Perempuan Penyeret Terompah

 

Ilustrasi AI


Gresek-gresek... gresek-gresek...

Bunyi itu datang saban senja, seperti doa yang tak pernah rampung dipanjatkan. Aku selalu duduk di teras rumah kontrakan tua ini, menatap langit yang memerah seperti luka lama yang belum mengering. Di kejauhan, suara terompah kayu itu mendekat, lalu menjauh, lalu kembali lagi—mendekat dan menjauh—seolah waktu berputar dalam lingkaran yang sama, setiap hari.

Perempuan itu akan melintas tepat saat matahari hendak tenggelam. Rambutnya panjang, diikat seadanya, matanya tak pernah menatap ke kiri atau ke kanan. Di tangannya ada rantang kecil, dan di kakinya, sepasang terompah tua yang sudah aus. Bunyinya khas—gesekan kayu dan aspal basah yang membekas di benakku jauh lebih dalam daripada ayat-ayat kitab manapun.

Orang-orang di sekitar gang menyebutnya "Penjaga Ibu". Ia tak pernah menikah, tak pernah pergi jauh, dan konon menolak semua lamaran yang datang hanya demi satu hal: merawat ibunya yang lumpuh sejak dua puluh tahun lalu.

Bagiku, ia bukan sekadar perempuan. Ia adalah puisi yang berjalan perlahan dalam dunia yang tergesa.

Suatu hari, saat aku sedang membaca ulang larik Sapardi, angin menerbangkan halaman buku hingga satu baris puisinya jatuh di lantai teras:

“Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis...”

Aku memungut kertas itu dengan hati-hati, seperti memungut ingatan. Lalu, entah mengapa, aku menatapnya—perempuan itu yang tengah lewat, dan hatiku ikut terseret suara terompahnya.

Aku datang ke kota ini bukan untuk mencari inspirasi. Aku justru datang karena kehilangan. Kota kelahiranku kini hanya tinggal potongan-potongan kenangan buruk dan debat redaksi yang tak pernah selesai. Kata-kata yang dulu setia padaku kini membangkang. Novel terakhirku dikritik habis-habisan. Satu-satunya ulasan yang masih kuingat menyebut tulisanku “penuh metafora kosong dan terlalu mendewakan penderitaan.”

Ironis. Karena justru di kota kecil ini, di gang reot yang jarang disambangi ojek online, aku menemukan kembali puisi yang tak kutulis—tapi berjalan. Dengan terompah. Dengan luka yang tak disebutkan, tapi begitu terasa.

***

Malam itu hujan turun. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat atap rumah ini bergetar seperti ketakutan. Aku demam. Mungkin karena perubahan cuaca, atau mungkin karena luka yang selama ini kupendam mulai mengirimkan isyarat tubuh.

Dan malam itu juga, aku melihatnya. Bukan perempuan penjaga ibu. Tapi seorang laki-laki. Tanpa celana. Berdiri di sudut kamar, tubuhnya kurus, basah, dan dari selangkangannya mengucur darah. Ia tidak menatapku, tapi menatap langit-langit kamar. Matanya kosong.

"Aku... mereka memotong kemaluanku," katanya pelan, seperti menggumam. "1965."

Aku menggigil. Antara takut, kedinginan, dan ingin menangis.

Dan sejak malam itu, setiap aku mendengar suara terompah, aku tak lagi hanya membayangkan seorang perempuan yang setia menjaga ibunya.

Aku membayangkan masa lalu yang tak pernah mati, hanya menyamar menjadi bayangan di kolam tua, suara di teras rumah, dan darah yang terus mengalir dari puisi yang belum selesai ditulis.

***

Rumah yang kusewa itu terletak di ujung gang yang sudah jarang dilalui. Di belakangnya mengalir sungai kecil, dulu katanya jernih, tapi kini hanya aliran lumpur lambat yang menampung reruntuhan plastik dan suara-suara malam. Halamannya luas, meski tak terawat. Dan di tengah halaman itu, ada satu hal yang membuatku gelisah sejak pertama kali melihatnya: kolam renang tua.

Retakan-retakan di dinding kolam membentuk pola seperti tulang rusuk patah. Airnya keruh, diam, dan memantulkan bayangan rumah seperti cermin yang tak jujur. Aku bertanya pada pemilik rumah saat serah terima kunci.

“Dulu ada yang pernah tenggelam di kolam itu?”

Ia hanya tersenyum, tanpa menjawab. Senyum yang lebih dekat pada peringatan daripada keramahan.

Malam pertama di rumah itu datang bersamaan dengan hujan. Rintiknya tak seperti biasanya. Ada semacam irama, seolah langit sedang mengetuk sesuatu—bukan pintu, bukan jendela, tapi bagian terdalam dari diriku. Aku demam. Tubuhku menggigil, dan dalam kabut kesadaran yang setengah basah itu, aku melihatnya.

Laki-laki itu.

Ia berdiri di ujung tempat tidur, pucat, basah kuyup, dan... telanjang dari pinggang ke bawah.

Darah mengalir dari selangkangannya. Merembes ke lantai. Warnanya merah tua, nyaris hitam, seperti telah disimpan terlalu lama dalam bejana sunyi.

“Mereka memotong kemaluanku,” katanya lirih. “1965…”

Aku ingin berteriak, tapi suara tercekat di tenggorokan. Ia tak bergerak. Hanya menatap ke arahku dengan sorot mata yang tak meminta simpati. Yang ia bawa bukan penderitaan, tapi kesaksian.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Mungkin karena naluriku sebagai penulis, aku spontan memungut buku puisi Sapardi dari meja dan mulai membacanya, dengan suara parau dan tangan gemetar:

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...”
“Dengan kata yang tak sempat diucapkan...”
“Kayu kepada api yang menjadikannya abu...”

Ia mendengarkan. Ia duduk di lantai. Ia menangis—tanpa suara.

"Puisi tak menyembuhkan luka, Tuan," katanya kemudian. "Ia hanya memberi ruang untuk menangis. Dan di negeri ini, kami dilarang menangis."

***

Pagi harinya, aku terbangun dengan tubuh masih panas dan selimut basah. Tak ada darah di lantai. Tak ada bekas siapa pun di kamar itu. Hanya kolam tua di luar sana yang memantulkan cahaya matahari seperti cermin tua yang menatap balik ke wajahku. Lama-lama aku sadar: rumah ini bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang penampungan luka-luka sejarah yang tak sempat dimakamkan.

Dan laki-laki itu—mungkin bukan hantu. Ia bisa jadi ingatan yang menolak dilupakan. Sebuah duka yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Ia bisa menjadi siapa saja: ayah, paman, guru, atau bahkan bayangan dari diriku sendiri.

***

Menjelang sore, suara itu kembali datang.

Gresek-gresek… gresek-gresek…

Perempuan itu lewat seperti biasa, membawa rantang dan sepasang mata yang tak bisa lagi membedakan masa lalu dari hari ini. Tapi hari itu, ia berhenti di depan pagar rumahku. Hujan mulai turun. Ringan.

"Rumah itu pernah menampung banyak airmata," katanya tanpa menatapku.

"Aku melihat seseorang," kataku, ragu.

Ia mengangguk. "Bukan hanya kau. Dulu, Ibu juga sering melihatnya. Kolam itu menyimpan lebih banyak cerita daripada yang bisa ditulis dalam buku.”

Ia berjalan pergi. Suara terompahnya kembali menyentuh aspal.

Aku menatap kolam. Bayanganku terpantul di air keruh. Tapi ada sosok lain di sebelahku. Sosok laki-laki, berdiri telanjang, menatapku lewat pantulan.

Malam itu, aku menyalakan lampu di teras dan membuka jendela. Di luar, langit tak lagi merah. Tapi aku tahu, di balik kabut dan hujan yang pelan-pelan turun, ada seseorang yang menanti. Bukan untuk menghantui. Tapi untuk didengarkan. Dan mungkin... dituliskan.

***

Bandar Lampung, Musim Semi 1998

Di ruang tamu rumah tua itu, waktu seperti tak bergerak. Dindingnya masih memajang kalender tahun 1987. Televisi hitam-putih di sudut ruangan menampilkan siaran tanpa suara. Hanya denting sendok pada cangkir teh dan desahan kipas angin rusak yang memecah keheningan.

Perempuan itu masih remaja. Usianya tujuh belas, namun sorot matanya lebih tua dari tahun-tahun yang dijalaninya. Ia duduk di lantai, memeluk lutut, mendengarkan dua saudaranya yang bertengkar.

“Kau pikir merawat Ibu akan memberimu surga?”
“Jakarta menunggumu! Uang! Mobil! Masa depan!”

Kata-kata itu seperti peluru yang menyasar jantungnya yang sudah retak sejak lama. Ia hanya diam, matanya menatap sepasang terompah kayu tua di dekat pintu. Terompah ayah.

Ayah yang suatu malam dibawa pergi oleh orang-orang berseragam, tak pernah kembali. Tak ada surat. Tak ada kuburan. Hanya kabar dari radio: “Pembersihan pengkhianat bangsa.”

Ibunya tidak pernah bicara tentang itu. Tapi setiap malam, ia duduk diam di dekat kolam, memandangi air hitam pekat yang diam-diam menyimpan wajah masa lalu. Kadang, ia meletakkan kembang kenanga di atas permukaan air. Kadang, ia berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.

Dan kini, anak perempuannya—yang paling kecil—yang memilih tinggal, mengurus tubuh renta dan pikiran yang pelan-pelan keropos.

***

Pagar rumah itu selalu terkunci. Bukan karena takut maling, tapi karena dunia di luar sana terlalu gaduh, terlalu cepat, dan terlalu tidak peduli.

Tetangganya pernah bertanya, “Mengapa tak kau ajak ibumu ke psikiater?”

Ia hanya menjawab pelan, “Kadang, luka tak ingin disembuhkan. Ia hanya ingin dikenang.”

Dua saudaranya memilih jalan berbeda. Mereka pergi ke Jakarta, membawa ijazah dan ambisi. Setiap lebaran, mereka pulang sebentar, membawa parcel dan amplop. Tapi tak pernah tinggal lebih dari dua malam. Mereka takut akan rumah itu. Takut pada keheningannya. Takut pada kolam dan suara-suara di malam hari.

Sore itu, mereka memaksanya untuk pergi juga.

“Ibu tak akan sadar. Pikirannya sudah separuh mati.”
“Kalau kau tinggal di sini terus, kau akan gila.”

Ia memandang ke halaman belakang. Di sana, seorang laki-laki tanpa celana sedang menyiram bunga, wajahnya damai, matanya berkaca-kaca. Tapi itu hanya bayangan. Atau mungkin bukan. Ia tak yakin lagi.

“Aku tinggal,” katanya pelan. “Karena seseorang harus tinggal.”

Mereka mendengus. Meninggalkan rumah dengan langkah marah. Tak sempat menutup pagar. Tak sempat pamit pada ibu mereka yang sedang berbicara dengan angin di samping kolam.

***

Dulu, sebelum semuanya rusak, ayah sering pulang kerja membawa kembang. Bukan karena romantis. Tapi karena ibunya, guru SD yang keras hati, selalu memaafkan dengan cepat jika dibawakan bunga. Kembang sepatu. Melati. Kenanga.

Dan kini, laki-laki tanpa celana sering muncul membawa kembang pula.

Malam-malam tertentu, ia akan muncul di dekat kolam, duduk diam, lalu meletakkan kembang di atas air. Kadang-kadang, ia menyanyi dengan suara yang nyaris tak terdengar. Lagu-lagu lama, lagu yang biasa dinyanyikan ayah.

Ia sadar: laki-laki itu bukan siapa-siapa—dan sekaligus mungkin siapa-siapa. Ia adalah ayah yang tak kembali. Ia adalah sejarah yang tak selesai. Ia adalah ketakutan yang diwariskan turun-temurun.

***

Ketika semua pintu ditutup, ia hanya punya satu hal: sepasang terompah ayahnya. Terbuat dari kayu jati tua, kini sudah aus dan tak seimbang. Tapi ia tetap memakainya, setiap kali ke pasar, setiap kali membuang sampah, setiap kali menunggu ambulans saat ibunya kambuh.

Gresek-gresek… gresek-gresek… suara terompah itu menjadi nyanyian rumah. Menjadi penanda bahwa masih ada yang tinggal. Masih ada yang menjaga. Dan mungkin, masih ada yang mencintai.

***

“Pagar yang terkunci bukan untuk mengurung Ibu,” katanya suatu kali, “tapi untuk melindungi dunia dari kesunyian yang jujur.”

Ia sadar, dunia luar tak pernah siap menghadapi kenyataan seperti laki-laki tanpa celana. Dunia hanya ingin kisah bahagia. Dunia hanya mau kemenangan dan kemajuan. Tapi rumah ini, kolam ini, pagar ini, dan dirinya—adalah monumen kekalahan. Dan ia tak malu akan itu.

***

Bandar Lampung, 12 Juni.

Pagi itu langit menangis dalam diam. Hujan turun pelan-pelan, seperti ingin menghindari bunyi. Daun-daun mangga gemetar, genting rumah tua berderik, dan kolam renang yang tak lagi digunakan itu—menyambut air dengan pasrah.

Dari balik tirai jendela, aku melihatnya berlutut di tepi kolam. Perempuan itu. Rambutnya digelung sembarangan, pakaiannya basah sebagian, dan di tangannya tergenggam sebatang kembang kenanga. Perlahan, ia menunduk, membiarkan tetes hujan menyatu dengan air mata.

Aku keluar. Langkahku basah. Tak membawa payung.

“Kenapa di sini?” tanyaku.

Ia tak menjawab. Jarinya menunjuk ke permukaan kolam. Airnya keruh, berlumut, tapi di tengah pantulan langit mendung, aku melihat sesuatu. Atau seseorang.

Siluet seorang pria. Kurus. Tua. Tanpa celana. Ia berdiri diam di balik bayangan, seolah menunggu giliran untuk bicara. Atau untuk dikenang.

“Ini… ayahku,” bisiknya lirih. “Ibuku… bukan merawat tubuhnya. Ia merawat traumanya. Aku, hanya melanjutkan.”

Aku tercekat. Di dalam hening, suara puisi muncul dari mulutnya. Perlahan, seolah ia membaca bukan untukku, tapi untuk kolam dan lelaki itu:

"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu…"
Sapardi Djoko Damono

Suara itu pecah di udara. Hujan tiba-tiba berhenti. Lalu, bunyi yang lebih tua dari cuaca terdengar:

Gresek-gresek… gresek-gresek…

Suara terompahnya. Ia bangkit dan berjalan menjauh, meninggalkan kembang di permukaan kolam. Aku tetap di tempat, menatap bayangan di air yang kini memantulkan tiga sosok: dia, pria itu, dan aku sendiri.

***

Hari-hari berikutnya, kami tak banyak bicara. Tapi aku mulai mengerti: bagi perempuan itu, puisi bukan pelarian, melainkan pelindung. Ia menempelkan puisi-puisi Sapardi di lemari es, di bingkai foto ayahnya, bahkan di cermin kamar mandi.

Setiap kali ibunya meracau, ia akan membisikkan bait puisi.

“Mengapa puisi?” tanyaku.
“Karena dunia tak pernah benar-benar bisa mendengar jeritan.”

Ia menunjuk ke sebuah buku catatan lusuh. Di sana, tertulis puluhan bait yang ia salin dengan tangan sendiri. Satu bait yang paling sering ia ulang berasal dari puisi Sapardi lainnya:

“Maka aku akan sangat sederhana
agar kau bisa mencintaiku tanpa syarat.”

Baginya, puisi adalah cara melawan absurditas hidup. Saat tetangga mencibir, saat saudara mencela, saat Jakarta memanggil, puisi-lah satu-satunya bahasa yang tak menghakimi.

***

Setiap pagi, ia akan duduk di dekat kolam, membuka buku harian ibunya—yang ditulis dalam kode puisi.

“Ini bukan tulisan tangan Ibu,” katanya. “Tapi puisi yang hanya bisa dibaca jika kau pernah patah hati.”

Kadang, lelaki tanpa celana akan duduk di tepi kolam. Kami bertiga diam saja. Tidak ada yang bicara. Tapi aku tahu, sesuatu sedang berpindah—dari masa lalu ke masa kini, dari luka ke makna, dari sunyi ke tulisan.

***

Suatu sore, seorang anak remaja tetangga menertawai terompah yang dipakai perempuan itu.

“Kenapa nggak pakai sandal Crocs, Kak?” ejeknya sambil merekam pakai ponsel.

Perempuan itu diam. Lalu ia menoleh padaku dan tersenyum:

“Biar generasi TikTok tahu, ada orang yang berjalan bukan demi viral, tapi demi bertahan.”

Aku tak tahu bagaimana membalas kalimat seperti itu, selain mencatatnya diam-diam di buku tulisanku.

***

Hujan turun lagi. Kali ini lebih deras. Tapi tak ada yang lari berlindung.

Perempuan itu tetap di sana, terompahnya tenggelam separuh dalam genangan. Ia membaca puisi, seakan ingin menenggelamkan luka ke dalam kata.

Laki-laki tanpa celana berdiri di dekat pagar, memegang sebatang kembang. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bicara.

Aku hanya tahu satu hal: di tengah dunia yang terus berlari, mereka bertiga—perempuan, ayahnya yang luka, dan ibunya yang hilang di balik trauma—memilih tinggal.

Dan aku, yang semula hanya penyewa rumah, telah menjadi bagian dari puisi mereka.

***

Tiga hari setelah Juni berlalu, pagi datang seperti biasa—tanpa firasat, tanpa peringatan. Tapi di rumah perempuan itu, sesuatu telah pecah. Bukan kaca, bukan kursi reyot, tapi waktu. Pagar yang selama bertahun-tahun terkunci, kini terbuka lebar. Bau kamboja memenuhi gang.

Ibunya meninggal saat subuh. Dalam tidur. Tanpa jerit, tanpa perlawanan. Barangkali itu satu-satunya kemenangan yang ia miliki setelah puluhan tahun bergumul dengan ingatan.

***

Warga berdatangan, membawa doa dan bunga, membawa air mata dan kata-kata yang biasa:

“Semoga husnul khatimah…”
“Orangnya sabar, jarang bicara…”

Di antara kerumunan itu, hanya aku yang melihatnya—laki-laki tanpa celana, berdiri di sudut halaman, menyandar di dinding. Rambutnya lebih putih, matanya lebih sayu.

“Misi selesai?” bisikku, nyaris tak bersuara.
Ia menggeleng pelan.
“Trauma tak pernah selesai,” bisiknya balik.

Di dekat pintu, terompah perempuan itu tergeletak. Tidak bergerak. Tidak bersuara.

Dua mobil mewah berhenti serempak. Dua saudara perempuan itu turun, dengan tas kulit mahal dan kacamata hitam seperti tameng dari kenyataan. Mereka menyalami tetangga dengan wajah dibuat-buat, lalu masuk ke rumah sambil menggerutu. “Kita sudah transfer uang setiap bulan,” salah satunya berbisik sinis. “Kenapa rumah ini tetap begini?”

Aku menahan amarah. Perempuan itu duduk di pojok ruangan, menatap kosong ke dinding yang terkelupas. Tak ada air mata, hanya sunyi yang menggumpal di kerongkongan.

Saat jenazah dibawa ke pemakaman, perempuan itu berjalan paling belakang. Tanpa terompah. Kakinya telanjang, menghantam tanah basah. Mungkin ia ingin ibunya mendengar bunyi langkahnya untuk terakhir kali. Laki-laki tanpa celana berdiri di bawah pohon trembesi, menunduk dalam. Tangan kirinya menggenggam kembang kenanga. Ia tak ikut ke pemakaman. Ia menunggu di kolam.

***

Malam itu, hujan turun perlahan. Aku melihat perempuan itu duduk sendirian di dekat kolam, mengenakan pakaian ibunya—kebaya putih yang warnanya telah berubah gading.

“Apa yang Ibu tinggalkan padamu?” tanyaku pelan.

Ia menunjuk dada kirinya.

“Kesetiaan. Tapi bukan untuk diwariskan. Hanya untuk dihidupi.”

Kami diam. Di permukaan kolam, pantulan tiga bayangan kembali muncul: perempuan itu, lelaki tanpa celana, dan aku yang masih terlalu sering bertanya tanpa berani hidup dalam jawaban.

Di dalam rumah, saudara-saudaranya sibuk memotret altar bunga dan unggah ke media sosial. Caption-nya berbunyi: “Selamat jalan, Ibu. Perjuanganmu selesai. Rest in peace.”

Di luar rumah, terompah kayu itu kini benar-benar bisu. Tak bergerak. Tapi entah kenapa, suaranya terus terdengar dalam benakku:
Gresek-gresek… gresek-gresek…
Bukan karena gesekannya di tanah. Tapi karena luka yang terlalu lama tak selesai.

***

Lima tahun telah berlalu sejak hujan terakhir mengguyur pagar yang terbuka itu.

Bandar Lampung tetap sibuk dalam sunyi. Mobil-mobil baru terus berlalu di jalan sempit yang dulu hanya cukup untuk dua sepeda. Bangunan apartemen menjulang, menggantikan rumah-rumah kayu yang menyimpan kisah. Namun kolam renang tua di belakang rumah tempatku tinggal masih ada. Tak mengering, tak menggenang. Ia tetap keruh, seperti enggan melupakan apa yang telah dicelupkan ke dalamnya.

***

Perempuan itu kini penulis ternama. Buku pertamanya, Laki-Laki Tanpa Celana, menjadi bestseller di Jakarta dan Singapura. Ia hadir di banyak talkshow, membicarakan "trauma kolektif bangsa dan peran perempuan dalam proses penyembuhan."

Ruangan itu hening. Tapi aku tak bisa ikut larut.

Aku hanya menatap poster besar wajah perempuan itu. Wajah yang dulu berdarah matahari dan peluh di gang kecil ini, kini diberi filter, diberi gelap-terang yang artistik. Diberi label: "perempuan pejuang."

Ironi, pikirku.
Kisah ayahnya jadi komoditi.
Luka ayahnya menjadi estetika.

***

Malam itu, aku kembali ke rumah tua. Tak banyak berubah, kecuali suara jangkrik yang terdengar lebih pelan, dan angin yang entah mengapa, lebih ragu. Kolam renang tua menyambutku seperti biasa—tanpa kejutan, tanpa kata.

Tapi dinding kolam kini penuh coretan merah—bukan cat, bukan lumut. Darah.

Laki-laki tanpa celana berdiri di tepi kolam, menggenggam silet. Ia menatapku sebentar, lalu menulis:

Kau jual lukaku dengan bingkai emas,
tapi darahku tetap mengalir di kolammu.

Ia selesai menulis, lalu menghilang. Seperti bayangan yang tahu kapan harus mundur dari cahaya.

***

Perempuan itu muncul. Ia tak mengenakan gaun mahal, tak membawa mikrofon, tak ditemani fotografer. Bajunya masih lusuh, seperti dulu. Rambutnya diikat seadanya.

“Kau diundang di peluncuran, tapi tidak datang,” katanya.

“Aku datang ke kolam ini. Di sinilah segalanya dimulai, bukan?”

Ia duduk di pinggir kolam, menyentuhkan jemari ke air keruh. Wajahnya terpantul samar, berdampingan dengan wajah ayahnya, dan—aku yakin—bayanganku.

“Mengapa kau ubah tragedi ayah jadi novel?” tanyaku.

Ia menarik napas dalam. “Agar orang Jakarta paham: yang mereka beli bukan cerita, tapi dosa.”

Kami diam. Hujan mulai turun—pelan dan ragu, seperti ingin memastikan bahwa kami belum selesai.

Laki-laki tanpa celana tak muncul lagi malam itu. Tapi kolam itu memantulkan tiga bayangan, seperti dulu: Perempuan penyeret terompah, Laki-laki tanpa celana, dan Aku—yang terperangkap di antara puisi dan realita.

***

Gresek-Gresek

Suara itu kembali. Terompah kayu itu muncul di bawah gaun lusuhnya. Ia berjalan pelan menjauh dari kolam.

“Terompah ini kubawa ke mana saja,” katanya tanpa menoleh.
“Ia pengingat bahwa kesetiaan tak bisa dijual.”

Aku tetap berdiri, diam, di dekat kolam, di bawah hujan.

Dari langit, Sapardi berbisik:

“Kita adalah air mata yang tak sempat jatuh di pelupuk mata…”

Dan aku menangis. Bukan karena kesedihan. Tapi karena akhirnya aku tahu:
Bahwa ada luka yang memang tak butuh penawar—cukup dikenang, agar manusia tetap manusia.

 

 

0/Berikan Kritik - Saran/Comments