Dee Lestari, nama yang karib di kancah sastra Indonesia,
kembali menyapa kita para pengagumnya dengan karya antologi keempatnya,
"Tanpa Rencana"—sebelumnya ada Filosofi Kopi (2006), Rectoverso
(2008) dan Madre (2011). Sebelum dan selain itu, Dee sukses dengan
novel-novel serial terstruktur seperti Supernova , Perahu Kertas,
Aroma Karsa dan Rapijali. Dee kini mengajak kita menyelami proses
kreatif yang berbeda: spontan, intuitif, dan sangat personal. Judul "Tanpa
Rencana" sendiri menjadi kunci untuk memahami filosofi di balik 18 cerita
pendek dan puisi naratif yang disajikan dalam buku setebal 207 halaman ini.
Berbeda dengan citra Dee yang dikenal sebagai penulis yang
sangat terstruktur dan penuh perencanaan, terutama dalam menggarap novel-novel
panjangnya , "Tanpa Rencana" adalah sebuah eksperimen yang disengaja.
Dee mengungkapkan bahwa buku ini adalah "benar-benar dirimu" dan
sesuatu yang "belum pernah dicoba" sebelumnya. Ide-ide yang tebersit
spontan, tak jarang ditulis "sekali jadi", menjadi inti dari proses
kreatifnya. Bahkan, momen "kehilangan ide" pun mampu ia sulap menjadi
tulisan menarik, seperti dalam cerita "Di Balik Papan Tik".
Pendekatan ini menjadikan buku ini terasa sangat personal, berfungsi sebagai
medium refleksi dan penyembuhan dari berbagai pengalaman yang ia alami selama
2023-2024. Pembaca akan merasakan seolah Dee sendirilah yang berbicara, bukan
hanya karakternya.
Keunikan "Tanpa Rencana" juga terletak pada
inovasi kolaboratifnya. Dee membuka ruang bagi tiga pembaca terpilih untuk
berbagi ide yang kemudian dikembangkan menjadi cerita utuh. Selain itu, buku
ini menghadirkan kejutan manis bagi penggemar setia seri Supernova
dengan cerita pendek tentang karakter-karakter favorit mereka, yang ditulis
dengan cara berbeda. Ini adalah "hadiah" yang memicu harapan akan
kelanjutan seri tersebut.
Dalam 18 ceritanya, Dee Lestari secara konsisten menyajikan
perenungan mendalam tentang tema-tema fundamental eksistensi manusia: hidup,
kematian, kehilangan, penerimaan, dan spiritualitas. Cerita pembuka, "Asam
Garam", yang sering disebut favorit pembaca, mengulas fenomena garam hitam
dari mata air asin di Papua sebagai metafora untuk esensi kehidupan dan duka.
Kutipan "Air mata adalah rasa asin yang sudah dipersiapkan untuk
melengkapi kita. Jangan anak tirikan kesedihanmu. Garam-mu. Ia menggenapi"
secara eksplisit mengajak pada penerimaan kesedihan. Sementara itu, "Temu
& Power Rangers" adalah kisah sederhana yang menghangatkan hati
tentang hubungan ayah dan anak perempuan, menyoroti tema harapan dan
penyembuhan.
Namun, Dee Lestari juga menunjukkan sisi humoris dan
konyolnya yang sering tersembunyi. "Transendensi Ampas Insani (TAI)"
adalah contoh brilian bagaimana ia mengubah topik yang absurd (kotoran manusia)
menjadi perenungan filosofis yang cerdas dan menghibur, memicu tawa
terbahak-bahak dari pembaca. Judulnya sendiri adalah kejenakaan linguistik yang
cerdas.
Gaya penulisan Dee dalam antologi ini digambarkan sebagai
"renyah, lincah, sekaligus menyentuh". Bahasa yang digunakan lugas
dan mudah dimengerti, namun tetap indah, puitis, dan mengalir. Ia mampu
memainkan kata-kata dan menyajikan makna mendalam dalam narasi pendek,
mematahkan keraguan tentang kualitas penceritaan dalam ruang eksplorasi yang
sempit. Impresi cerita juga diperkuat oleh ilustrasi di halaman-halamannya,
yang dikerjakan oleh Fahmi Ilmansyah, memastikan konsistensi gaya visual yang
mendukung narasi.
Secara umum, "Tanpa Rencana" diterima dengan
positif oleh pembaca, digambarkan sebagai "rollercoaster read" yang
memicu berbagai emosi: pilu, heartwarming, dan tawa terbahak-bahak.
Banyak yang mengapresiasi sisi "vulnerability" dan
"personal" dari Dee yang terasa sangat menyentuh dan jujur. Meskipun
beberapa pembaca mungkin merasa bingung atau sulit menginterpretasikan beberapa
bagian karena tema yang terkesan campur aduk , buku ini direkomendasikan
sebagai bacaan yang ringan, santai, namun tetap memberi makna yang
"dalam" tentang kehidupan. Bahkan, buku ini dianggap sebagai
pengantar yang baik bagi pembaca baru untuk mengenal gaya dan pemikiran Dee
Lestari.
Posting Komentar