Suara terompahnya. Ia bangkit dan
berjalan menjauh, meninggalkan kembang di permukaan kolam. Aku tetap di tempat,
menatap bayangan di air yang kini memantulkan tiga sosok: dia, pria itu, dan
aku sendiri.
***
Hari-hari berikutnya, kami tak
banyak bicara. Tapi aku mulai mengerti: bagi perempuan itu, puisi bukan
pelarian, melainkan pelindung. Ia menempelkan puisi-puisi Sapardi di lemari es,
di bingkai foto ayahnya, bahkan di cermin kamar mandi.
Setiap kali ibunya meracau, ia akan
membisikkan bait puisi.
“Mengapa puisi?” tanyaku.
“Karena dunia tak pernah benar-benar bisa mendengar jeritan.”
Ia menunjuk ke sebuah buku catatan
lusuh. Di sana, tertulis puluhan bait yang ia salin dengan tangan sendiri. Satu
bait yang paling sering ia ulang berasal dari puisi Sapardi lainnya:
“Maka aku akan sangat sederhana
agar kau bisa mencintaiku tanpa syarat.”
Baginya, puisi adalah cara melawan
absurditas hidup. Saat tetangga mencibir, saat saudara mencela, saat Jakarta
memanggil, puisi-lah satu-satunya bahasa yang tak menghakimi.
***
Setiap pagi, ia akan duduk di dekat
kolam, membuka buku harian ibunya—yang ditulis dalam kode puisi.
“Ini bukan tulisan tangan Ibu,”
katanya. “Tapi puisi yang hanya bisa dibaca jika kau pernah patah hati.”
Kadang, lelaki tanpa celana akan
duduk di tepi kolam. Kami bertiga diam saja. Tidak ada yang bicara. Tapi aku
tahu, sesuatu sedang berpindah—dari masa lalu ke masa kini, dari luka ke makna,
dari sunyi ke tulisan.
***
Suatu sore, seorang anak remaja tetangga
menertawai terompah yang dipakai perempuan itu.
“Kenapa nggak pakai sandal Crocs,
Kak?” ejeknya sambil merekam pakai ponsel.
Perempuan itu diam. Lalu ia menoleh
padaku dan tersenyum:
“Biar generasi TikTok tahu, ada
orang yang berjalan bukan demi viral, tapi demi bertahan.”
Aku tak tahu bagaimana membalas
kalimat seperti itu, selain mencatatnya diam-diam di buku tulisanku.
***
Hujan turun lagi. Kali ini lebih
deras. Tapi tak ada yang lari berlindung.
Perempuan itu tetap di sana,
terompahnya tenggelam separuh dalam genangan. Ia membaca puisi, seakan ingin
menenggelamkan luka ke dalam kata.
Laki-laki tanpa celana berdiri di
dekat pagar, memegang sebatang kembang. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang
bicara.
Aku hanya tahu satu hal: di tengah
dunia yang terus berlari, mereka bertiga—perempuan, ayahnya yang luka, dan
ibunya yang hilang di balik trauma—memilih tinggal.
Dan aku, yang semula hanya penyewa
rumah, telah menjadi bagian dari puisi mereka.
***
Tiga hari setelah Juni berlalu, pagi
datang seperti biasa—tanpa firasat, tanpa peringatan. Tapi di rumah perempuan
itu, sesuatu telah pecah. Bukan kaca, bukan kursi reyot, tapi waktu. Pagar yang
selama bertahun-tahun terkunci, kini terbuka lebar. Bau kamboja memenuhi gang.
Ibunya meninggal saat subuh. Dalam
tidur. Tanpa jerit, tanpa perlawanan. Barangkali itu satu-satunya kemenangan
yang ia miliki setelah puluhan tahun bergumul dengan ingatan.
***
Warga berdatangan, membawa doa dan
bunga, membawa air mata dan kata-kata yang biasa:
“Semoga husnul khatimah…”
“Orangnya sabar, jarang bicara…”
Di antara kerumunan itu, hanya aku
yang melihatnya—laki-laki tanpa celana, berdiri di sudut halaman, menyandar di
dinding. Rambutnya lebih putih, matanya lebih sayu.
“Misi selesai?” bisikku, nyaris tak
bersuara.
Ia menggeleng pelan.
“Trauma tak pernah selesai,” bisiknya balik.
Di dekat pintu, terompah perempuan
itu tergeletak. Tidak bergerak. Tidak bersuara.
Dua mobil mewah berhenti serempak.
Dua saudara perempuan itu turun, dengan tas kulit mahal dan kacamata hitam
seperti tameng dari kenyataan. Mereka menyalami tetangga dengan wajah
dibuat-buat, lalu masuk ke rumah sambil menggerutu. “Kita sudah transfer uang
setiap bulan,” salah satunya berbisik sinis. “Kenapa rumah ini tetap begini?”
Aku menahan amarah. Perempuan itu
duduk di pojok ruangan, menatap kosong ke dinding yang terkelupas. Tak ada air
mata, hanya sunyi yang menggumpal di kerongkongan.
Saat jenazah dibawa ke pemakaman,
perempuan itu berjalan paling belakang. Tanpa terompah. Kakinya telanjang,
menghantam tanah basah. Mungkin ia ingin ibunya mendengar bunyi langkahnya
untuk terakhir kali. Laki-laki tanpa celana berdiri di bawah pohon trembesi,
menunduk dalam. Tangan kirinya menggenggam kembang kenanga. Ia tak ikut ke
pemakaman. Ia menunggu di kolam.
***
Malam itu, hujan turun perlahan. Aku
melihat perempuan itu duduk sendirian di dekat kolam, mengenakan pakaian
ibunya—kebaya putih yang warnanya telah berubah gading.
“Apa yang Ibu tinggalkan padamu?”
tanyaku pelan.
Ia menunjuk dada kirinya.
“Kesetiaan. Tapi bukan untuk
diwariskan. Hanya untuk dihidupi.”
Kami diam. Di permukaan kolam,
pantulan tiga bayangan kembali muncul: perempuan itu, lelaki tanpa celana, dan
aku yang masih terlalu sering bertanya tanpa berani hidup dalam jawaban.
Di dalam rumah, saudara-saudaranya
sibuk memotret altar bunga dan unggah ke media sosial. Caption-nya berbunyi: “Selamat
jalan, Ibu. Perjuanganmu selesai. Rest in peace.”
Di luar rumah, terompah kayu itu
kini benar-benar bisu. Tak bergerak. Tapi entah kenapa, suaranya terus
terdengar dalam benakku:
Gresek-gresek… gresek-gresek…
Bukan karena gesekannya di tanah. Tapi karena luka yang terlalu lama tak
selesai.
***
Lima tahun telah berlalu sejak hujan
terakhir mengguyur pagar yang terbuka itu.
Bandar Lampung tetap sibuk dalam
sunyi. Mobil-mobil baru terus berlalu di jalan sempit yang dulu hanya cukup
untuk dua sepeda. Bangunan apartemen menjulang, menggantikan rumah-rumah kayu
yang menyimpan kisah. Namun kolam renang tua di belakang rumah tempatku tinggal
masih ada. Tak mengering, tak menggenang. Ia tetap keruh, seperti enggan
melupakan apa yang telah dicelupkan ke dalamnya.
***
Perempuan itu kini penulis ternama.
Buku pertamanya, Laki-Laki Tanpa Celana, menjadi bestseller di
Jakarta dan Singapura. Ia hadir di banyak talkshow, membicarakan "trauma
kolektif bangsa dan peran perempuan dalam proses penyembuhan."
Ruangan itu hening. Tapi aku tak
bisa ikut larut.
Aku hanya menatap poster besar wajah
perempuan itu. Wajah yang dulu berdarah matahari dan peluh di gang kecil ini,
kini diberi filter, diberi gelap-terang yang artistik. Diberi label:
"perempuan pejuang."
Ironi, pikirku.
Kisah ayahnya jadi komoditi.
Luka ayahnya menjadi estetika.
***
Malam itu, aku kembali ke rumah tua.
Tak banyak berubah, kecuali suara jangkrik yang terdengar lebih pelan, dan
angin yang entah mengapa, lebih ragu. Kolam renang tua menyambutku seperti
biasa—tanpa kejutan, tanpa kata.
Tapi dinding kolam kini penuh
coretan merah—bukan cat, bukan lumut. Darah.
Laki-laki tanpa celana berdiri di
tepi kolam, menggenggam silet. Ia menatapku sebentar, lalu menulis:
Kau jual lukaku dengan bingkai emas,
tapi darahku tetap mengalir di kolammu.
Ia selesai menulis, lalu menghilang.
Seperti bayangan yang tahu kapan harus mundur dari cahaya.
***
Perempuan itu muncul. Ia tak
mengenakan gaun mahal, tak membawa mikrofon, tak ditemani fotografer. Bajunya
masih lusuh, seperti dulu. Rambutnya diikat seadanya.
“Kau diundang di peluncuran, tapi
tidak datang,” katanya.
“Aku datang ke kolam ini. Di sinilah
segalanya dimulai, bukan?”
Ia duduk di pinggir kolam,
menyentuhkan jemari ke air keruh. Wajahnya terpantul samar, berdampingan dengan
wajah ayahnya, dan—aku yakin—bayanganku.
“Mengapa kau ubah tragedi ayah jadi
novel?” tanyaku.
Ia menarik napas dalam. “Agar orang
Jakarta paham: yang mereka beli bukan cerita, tapi dosa.”
Kami diam. Hujan mulai turun—pelan
dan ragu, seperti ingin memastikan bahwa kami belum selesai.
Laki-laki tanpa
celana tak muncul lagi malam itu. Tapi kolam itu memantulkan tiga bayangan,
seperti dulu: Perempuan penyeret terompah, Laki-laki tanpa celana, dan Aku—yang
terperangkap di antara puisi dan realita.
***
Gresek-Gresek
Suara itu kembali. Terompah kayu itu
muncul di bawah gaun lusuhnya. Ia berjalan pelan menjauh dari kolam.
“Terompah ini kubawa ke mana saja,”
katanya tanpa menoleh.
“Ia pengingat bahwa kesetiaan tak bisa dijual.”
Aku tetap berdiri, diam, di dekat
kolam, di bawah hujan.
Dari langit, Sapardi berbisik:
“Kita adalah air mata yang tak
sempat jatuh di pelupuk mata…”
Dan aku menangis. Bukan karena
kesedihan. Tapi karena akhirnya aku tahu:
Bahwa ada luka yang memang tak butuh penawar—cukup dikenang, agar manusia tetap
manusia.
Posting Komentar